Menuju konten utama

Pembantaian Warga Yahudi di Pittsburgh Dikompori Media Sosial

Kasus penembakan massal di rumah ibadah Yahudi di Pittsburgh menunjukkan kekuatan media sosial dalam mengaburkan kebenaran dan memperkuat kebencian.

Pembantaian Warga Yahudi di Pittsburgh Dikompori Media Sosial
Keluarga dan orang terdekat mengangkat peti mati dalam prosesi pemakaman korban penembakan Pittsburgh (30/10/18). AP Photo/Matt Rourke

tirto.id - “Semua orang Yahudi harus mati!”

Seruan itu diteriakkan Robert D. Bowers sebelum menembaki para jemaat Sinagoga kongregasi Tree of Life di Pittsburgh, Amerika Serikat, pada Sabtu (27/10). Sebelas orang dilaporkan tewas.

Bowers memang setengah mati membenci orang Yahudi, sebagaimana yang ia tunjukkan dalam unggahan-unggahannya di akun media sosial Gab miliknya. Alasan-alasan kebenciannya absurd, salah satunya: ia percaya bahwa orang-orang Yahudi yang pindah ke Amerika Serikat akan membantai warga kulit putih.

Vox melaporkan, lewat unggahan terakhirnya di Gab sebelum masuk ke Sinagoga dan membantai belasan orang di sinagoga, Bowers menuduh HIAS (Hebrew Immigrant Aid Society) kerap membawa “penjajah” yang akan membunuh orang kulit putih. HIAS adalah organisasi yang membantu pengungsi Yahudi masuk ke Amerika.

“Aku tak bisa berdiam diri dan melihat bangsaku dibantai,” tulis Bowers. “Persetan dengan cara pandangmu, aku akan berbuat sesuatu.”

Tuduhan Bowers tentu tak pernah terbukti. Saat ini HIAS bahkan lebih sering mendorong pemerintah AS untuk menerima imigran dari Timur Tengah, yang mayoritas Muslim alih-alih Yahudi.

Rupanya Bowers percaya sebuah teori konspirasi yang mengatakan bahwa orang-orang Yahudi berada di balik iring-iringan imigran dari Honduras, El Salvador, dan Guatemala yang ingin masuk ke AS melalui Meksiko.

Salah satu unggahan yang cukup menyedot perhatian warganet di Twitter adalah foto penggalan video Fox News yang menunjukkan sebuah truk yang mengangkut banyak imigran menuju AS. Masih dari Vox, teori konspirasi tersebut semakin ramai dibicarakan setelah kaum anti-semit di internet menyoroti lambang Bintang Daud di badan truk tersebut.

Pada Senin (29/10), New York Times melaporkan terdapat 11.696 unggahan bertagar #jewsdid911 di Instagram. Banyak dari unggahan tersebut mengklaim bahwa Yahudi merupakan pihak yang bertanggungjawab terhadap serangan teror di WTC pada 2001.

Infografik Laju Informasi keliru di media sosial Rev

Kebohongan Menyebar Lebih Cepat

Kasus penembakan Pittsburgh semakin menegaskan betapa media sosial hari ini telah berkembang menjadi monster yang sulit dikendalikan, bahkan oleh para penciptanya.

Pada 2011, media sosial dirayakan sebagai medium demokrasi, menyusul penggunaan Twitter sebagai sarana komunikasi para aktivis selama gelombang Arab Spring di Timur Tengah. Tujuh tahun kemudian, media sosial justru menyediakan panggung bagi ekstremisme, berita bohong, dan ujaran kebencian.

Media sosial Gab adalah wahana media sosial yang mempertegas gelombang kebencian ini. Ketika Facebook, Twitter, dan media-media sosial lainnya mulai memikirkan cara untuk menangkal disinformasi dan kekacauan informasi di dunia maya, Gab justru bersikeras bahwa kebebasan berpendapat adalah hal paling penting, kendati kebebasan tersebut sering disalahgunakan untuk menyebarkan kebencian terhadap ras, agama, dan kelompok-kelompok sosial tertentu.

“Kami menawarkan pembicaraan online yang telanjang, rasional, terbuka, dan otentik,” ujar pendiri Gab Andrew Torba kepada Wired tak lama setelah Gab diluncurkan. “Kami ingin semua orang untuk merasa aman di Gab, tapi kami tidak akan menjadi polisi untuk ujaran kebencian dan lainnya.”

