tirto.id - Ahli hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Mudzakir menilai, polisi memaksakan diri untuk menjadikan tersangka mantan ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) Bachtiar Nasir.
Hal ini dilihat dari banyaknya pasal yang digunakan untuk menjerat Bachtiar.
"Polisi memaksakan diri untuk memasukkan ustaz ini. Karena apa? Dalam hukum itu yang boleh hanya pasal yang sejenis," kata Mudzakir saat dihubungi reporter Tirto pada Rabu (8/5/2019).
Bareskrim Polri menetapkan mantan ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) Bachtiar Nasir sebagai tersangka kasus tindak pidana pencucian uang pada Selasa (7/5/2019).
Uang yang dicuci oleh Bachtiar diduga berasal dari Yayasan Keadilan Untuk Semua (YKUS).
Penyidik kepolisian menggunakan banyak pasal untuk menjerat Bachtiar. Antara lain, asal Pasal 70 juncto Pasal 5 ayat (1) UU Yayasan, Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan, Pasal 63 ayat (2) UU Perbankan Syariah, Pasal 3, pasal 5, dan pasal 6 UU Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Menurut Mudzakir, dalam menjadikan seseorang tersangka, penyidik harus menggunakan pasal yang sejenis. Ia mencontohkan, dalam kasus pencurian, polisi bisa menggunakan pasal pencurian dan pasal pencurian dengan kekerasan.
Mudzakir menilai, hal ini terjadi karena polisi gamang dalam menentukan tindak pidana yang dilakukan oleh Bachtiar Nasir. Karena itu, menurutnya polisi harus mempertimbangkan untuk mengevaluasi penyidikan ini.
"Supaya clear jangan sampai ada rakyat yang jadi korban karena kekeliruan yang dilakukan oleh penegak hukum sehingga status mereka akan berubah jadi tersangka," ujar Mudzakir.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno