tirto.id - Hak asasi manusia (HAM) didefinisikan sebagai hak-hak dasar yang menempel pada diri manusia. Selain itu, HAM memiliki sifat abadi sebagai anugerah Tuhan, mencakup sesuatu yang kodrati dan universal.
Berdasarkan peraturan Tap MPR No. XVII/MPR/1998 dalam Pembukaan Piagam Hak Asasi Manusia, HAM mengandung beberapa hal, meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak untuk mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan.
Lebih rinci, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1, menyebutkan bahwa “HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa hakikat HAM adalah hak kodrati yang sudah ada di dalam diri manusia sejak lahir. Sifatnya yang disebut sebagai takdir ini mendapatkan perlindungan dari aspek-aspek lain, misalnya negara, hukum, hingga pemerintah.
Oleh karena itu, pemajuan HAM dalam setiap negara memiliki sejarahnya tersendiri, termasuk di Indonesia. Pembagian periode pemajuan HAM ternyata dibagi menjadi beberapa masa, salah satunya tahun 1945-1950. Lantas, seperti apakah upaya pemajuan HAM di periode tersebut?
Pemajuan HAM di Indonesia Tahun 1945-1950
Melansir catatan Nuryadi dan Tolib dalam PPKn (2014:8), upaya pemajuan HAM periode 1945-1950 baru berbicara tentang hak untuk merdeka dan kebebasan berserikat, serta kebebasan untuk menyuarakan pendapatnya. Ketiga hal tersebut tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Seiring dengan perkembangan pemikiran HAM, prinsip mengenai kedaulatan rakyat dan negara akhirnya digunakan sebagai landasan penyelenggaraan negara Indonesia yang merdeka. Melalui Maklumat Pemerintah bertanggal 1 November 1945, tertulis seperti ini:
“..sedikit hari lagi kita akan mengadakan pemilihan umum sebagai bukti bahwa bagi kita cita-cita dan dasar kerakyatan itu benar-benar dasar dan pedoman penghidupan masyarakat dan negara kita. Mungkin sebagai akibat pemilihan itu pemerintah akan berganti dan UUD kita akan disempurnakan menurut kehendak rakyat yang terbanyak.”
Dua hari setelah itu, muncul dua poin dalam Maklumat Pemerintah (bertanggal 3 November 1945) mengenai pemajuan HAM. Pertama, menyangkut hak kebebasan rakyat untuk membentuk partai. Kedua, mengungkapkan bahwa pemerintah mendukung munculnya partai-partai politik karena dengan partai, semua aliran dan paham di masyarakat dapat diatur.
Masih termasuk dalam periode 1945-1950, hal penting terkait pemajuan HAM dilihat dari perubahan sistem pemerintahan presidensial ke parlementer. Hal tersebut didasarkan oleh adanya hambatan dalam pelaksanaan pemajuan HAM. Oleh karena itu, maka pemerintah merasa perlu melakukan perubahan demi kesempurnaan negara yang mengutamakan demokrasi.
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Alexander Haryanto