Menuju konten utama

Hakikat HAM & Pemajuan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1966-1998

HAM adalah hak manusia yang dilindungi secara universal (tidak terbatas pada wilayah nasional atau regional saja).

Hakikat HAM & Pemajuan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1966-1998
Ilustrasi Hak Asasi Manusia. foto/Istockphoto

tirto.id - Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak-hak yang melekat pada diri manusia yang perlu diakui dan dilindungi keberadaannya. Pemajuan atau perkembangan HAM di Indonesia ternyata dibagi menjadi beberapa masa, salah satunya kisaran tahun 1966-1998.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), HAM dijabarkan sebagai hak manusia yang dilindungi secara universal (tidak terbatas pada wilayah nasional atau regional saja). Hak-hak tersebut meliputi hak untuk hidup, mendapatkan kemerdekaan, memiliki sesuatu, hingga hak untuk menyuarakan pendapatnya.

Pelopor pemikiran tentang hak konkret yang dimiliki setiap individu ini adalah organisasi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Pada 10 Desember 1948, HAM secara universal diatur dalam sebuah deklarasi yang dikenal sebagai sebagai “Universal Decralation of Human Rights”. Isi deklarasi tersebut meliputi 30 pasal yang menerangkan hak-hak sipil, ekonomi, sosial, dan budaya yang musti dinikmati setiap manusia di dunia ini.

Lebih lengkap, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999, tepatnya pada pasal 1, menyatakan bahwa:”

HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

Dari definisinya secara universal maupun arti menurut UUD RI No 39 Tahun 1999, keduanya sama-sama menjabarkan bahwa hakikat HAM adalah hak yang sifatnya melekat di diri manusia dan tidak dapat diganggu oleh dunia maupun negara.

Bahkan, hak-hak tersebut mesti dilindungi dan dipertahankan agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Lantas, bagaimana sejarah pemajuan HAM pada tahun 1966-1998 di Indonesia?

Infografik SC Sejarah HAM

Infografik SC Sejarah HAM. tirto.id/Sabit

Pemajuan HAM di Indonesia 1966-1998

Melansir catatan Nuryadi dan Tolib dalam buku ajar PPKn (2014:10-11), dijelaskan bahwa setelah pemerintahan Soekarno diganti oleh Soeharto, sering mengadakan berbagai macam seminar mengenai HAM, mulai pada 1967 yang mencanangkan dibentuknya pengadilan HAM, komisi HAM, dan pengadilan HAM untuk daerah Asia.

Di tahun 1968, seminar HAM dilakukan secara nasional (disebut Seminar Nasional Hukum II). Saat itu, terdapat pendapat diperlukannya hak uji materiil dalam rangka melindungi dan mempertahankan hak asasi manusia.

Berlanjut di kisaran tahun 1970 hingga 1980-an, ternyata masalah hak asasi manusia mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh pemikiran HAM berasal dari orang-orang barat yang notabene sikapnya individualistik (berbeda dengan Indonesia yang mengutamakan kekeluargaan).

Ternyata, ada juga pendapat bahwa Indonesia sebenarnya sudah mengetahui HAM sebelum “Declaration of Human Rights” tercipta. Kendati seperti itu, pemajuan HAM di tahun berikutnya terus melakukan pengembangan dalam rangka melindungi hak fundamental manusia.

Pemajuan tersebut ternyata dipelopori oleh kalangan akademisi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mereka berupaya menegakkan HAM karena masih banyaknya kasus terkait dengan hal tersebut, mulai dari kasus Tanjung Priok, Kedung Ombo, Dom di Aceh, dan lain-lain.

Memasuki 1990-an, yang sebelumnya mengutamakan upaya represif dan defensif terhadap tuntutan HAM mengubah strateginya menjadi lebih akomodatif.

Dari rencana akomodatif tersebut, pemerintah membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) pada 1993 yang disahkan melalui KEPRES Nomor 50 Tahun 1993 bertanggal 7 Juni 1993. Melalui lembaga ini, pantauan dan penyelidikan terhadap pelaksanaan HAM di Indonesia dilakukan.

Baca juga artikel terkait HAK ASASI MANUSIA atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Alexander Haryanto