tirto.id - Sebanyak 104 warga Depok yang tergabung dalam Masyarakat Cinta Depok melakukan penolakan atas segregasi atau pemisahan lahan parkir di Depok yang didasarkan pada jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan. Mereka pun menandatangani surat pelaporan ke Ombudsman RI terkait permasalahan tersebut.
"Praktik segregasi lahan parkir yang dilakukan dengan alasan perlindungan terhadap perempuan dari ancaman kekerasan merupakan alasan yang tidak masuk akal," kata Antarini Arna, salah satu perwakilan Masyarakat Cinta Depok, selepas melaporkan masalah tersebut di Ombudsman, Jakarta Selatan, Jumat (26/7/2019).
"Jika pengelola parkir memang sungguh-sungguh ingin melindungi perempuan, maka yang harus dilakukan adalah menyediakan tempat khusus parkir perempuan sebagai tambahan dari tempat parkir umum, sehingga perempuan yang merasa terancam di tempat parkir bisa memilih menggunakan tempat parkir yang khusus," kata Antarini.
Dengan itu, kata Antarini, pemisahan parkir yang ada tidak menjadi keharusan. Pasalnya, jika memang diwajibkan pemisahan, maka dikhawatirkan Pemkot Depok akan mengembangkannya menjadi pemisahan layanan fasilitas publik lainnya.
"Jika perlindungan terhadap perempuan sungguh-sungguh menjadi perhatian pengelola parkir, maka pihak pengelola sebaiknya meningkatkan jumlah," ungkap Antarini.
"Dan kualitas petugas keamanannya, sehingga petugas-petugas tersebut dapat mengenali ancaman kekerasan terhadap perempuan," lanjut dia.
Di sisi lain, Kepala Dinas Perhubungan Kota Depok, Dadang Wihana mengatakan kebijakan memisahkan parkir kendaraan roda dua antara pria dan wanita merupakan program yang sudah lama diterapkan di Kota dengan semboyan friendly city tersebut. Menurut dia, hal tersebut sebagai sebuah sikap untuk menghormati kaum perempuan.
"Dalam rangka pengarusutamaan gender dan kepedulian terhadap perempuan," ujar Dadang kepada Tirto, Selasa (9/7/2019).
Ia juga mengatakan program tersebut bersifat imbauan semata, yang sudah diberlakukan sejak lama. Sehingga, menurutnya, tidak ada hubungannya dengan wacana Perda syariah yang sempat ramai belakangan. Kendati demikian, ia sendiri tak tahu sejak kapan hal itu sudah berlangsung.
"Program itu sudah lama ada. Sejak saya bertugas di Bappeda tahun 2005 program semacam itu sudah ada, " kilah dia.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Zakki Amali