tirto.id - Manusia pada hakikatnya memiliki hak-hak fundamental yang harus dihormati keberadaannya. Dari bukuPendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (2021: 5), hak dasar itu terdiri dari dua bagian, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan.
Hak asasi manusia pada dasarnya merupakan sebuah pengakuan atau penerimaan bahwa setiap insan manusia memiliki hak sebagai makhluk hidup di dunia. Hak tersebut harus bisa dihormati, dilindungi, serta diakui keberadaannya.
Akan tetapi, manusia ketika mengklaim hak tersebut, tidak dibenarkan untuk menyenggol atau merugikan hak milik orang lain.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 menyebutkan bahwa:
“Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Dari bukuPendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (2021: 7) HAM pada hakikatnya memiliki beberapa ciri dasar, yang mencakup:
1. HAM merupakan bagian dari seorang insan manusia tanpa perlu diminta, dibeli, diberikan, atau pun diwariskan.
2. HAM tidak memandang bulu, setiap orang sedari ia dilahirkan telah memiliki hak-hak fundamentalnya sebagai seorang manusia.
3. Hukum yang ada tidak dapat melanggar hak-hak fundamental seseorang sebagai manusia. Meskipun tidak ada perlindungannya, hak-hak fundamental ini tetap akan selalu melekat pada diri manusia.
Upaya Pemajuan HAM di Indonesia Periode 1959-1966
Periode 1945-1950 merupakan awal dari upaya pemajuan HAM di Indonesia yang dilakukan untuk menekan hak untuk merdeka sebagai suatu negara.
Selanjutnya di periode 1950-1959, ruang kebebasan terasa sangat lapang dan menjadi sangat demokratis serta liberal.
Hal ini dapat ditandai dengan banyaknya tumbuh partai-partai politik dengan ideologi yang beragam, kebebasan pers, pemilihan umum yang berlandaskan kebebasan, adil dan demokrtatis, wakil rakyat sebagai representatif rakyat menunjukkan kinerja yang baik, serta pemikiran mengenai HAM mendapatkan ruangnya sendiri.
Di periode 1959-1966, pemerintah memberlakukan sistem demokrasi terpimpin, reaksi Sukarno sebagai tanda penolakan terhadap sistem demokrasi parlementer.
Di sistem demokrasi terpimpin, semua keputusan dan kebebasan menjadi milik presiden secara seutuhnya. Jika dikaitkan dengan HAM, sistem demokrasi terpimpin menyebabkan pembatasan ruang kebebasan hak sipil dan hak politik masyarakat.
Hak untuk berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat atau opini menjadi sangat terbatas.
Penulis: Marhamah Ika Putri
Editor: Dipna Videlia Putsanra