tirto.id - Pada awal 2019, Komisaris Jenderal Polisi Suhardi Alius, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), menggelar acara peluncuran dan bedah buku di gedung Lemhanas, Jakarta. Momentum itu sekaligus dimanfaatkan sebagai wadah mempertemukan orang-orang yang terkait langsung dengan aksi peledakan bom di Hotel JW Marriott. Ali Imron, salah satu tokoh penting dalam aksi itu hadir sebagai narasumber. Ia dihadapkan dengan beberapa korban ledakan yang berhasil selamat.
Air mata Vivi Normasari tumpah saat menceritakan kembali tragedi itu. Ia bersama calon suaminya dan beberapa kerabat sedang makan siang sekaligus membahas rencana pernikahan mereka di sebuah restoran di hotel tersebut. Menurutnya, sekitar pukul 12 siang sebuah ledakan terjadi sangat dekat dengannya. Akibatnya, hampir seluruh tubuhnya harus diberi penanganan medis yang sangat serius.
Di tempat lain, Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP) menggelar acara Pengajian Jalan Terang yang mengundang Didik Hariono, korban lainnya. Ketua YLP adalah Ali Fauzi, adik Amrozi--pelaku tindak pidana terorisme yang ahli merakit bom.
Vivi dan Didik adalah dua dari sekitar 150 korban luka dan belasan orang dinyatakan meninggal dunia. Seperti Vivi, Didik juga harus menjalani perawatan bertahun-tahun akibat ledakan itu. Meski demikian, dari ungkapan mereka tersirat bahwa yang paling sulit disembuhkan adalah luka psikis dan sakit hati. Namun, dalam acara yang mempertemukan mereka dengan mantan pelaku ledakan, mereka sama-sama menyatakan damai dan ikhlas menerima keadaan.
Bom itu meledak di Hotel JW Marriott, Kuningan, Jakarta, pada 5 Agustus 2003, tepat hari ini 18 tahun lalu. Sebuah mobil Kijang bernomor polisi B 7462 ZN yang dikendarai Asmar Latin Sani sengaja melintas di depan hotel. Tak jauh dari lobi hotel, ledakan dipicu lewat telepon genggam yang ditemukan tak jauh dari lokasi kejadian. Ada kecurigaan bom itu sebenarnya meledak lebih awal dari yang direncanakan. Seandainya mobil itu melintas sedikit lebih ke dalam hotel, kerusakan dan jumlah korban dipastikan jauh lebih banyak.
Setelah ledakan, potongan kepala yang diidentifikasi sebagai Asmar Latin Sani ditemukan di lantai 5 hotel. Belakangan diketahui bahwa Sani merupakan anggota Jamaah Islamiyah (JI), organisasi militan yang hendak mewujudkan negara Islam di Asia Tenggara. JI tercatat sebagai kelompok teroris yang berafiliasi dengan Al Qaeda dalam UN Security Council Resolution 1267.
Kapolda Metro Jaya saat itu Irjen Makbul Padmanegara dan Kepala Kepolisian RI, Jenderal Polisi Da’i Bachtiar, mengatakan bahwa model ledakan bom di depan Hotel Marriott mirip dengan ledakan bom Bali tahun 2002.
“Di tempat kejadian perkara (TKP), terdapat lubang lebar, ditemukan rangka mobil Kijang, mesin yang terlempar, radiator, dan bagian setir yang terlempar. Mirip bom Bali, yaitu bom meledak bersama mobil,” kata Da’i seusai sidang kabinet pada 5 Agustus malam.
Berdasarkan investigasi lanjutan, ditemukan juga bahwa sisa-sisa baterai di lokasi ledakan ini mirip dengan yang digunakan dalam aksi teror bom terhadap sejumlah gereja pada malam natal tahun 2000.
Pemilihan JW Marriott sebagai target sasaran memiliki alasan tersendiri. Selain Kedutaan Besar Amerika Serikat sering mengadakan acara di sana, lokasi itu juga merupakan kawasan yang dikenal dengan sebutan segitiga emas. Terdapat kompleks perumahan pejabat di Jalan Denpasar dan beberapa kedutaan besar seperti Finlandia, Swedia, Norwegia, serta Peru yang terletak di Menara Rajawali, di samping hotel. Oleh karena itu, aksi ledakan dipastikan akan mengundang perhatian dunia internasional. Pemilihan waktu ledakan pun berdasarkan strategi tersendiri karena dilakukan di siang hari ketika banyak orang sedang makan siang di lokasi.
