Menuju konten utama
Pertemuan Prabowo-Jokowi

Pengusutan Kasus 22 Mei Tak Boleh Berhenti Meski Ada Rekonsiliasi

Pertemuan Jokowi-Prabowo tak boleh hentikan pengusutan kasus 21-22 Mei.

Pengusutan Kasus 22 Mei Tak Boleh Berhenti Meski Ada Rekonsiliasi
Presiden Joko Widodo (kanan) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kedua kanan) berpelukan saat tiba di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta, Sabtu (13/7/2019).ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/wsj.

tirto.id - Pertemuan Joko Widodo dan Prabowo Subianto di Stasiun MRT Lebak Bulus, Sabtu (13/7/2019) kemarin, semestinya tidak membuat pengusutan kasus kerusuhan 21-22 Mei berhenti. Kerusuhan--yang dipicu persaingan mereka berdua di Pilpres 2019--itu membuat sembilan orang meninggal.

Harapan itu diungkapkan peneliti dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar.

Sayangnya yang mungkin terjadi justru sebaliknya. "Kemungkinan besar memang akan terjadi pengabaian peristiwa yang telah terjadi (21-22 Mei), bahkan kasus-kasus yang lampau daripada itu," kata Rivanlee kepada reporter Tirto saat dihubungi Sabtu (13/7/2019) kemarin.

"Rekonsiliasi yang terjadi hari ini (kemarin) lebih terlihat seperti romantisme persatuan di tengah kasus yang belum terlihat ujungnya, baik kasus pelanggaran HAM masa lalu sampai peristiwa 21-22. Seolah dapat selesai oleh jamuan antar petinggi partai di dalam kereta," lanjutnya.

Sejauh ini polisi belum bisa mengungkap siapa pelaku, apalagi aktor intelektual di balik itu semua, meski telah berjanji akan membongkarnya. Kabar terkini dari pengusutan kasus itu adalah dua orang korban, Harun Al Raasyid dan Abdul Aziz, disimpulkan ditembak dari jarak dekat. Harun ditembak diduga Glock 42 dengan kaliber peluru 9,17 mm. Pelaku melakukannya dengan tangan kiri pada jarak sekitar 11 meter dari korban.

Sementara Aziz--yang ditemukan 100 meter dari Asrama Brimob Petamburan--ditembak dari belakang dan mengenai punggung kiri. Pelaku diperkirakan menembakkan proyektil 5,56 mm pada jarak 30 meter dari Aziz.

Menurut Rivanlee, pertemuan tersebut baru patut disebut rekonsiliasi sepanjang itu turut serta memulihkan hak-hak korban. Pertemuan tak bisa disebut rekonsiliasi jika tujuannya hanya meredam situasi, apalagi jika ada kesepakatan "bagi-bagi kursi." Sebab, kata Rivanlee, "perlu diingat kembali kalau polarisasi yang terjadi juga karena peran mereka."

"Bertemunya kedua tokoh ini juga harus dijadikan momentum bagi keduanya untuk meminta maaf atas dampak yang terjadi, dan tetap proses pelaku kerusuhan secara transparan dan akuntabel. Dengan begitu, rekonsiliasi tidak berhenti pada pertemuan singkat semata."

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mendorong hal serupa, bahwa kasus 21-22 Mei harus perlu ditindaklanjuti. Namun di sisi lain ia juga menyoroti masalah-masalah hukum lain yang semestinya memang diakhiri setelah pertemuan dua tokoh tersebut.

"Yang pertama, kan, ada yang bertendensi kriminalisasi, seperti makar. Tapi di sisi lain juga ada proses hukum yang harus dijalankan karena korban seperti peristiwa 22 Mei itu," jelas Asfinawati kepada reporter Tirto.

Salah satu politikus yang tersangkut kasus makar adalah Eggi Sudjana, pendukung Prabowo. Pun dengan Kivlan Zen, purnawirawan TNI.

"Idealnya ini (kasus makar) bukan sesuatu yang bisa dipidana sehingga kalau dihentikan itu sebenarnya--dari sudut rule of law--itu baik. Penggunaan pasal-pasalnya tidak beralasan," tegas Asfinawati. "Kasus-kasus seperti ini, kalau berhenti, menjadi sinyal baik sebenarnya, meskipun di sisi lain kita, publik, akan menilai memang ini soal politis," lanjutnya.

"Nah kalau yang kedua (kasus 21-22 Mei), bahaya kalau korban-korban yang sudah jatuh ini tidak mendapatkan pemulihan melalui penegakan hukum."

Perlu Optimis

Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani, menilai anggapan bahwa kasus 21-22 Mei akan menguap begitu saja sebagai bentuk pesimisme. Dia berharap masyarakat tetap optimis aktor-aktor kerusuhan bisa ditangkap.

"Saya kira pertemuan itu justru harus dilihat dengan kacamata optimistik untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada, termasuk soal korban meninggal dalam aksi kerusuhan 21-22 Mei. Kan koalisi partai Pak Prabowo dan Pak Jokowi punya kepanjangan tangan di DPR. Ini bisa kita manfaatkan untuk mem-follow up soal tersebut," kata Arsul kepada reporter Tirto.

Sementara perkara lain yang sarat motif politik, Arsul sepakat bahwa itu mestinya berhenti.

"Siapa pun bisa menilai dari kacamata mereka masing-masing. Tapi jika benar sebuah kasus hanya berdimensi politik, maka kasus tersebut akan berakhir dengan sendirinya tanpa perlu didorong-dorong," kata Arsul.

Baca juga artikel terkait AKSI 22 MEI atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino