tirto.id - Pelantikan Komisaris Jenderal (Komjen) Pol Mochamad Iriawan sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat, Senin kemarin (18/6/2018), mendapat sorotan. Penunjukan mantan Kapolda Metro Jaya sebagai penjabat kepala daerah itu dinilai melanggar perundang-undangan, sehingga Fraksi Demokrat di DPR RI mendorong terbentuknya Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket untuk mengoreksi kebijakan Mendagri Tjahjo Kumolo.
“DPR harus menjadi penyeimbang dan pengawas jalannya pemerintahan. Kami berpandangan saat yang tepat bagi Fraksi Demokrat dan DPR RI menggunakan hak angket mengingatkan dan mengkoreksi pemerintah agar tidak terkoreksi oleh rakyat dan sejarah,” kata Sekretaris Fraksi Demokrat di DPR, Didik Mukrianto, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (19/6/2018).
Didik menilai, setiap kebijakan dan keputusan pemerintah mutlak harus konstitusional dan berdasarkan perundang-undangan serta aturan yang berlaku. Karena itu, Didik menganggap kebijakan Kemendagri mengangkat Komjen Pol M Iriawan sebagai Pj Gubernur Jabar perlu disikapi secara serius karena terindikasi melanggar sejumlah aturan.
Setidaknya, kata Didik, penunjukan Iriawan sebagai Pj kepala daerah melanggar tiga ketentuan undang-undang, yaitu: UU Nomor 5 Tahun 2104 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Kritik serupa juga dilontarkan Sekjen Komite Independen Pemantauan Pemilu (KIPP) Indonesia, Kaka Suminta. Ia menyanyangkan kebijakan Mendagri Tjahjo Kumolo yang tetap melantik Iriawan, padahal sebelumnya pemerintah sudah mengurungkan niatnya mengangkat perwira tinggi polisi aktif usai mendapat penolakan dari publik pada Januari 2018.
Apalagi, kata Kaka, pelantikan Komjen Pol Iriawan sebagai Pj Gubernur Jabar bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. “Sesuai dengan UU No 2/2002 tentang Kepolisian, serta UU No 5 tahun 2014 Tentang ASN, pengangkatan Pj Gubernur dimaksud tidak dapat dibenarkan karena definisi, tugas, fungsi, dan wewenang kepolisian dan ASN berbeda, sehingga pengangkatan dimaksud bertentangan dengan UU,” kata Kaka dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto.
Kaka meminta agar Mendagri Tjahjo Kumolo meninjau kembali keputusan pengangkatan Iriawan yang masih aktif sebagai perwira Polri sebagai Pj Gubernur Jawa Barat. Ia khawatir penunjukan Iriawan akan membangkitkan kesan munculnya dwi fungsi Polri yang justru merugikan citra aparat. Karena itu, katanya, KIPP meminta agar Kemendagri tidak lagi menunjuk perwira aktif sebagai Pj atau Pjs kepala daerah.
Selain itu, kata Kaka, pihaknya juga mendesak Presiden Joko Widodo untuk meninjau kembali kebijakan yang telah diambil Mendagri Tjahjo Kumolo agar tidak menerobos perundang-undangan serta peraturan yang berlaku.
Benarkah Pelantikan Iriawan Melanggar Aturan?
Ahli Hukum Administrasi Negara dari Universitas Atmajaya Yogyakarta, Riawan Tjandra, menilai pemerintah bisa melantik Komjen Pol Iriawan sebagai Pj Gubernur Jawa Barat. Secara hukum administrasi, katanya, pelantikan mantan Kapolda Metro Jaya itu bisa sah selama Iriawan berhenti sementara dari institusi kepolisian.
“Kita bisa gunakan analogi seperti banyak penyidik kepolisian yang kemudian ditugaskan di KPK. Itu mereka diberhentikan sementara selama menjabat sebagai penyidik di KPK. Hal yang sama saya lihat juga bisa berlaku untuk Pak Iriawan dengan penempatan di tempat yang baru sebagai Penjabat Gubernur Jabar,” kata Riawan kepada Tirto, Selasa (19/6/2018).
Riawan membandingkan penunjukan Iriawan dengan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Soni Sumarsono, saat ditunjuk sebagai Pjs Gubernur DKI saat Pilgub Jakarta 2017. Menurut Riawan, saat itu Soni dinonaktifkan dari jabatannya sebagai dirjen.
Meskipun secara aturan bisa dilakukan, tetapi Riawan tetap menanyakan alasan Kemendagri melantik Iriawan. Ia menilai janggal karena pemerintah harus menunjuk perwira aktif Polri untuk menduduki jabatan strategis di Pemprov Jawa Barat. Padahal, bisa saja pemerintah menunjuk eselon I lain yang berpengalaman, tidak harus perwira tinggi aktif.
Berbeda dari Riawan Tjandra, dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Sumatera Barat, Feri Amsari menilai pelantikan Komjen Pol Iriawan tidak bisa dilakukan karena polisi dilarang mengurusi ranah politik. Apabila dilakukan, pemerintah melanggar UUD 1945 dan perundang-undangan terkait.
“Ini upaya kesekian kali dari Kemendagri menarik polisi ke ranah politik. Hal itu bertentangan dengan tugas utama kepolisian dalam Pasal 30 UUD 1945. Artinya, langkah itu adalah tindakan inkonstitusional, bertentangan dengan UUD 1945,” kata Feri kepada Tirto, Selasa (19/6/2018).
Feri menegaskan, Iriawan tidak berhenti dari kepolisian meskipun menjabat sebagai Sestama Lemhanas. Mantan Kapolda Metro Jaya itu hanya sekadar dipinjamkan dari kepolisian. Menurut Feri, Iriawan tetap tunduk pada UU Polri hingga berhenti sebagai polisi.
“UU Polri itu berlaku untuk anggota Polri. Status Pak Iwan Bule [sapaan Iriawan] masih anggota kepolisian walaupun ditempatkan di lembaga lain,” kata Feri.
Feri, yang bergiat di Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, menilai pemerintah seharusnya menjaga marwah institusi kepolisian dan tidak melanggar konstitusi, apalagi Undang-Undang Dasar. Apabila tetap dilanjutkan, situasi politik akan terus gaduh.
Dalam konteks ini, Feri merekomendasikan pemerintah melakukan dua hal untuk menyelesaikan polemik pelantikan Iriawan. Pertama, pemerintah harus meminta Iriawan berhenti atau pensiun dini. Setelah pensiun dini, pemerintah melakukan pelantikan ulang agar tidak terjadi kegaduhan dalam pengambilan kebijakan.
Cara kedua, kata Feri, membatalkan pelantikan Iriawan. Pemerintah mencari kandidat penjabat sementara sesuai aturan Permendagri. Pemerintah pun harus mencari pejabat tinggi madya yang biasa memimpin tindakan administratif dan mencari kandidat sesuai kebutuhan masyarakat Jabar hingga pemimpin baru dilantik.
Sadar langkahnya menuai polemik dan kritik, Mendagri Tjahjo Kumolo menjelaskan kepada publik bahwa ia yang mengusulkan Iriawan kepada presiden untuk dilantik sebagai Pj Gubernur Jawa Barat. Ia mengklaim penunjukan Iriawan sesuai koridor hukum dan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan.
“Mendagri tidak akan mengajukan nama ke Istana melalui Mensesneg kalau melanggar hukum. Mendagri siap tanggung jawab kepada Bapak Presiden," kata Tjahjo lewat keterangan tertulis yang diterima Tirto, Senin (18/06/2018).
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz