tirto.id - Empat tahun lalu, Jaksa Agung HM Prasetyo mencetuskan pembentukan tim pendamping pemerintah pusat dan daerah dalam menjalankan program pembangunan agar terbebas dari korupsi. Tim itu bernama Tim Pengawalan, Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan (TP4) beserta TP4 Daerah.
Berdiri pada 1 Oktober 2015, tim ini digadang-gadang sebagai "pengawal proyek pemerintah" dalam pembangunan infrastruktur. Prasetyo bahkan mengklaim TP4 dan TP4D berhasil menyelamatkan uang negara sebesat seribu triliun rupiah.
Sayangnya, klaim kesuksesan itu tidak dianggap. Sebab, begitu Prasetyo lengser, TP4 justru jadi sasaran pertama buat dimatikan.
ST Burhanuddin sebagai Jaksa Agung baru menerbitkan instruksi Jaksa Agung Nomor 7 tahun 2019 tentang pelaksanaan keputusan Jaksa Agung Nomor 345/2019 tentang pencabutan TP4.
Padahal, pada 28 Oktober 2019, saat pisah sambut, Prasetyo menitipkan program TP4 dilanjutkan karena menjadi ikon dan primadona Kejaksaan Agung. Namun, seminggu kemudian, usai pertemuan dengan pimpinan KPK, ST Burhanuddin menyatakan akan mengevaluasi program TP4 dan ada peluang untuk dibubarkan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Mukri mengatakan TP4 sudah dibubarkan saat rapat kerja Kejaksaan di Cianjur pada 3-6 Desember 2019. Namun, saat pertemuan selanjutnya, ia berkata TP4 secara kelembagaan sudah dicabut berdasarkan Keputusan Jaksa Agung No. 345 tahun 2019.
Jika merujuk pada keputusan Jaksa Agung, secara resmi, TP4/TP4D dicabut pada 22 November 2019.
"Intinya secara kelembagaan TP4 sudah dicabut," kata Mukri di ruangan kerjanya, Jakarta, 12 Desember lalu.
Niat Awal
Dalam Laporan Tahunan Kejaksaan Agung tahun 2015, TP4 dibentuk sebagai jawaban atas pertumbuhan ekonomi Indonesia yang turun pada kuartal kedua tahun 2015. Ia menjadi indikasi pelemahan ekonomi Indonesia.
Menurut analisis Kejaksaan, “disinyalir karena rendahnya penyerapan anggaran, baik pusat maupun daerah, yang dipicu oleh ada kekhawatiran, keragu-raguan, dan ketakutan dari para penyelenggara/ pejabat negara dalam mengambil kebijakan/ diskresi untuk melaksanakan pembangunan, sehingga mengakibatkan stagnasi pembangunan nasional."
Merespons kondisi itu, Kejaksaan membentuk Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintah dan Pembangunan Pusat (TP4P) di Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia. Tujuannya, "mendorong percepatan penyerapan anggaran”.
Alih-alih mendorong percepatan penyerapan anggaran, TP4 jadi stempel proyek aman.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD berkata faktanya masih ada proyek yang tidak bersih.
“Ketika seorang kepala daerah itu ingin membuat program pembangunan, lalu minta semacam persetujuan, sehingga seakan-akan sudah bersih. Tapi, ternyata tidak bersih," kata Mahfud saat kunjungan perdana ke Kejaksaan Agung pada 20 November 2019.
"Ada juga Pemda yang ingin berlindung dari ketidakbenaran, lalu seakan-akan sudah berkonsultasi dengan TP4,” tambahnya.
Apa yang disampaikan Mahfud terbukti benar.
Misalnya, dalam pengadaan sewa kapal listrik atau Marine Vessel Power Plan di PLN tahun 2015, TP4 mengklaim sebagai prestasi lantaran berhasil membuat negara berhemat hingga Rp 1,5 triliun per tahun. Klaim itu terbantahkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan terhadap PLN tahun 2015, yang menilai proyek negara itu merugi.
Dalam laporannya, BPK menyebut negara kehilangan potensi menghemat anggaran karena harga perkiraan sendiri (HPS) atas tender proyek MVPP "tidak wajar".
BPK mencatat, nilai HPS untuk komponen A, B, D lebih tinggi Rp1,01 triliun. Nilai HPS seharusnya hanya Rp6,8 triliun, bukan Rp7,8 triliun seperti yang disahkan PLN.
Atas temuan itu PLN melakukan renegosiasi nilai proyek. Akan tetapi, hanya berhasil mengurangi Rp115 miliar.
Belakangan, Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus Adi Toegarisman berkata kasus itu tengah ditangani oleh Kejaksaan Agung. Pernyataan ini semacam tamparan keras bagi klaim kejaksaan yang menyebut proyek itu membuat negara berhemat.
“Memang benar, tiga saksi itu diperiksa untuk kasus itu. Kami jamin kasus ini tidak pernah berhenti. Masih berjalan terus,” kata Adi pada 18 Juni 2019.
Enggan Dievaluasi
Mantan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia Ferdinand T Andi Lolo menilai TP4 dan TP4D sebagai proyek mercusuar untuk menaikkan citra pencetusnya, tapi hasilnya tidak seperti yang digembar-gemborkan.
"Selalu digambarkan baik tapi tidak pernah ada evaluasi yang jujur. Sejauh mana tingkat keberhasilannya?" kata Ferdinand.
Pihak Komisi Kejaksaan tidak pernah diundang oleh Jaksa Agung saat itu HM Prasetyo untuk membahas permasalahan di institusi tersebut, khususnya TP4/TP4D, klaim Ferdinand. Padahal, tugas yang diemban Ferdinand dkk adalah memberi penilaian terkait program kejaksaan.
Karena tak pernah mau mengevaluasi TP4, Komisi Kejaksaan harus mengakali kegiatan evaluasi dengan mengganti nama seminar TP4. Namun, kegiatan itu disambut dingin oleh pihak Kejaksaan, bahkan perwakilan yang menghadiri seminar itu seperti tim marketing, tambah Ferdinand.
Padahal, Komisi Kejaksaan bukan hanya membahas yang bagus saja, melainkan keburukannya harus dibahas juga. Hal ini untuk memperbaiki internal maupun eksternal Kejaksaan.
"Memang Kejagung sering resisten atas masukan dari Komisi Kejaksaan. Seringkali menolak apa yang kami temukan di lapangan," kata Ferdinand.
Tidak hanya ketika TP4 masih aktif, bahkan ketika dibubarkan pun tidak ada evaluasi terkait kegagalan program tersebut.
Bila merujuk dokumen instruksi pencabutan keputusan jaksa agung tentang TP4, ada dua poin penting. Pertama, TP4 Pusat, TP4D Provinsi dan TP4D Kabupaten/Kota tidak menerima permohonan pengawalan dan pengamanan. Artinya, pada 22 November seluruh kejaksaan memberhentikan pengawalan dan pengamanan proyek pembangunan pemerintah.
Kedua, Jaksa Muda Intelijen, Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan Negeri untuk melakukan inventarisasi dan melakukan pemetaan potensi permasalahan dalam pelaksanaan kegiatan TP4 Pusat, TP4D Provinsi dan TP4D Kabupaten/ Kota terhitung sejak 2016-2019. Artinya, ada evaluasi berjenjang terkait tim yang dibentuk era Prasetyo.
Sayangnya, Kejagung enggan terbuka evaluasi TP4 dan TP4D secara detail kepada publik.
Pihak kejaksaan hanya mengungkapkan secara umum yang sudah diketahui publik tanpa menjelaskan contoh-contoh kasus yang terjadi di daerah.
Mukri menyebut evaluasi TP4 “tidak ada SOP, tidak ada kemampuan dalam teknis, sumber daya manusia, dan tidak ada anggaran."
Setelah TP4 dicabut, pengawalan akan dipantau oleh Jaksa Muda Intelijen Kejagung melalui direktur pengamanan pembangunan strategis.
"Jadi, tidak ada kata berhenti dalam melakukan pengamanan. Tetap ada tapi tidak berbentuk TP4, melainkan melaksanakan keefektifan tugas," kata Mukri.
Menutup Kasus TP4
Selain tidak melakukan evaluasi, pencabutan TP4 seolah-olah melupakan kasus dugaan korupsi yang menyeret tim tersebut.
Tirto bertanya kepada Mukri tentang temuan Ombudsman Nusa Tenggara Timur terkait dugaan TP4D yang menjadi penyuplai material proyek.
Menanggapi itu, Mukri berkata tidak perlu membahas sesuatu yang sudah tidak ada dan tidak kembali ke belakang seperti temuan Ombudsman.
"Jadi kalau flashback ke belakang terlalu basi, kecuali masih eksis ada temuan baru," kata Mukri.
Pernyataan Mukri ditanggapi Mohammad Fandi Denisatria, peneliti Lokataru, lembaga nonpemerintah yang berfokus pada bisnis dan hak asasi manusia.
Fandi menilai TP4 tak berhenti sampai pembubaran melainkan harus ada evaluasi secara total. Sebab, TP4 meninggalkan banyak masalah.
Bila kejaksaan enggan terbuka secara kepada publik, menurut Fandi, publik akan memiliki persepsi bahwa ada yang salah dalam pembentukan TP4 sehingga menutupi boroknya sendiri.
"Minta pendapat publik, Pemda dan pemerintah pusat terhadap TP4/TP4D. Apakah efektif mencegah korupsi atau tidak? Lebih baik dievaluasi menyeluruh dan berani mengakui kalau masih kurang maksimal, efektif, dan efisien," ujar Fandi.
Ferdinand Andi Lolo berkata pembubaran TP4 harus dijelaskan kepada publik mengenai hasil dari evaluasi dalam rapat kerja Kejaksaan Agung. Jaksa harus menjelaskan kenapa TP4 tidak bisa diteruskan dan apa masalahnya? Ia menambahkan Kejaksaan Agung harus berani jujur mengatakan masalahnya.
Ferdinand mengingatkan pembentukan TP4 pada awal pemerintahan pertama Joko Widodo digembar-gemborkan oleh Kejaksaan Agung. Sebaliknya, setelah dibubarkan, evaluasi atas kinerja TP4 minim.
"Harus dipublikasikan evaluasinya biar masyarakat tahu permasalahan TP4," ujar Ferdinand. "Kejaksaan harus mengakui bila tidak bermanfaat. Kalau bermanfaat tapi salah urus, silakan beritahu kepada masyarakat di mana salah urusnya."
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Mawa Kresna