Hasilnya, banyak korban berjatuhan. Mereka dilarikan ke beberapa rumah sakit di sekitar lokasi seperti RS MMC, RS Medistra, RS Jakarta, RS Mintohardjo, dan RS Cipto Mangunkusumo.
Dua Minggu sebelum aksi bom dijalankan, seorang anggota kepolisian di Semarang sempat mendapat informasi mengenai perangkat yang telah dirakit sedang dalam perjalanan menuju Jakarta. Dari informasi itu, investigasi kembali menuju pada Jamaah Islamiyah.
Pernyataan dari Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil memperkuat hasil temuan itu. Pada 11 Agustus 2003 ia memberi pernyataan bahwa “para pelaku ledakan Marriott memiliki keahlian khusus yang didapat dalam pelatihan oleh Al Qaeda di Afganistan dan Pakistan.” Matori sekaligus mengklaim bahwa para pelaku adalah bagian dari kelompok Jamaah Islamiyah (JI).
Resonansi Politik dan Agama
Enam hari setelah ledakan, Al Qaeda menyatakan organisasi mereka sebagai otak di balik aksi tersebut. Melalui Al Jazeera, mereka secara khusus memusatkan perhatian pada Australia. Harian The Sydney Morning Herald melansir pernyataan itu.
“Operasi ini merupakan bagian dari rangkaian operasi yang telah dijanjikan oleh Dr Ayman al-Zawahiri. Ini adalah tamparan keras terhadap AS dan sekutunya orang-orang Muslim di Jakarta, di mana iman telah direndahkan oleh kehadiran AS yang kotor dan Australia yang diskriminatif.”
Di Indonesia, JI dikenal sebagai organisasi yang menaungi komplotan teroris seperti Amrozi, Muklas, dan Imam Samudera--tiga serangkai pelaku bom Bali 2002. JI memiliki pimpinan spiritual yang militan, Abubakar Ba’asyir. Belakangan diketahui bahwa di antara mereka ada juga Ali Fauzi, adik kandung Amrozi dan Ali Imron yang ahli dalam merakit bom. Bahkan, Ali Fauzi dikenal sebagai perakit bom nomor wahid di Asia Tenggara. Ia juga mengajarkan pada teroris yang baru direkrut untuk merakit bom berdaya ledak tinggi yang setara dengan mikronuklir. Keahlian itu konon ia dapatkan dari pelatihan di Afganistan dan akademi militer milik Moro Islamic Liberation Front (MILF).
Ivan Strenski, ahli teori dan studi keagamaan AS, melihat fenomena aksi bunuh diri akan jauh lebih mudah dipahami dalam konteks pengorbanan dan pemberian dalam ajaran agama. Ia mengambil contoh dari aksi membakar diri dalam ritual masyarakat. Baginya, aksi bunuh diri akan menjadi sekadar bunuh diri murni tanpa ritus pengorbanan dalam sebuah aliran kepercayaan dalam kehidupan sosial masyarakat atau dalam komunitas keagamaan.
Dalam konteks bom di Hotel Marriott dan jaringan JI-nya, pengorbanan bukan sesuatu yang hanya dipahami dari segi dinamika kejiwaan individu. Jauh lebih dalam, ini berarti bahwa aksi mengorbankan diri dengan bom memiliki resonansi politik-agama yang sangat kuat.
“Dalam aksi teror bom bunuh diri, pengorbanan individu dimaknai sebagai hadiah untuk bangsa atau kelompok yang dikuduskan. Selain itu, penting juga untuk menempatkan konsepsi jihadis utilitarian tentang pengeboman,” tulis Strenski dalam "Sacrifice, Gift and the Social Logic of Muslim Human Bombers" yang dimuat dalam jurnal Terrorism and Political Violence 15, no. 3 (2008:8).
Editor: Irfan Teguh