Tak butuh waktu lama bagi Gab untuk menjelma ladang kebencian, disinformasi, dan teori konspirasi di internet. Beberapa media seperti Salon menganggap Gab sebagai “Twitter khusus orang-orang rasialis”. Adapun Guardian menilainya sebagai ruang yang penuh kebencian rasialisme dan teori konspirasi”.

Sayangnya, ada banyak kasus yang menunjukkan betapa perusahaan-perusahaan teknologi pencipta media sosial tidak tahu cara mengatasi masalah-masalah sosial yang diakibatkan oleh penyebaran disinformasi di lapak mereka sendiri.

Facebook adalah salah satunya. Wakil Direktur Manajemen Produk Guy Rosen mengatakan bahwa teknologi yang dimiliki Facebook masih “belum dapat bekerja dengan baik” dalam mengidentifikasi ujaran kebencian.

Oleh karenanya, tambah Rosen, Facebook mempekerjakan tim khusus untuk melakukan pengecekan secara terpisah. “Kita telah menghapus 2,5 juta ujaran kebencian pada Kuartal pertama 2018,” jelas Rosen, sembari menambahkan bahwa 38 persen dari jumlah tersebut telah ditandai (flagged) oleh teknologi mereka.

Jumlah identifikasi itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan hasil identifikasi Facebook untuk terhadap konten kekerasan dan pornografi. Untuk konten kekerasan Facebook berhasil menandai 86 persen dari 3,5 juta unggahan. Untuk konten porno, 96 persen dari total 21 juta unggahan telah ditandai.

Singkatnya, teknologi kecerdasan artifisial yang ada saat ini belum cukup canggih untuk dapat mendeteksi konteks unggahan yang ada. Dalam kasus tersebut, pemahaman mengenai konteks, lanjut Rosen, adalah kunci untuk mendeteksi ujaran kebencian.

Dengan kata lain, kasus-kasus disinformasi yang melibatkan konteks yang lebih rumit juga belum mampu dideteksi dengan baik oleh Facebook.

New York Times melaporkan, situasi Twitter agak berbeda. Mereka masih terjebak pada diskusi seputar apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terkait penyebaran ujaran kebencian dan disinformasi. Media sosial berlogo burung biru itu memang tak punya kebijakan khusus untuk memberantas disinformasi, sebab mereka masih berpegang pada prinsip kebebasan berekspresi.

Masalahnya, studi dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang berjudul “The Spread of True and False News Online” (2018) mengatakan bahwa penyebaran disinformasi di Twitter berlangsung lebih cepat mengalahkan informasi yang akurat.

Untuk mencapai 1.500 orang di Twitter, informasi akurat membutuhkan waktu sekitar enam kali lebih lama dibandingkan disinformasi. Berita bohong bertema politik juga menyebar lebih cepat dan mencapai lebih dari 20.000 orang, hampir tiga kali lebih cepat daripada kecepatan semua jenis berita palsu lainnya dalam menjangkau 10.000 orang. Disinformasi di Twitter pun 70 persen lebih berpotensi untuk di-retweet dibandingkan dengan informasi akurat.

Studi berjudul “Social Clicks: What and Who Gets Read on Twitter?” (2016) juga menunjukkan bahwa sebanyak 59 persen dari semua tautan yang dibagikan di media sosial sama sekali tidak diklik. Ini mengindikasikan bahwa orang seringkali membagikan artikel tanpa pernah membacanya. Dengan kata lain, tantangan utama sesungguhnya terletak pada terbatasnya waktu yang dimiliki manusia di saat teknologi belum mampu mengatasi disinformasi.

Penelitian bertajuk “Limited individual attention and online virality of low-quality information” (2017) mengatakan bahwa lonjakan besar informasi di era media sosial mempersulit manusia untuk mengurasi informasi yang membanjiri layar perangkat digital. Inilah yang membuat kebutuhan akan konfirmasi konten media makin besar dalam beberapa tahun terakhir.

“Kita sangat miskin waktu,” keluh pakar media sosial Kylie Bartlett, dilansir dari News Corp. “Kita beralih ke media sosial sebagai langkah cepat untuk [memperoleh informasi] dan tidak memeriksa kebenaran informasi yang kita baca".

Baca juga artikel terkait PENEMBAKAN atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Windu Jusuf