tirto.id - Penasehat hukum tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim, Otto Hasibuan mengaku tidak mendapat informasi Sjamsul dan istrinya, Itjih Nursalim dipanggil oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ia mengaku, hanya mengetahui rencana pemeriksaan Sjamsul dari media.
“Dari informasi yang saya peroleh dari pihak kerabat klien, mereka tidak pernah menerima surat panggilan tersebut,” katanya dalam keterangan tertulis pada Senin (1/7/2019).
Otto menilai, jika pemanggilan itu memang benar dilakukan, artinya pemerintah telah ingkar pada janjinya sendiri. Pasalnya, lanjut Otto, pemerintah sudah mengeluarkan surat release and discharged untuk Sjamsul pada 25 Mei 1999.
Melalui surat itu, pemerintah berjanji tidak akan melakukan proses hukum apapun terhadap bos Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) itu terkait BLBI.
"Bila proses hukum tetap dijalankan, janji tersebut berarti telah diingkari. Hal ini dapat merisaukan masyarakat, terutama para investor karena ini membuktikan tidak adanya kepastian hukum di negeri kita ini,” jelasnya.
Sebelumnya, KPK kembali memanggil Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim untuk diperiksa sebagai tersangka BLBI pada Jumat (28/6/2019).
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pihaknya telah melayangkan surat panggilan pemeriksaan ke lima alamat yang terafiliasi dengan Sjamsul dan Itjih baik di Indonesia maupun Singapura.
KPK juga meminta kedutaan mengumumkannya di papan pengumuman kantor KBRI Singapura terkait pemanggilan. Kemudian, lanjut dia, KPK pun menggandeng CPIB (KPK Singapura) untuk pemanggilan Sjamsul.
Sjamsul dan Itjih diduga melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun.
Saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 miliar.
Atas perbuatan tersebut, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno