tirto.id - Herbalife adalah salah satu produk suplemen nutrisi terkenal yang diklaim mampu membentuk indeks massa tubuh ideal konsumennya. Mau kurus atau gemuk, bisa disesuaikan dengan program diet yang dianjurkan oleh produk tersebut.
Pada laporan sebelumnya, Tirto mengulas dampak kesehatan mengonsumsi Herbalife. Penelitian pada banyak negara, menyebutkan beberapa produk ini diduga membikin kerusakan liver. Di Spanyol, sejak tahun 2003-2010 ditemukan 20 data terkait kerusakan liver akibat konsumsi produk ini. Sebanyak 12 pasien (60%) membutuhkan rawat inap, sembilan (53%) pasien mengalami penyakit kuning, satu pasien mendapat sirosis, sementara lainnya sembuh.
Sejak 2008, Kementerian Kesehatan Spanyol telah mengeluarkan peringatan terhadap konsumsi produk-produk Herbalife karena rangkaian kasus tersebut. Tindakan serupa juga dilakukan negara-negara Uni Eropa seperti Islandia, Swiss dan Israel. Pada 2008, mereka melaporkan kejadian kerusakan liver mencapai 37 kasus. Penelitian terbaru pada 2019 ini menyebut seorang perempuan India meninggal karena hepatitis setelah mengonsumsi Herbalife selama dua bulan.
“Sebanyak 75 persen sampel mengandung tingkat logam berat tinggi dan senyawa toksik yang tidak diungkapkan produsen, termasuk jejak agen psikotropika,” tulis peneliti.
Usai artikel pertama mengudara, Tirto mendapat ragam tanggapan warganet. Beberapa di antara mereka turut mengisahkan pengalaman setelah mengonsumsi Herbalife. Cerita pertama datang dari Amrita Ayuningtyas. Mendiang ibunya adalah konsumen setia Herbalife sejak 2003. Kala itu, Herbalife belum sebesar dan sepopuler sekarang. Panduan konsumsi produk juga hanya diberikan melalui selebaran kecil yang disisipkan pada paket produk. Ibunda Amrita membeli paket bulanan tersebut seharga lebih dari Rp1 juta.
Selama tujuh tahun, ibunya mengonsumsi paket lengkap diet dan berhasil menurunkan berat badan hingga 20 kg. Teh, milkshake, hingga pil pelangsing dari Herbalife rajin ia konsumsi demi harapan berat badan ideal dan hidup lebih sehat. Namun, pada 2010, muncul keluhan pertama sesak napas pada ibunya. Semenjak itu hingga tahun 2017, Ibunda Amrita rutin bolak-balik rumah sakit karena komplikasi organ.
“Terakhir sampai meninggal, jadi harus rutin cuci darah karena merembet ke mana-mana, ginjalnya juga kena,” ungkap Amrita. Sebelumnya, mendiang sang paman juga meninggal dengan ciri-ciri serupa Ibunda Amrita, keduanya sama-sama mengonsumsi Herbalife dengan tujuan menurunkan obesitas.
Kisah kedua datang dari Fathia, bukan nama sebenarnya. Ia sempat mengonsumsi paket lengkap Herbalife pada pertengahan 2017, sekitar tiga minggu lamanya. Ia tergiur bujuk rayu temannya yang mampu menurunkan berat badan hingga 23 kg. Asupan nutrisinya sehari-hari digantikan oleh susu, teh, dan suplemen Herbalife lainnya, Fathia hanya makan berat pada waktu siang hari.
“Saya agak gemuk memang, dan kerjaan enggak memungkinkan saya buat olahraga. Akhirnya ambil jalan pintas,” ujarnya berkisah.
Minggu ketiga, badannya mulai menunjukkan tanda-tanda penolakan. Ritme jantungnya tak beraturan, frekuensi buang air kecil meningkat drastis, ulu hatinya sakit, sampai tangannya kaku tak bisa bergerak. Fathia sempat mengira dirinya terkena stroke. Setelah diperiksa, dokter mencurigai akar masalahnya terletak pada pola konsumsi harian yang tidak normal.
Fathia diminta menghentikan diet suplemennya. Dokter menduga teh herbal yang ia konsumsi menjadi penyebab utama keluhan. Teh bersifat diuretik, yakni membuang garam dan cairan dalam tubuh lewat urin sehingga bisa membikin tubuh kekurangan cairan. Selain itu, kafein pada teh juga bisa memacu kerja jantung lebih cepat dan mempengaruhi asam lambung.
“Waktu nanya ke teman yg nawarin produk, dia bilang itu wajar karena proses detoksifikasi,” katanya. “Ternyata ada pembengkakan di liver. Kata dokter kalau diteruskan, dalam jangka panjang bisa kerusakan liver dan mempengaruhi organ lainnya.”
Terhadap gejala penyakit yang ia terima, Fathia tak pernah berniat mempertanyakan atau menuntut penjual produk, apalagi perusahaannya. Ia pesimistis usaha itu akan sia-sia karena si penjual bukan ahli gizi, bukan pula dokter. Selama ini, kredibilitas produk hanya diklaim berdasar testimoni jangka pendek. Namun, studi lanjutan tak pernah jelas terpublikasi.
“Ya, kalau saya tuntut juga mereka pasti jawab, '[Kami] cuma jualan.'”
Pendapat Ahli Herbal
Pada 2008, Herbalife Internasional pernah merespons dugaan kerusakan liver akibat produknya. Perusahaan yang bergerak di bidang nutrisi herbal ini menyatakan selama lebih dari 28 tahun, tak ada keluhan dari puluhan juta konsumen Herbalife di seluruh dunia. Manager Corporate Communications Herbalife Nutrition Indonesia, Intan Pratiwi Darmawanti, juga melontarkan pernyataan serupa.
“Setiap hari, jutaan konsumen menggunakan produk Herbalife Nutrition secara aman di seluruh dunia ... dan tidak ada hepatotoksin pernah ditemukan dalam produk kami,” katanya.
Ahli herbal sekaligus dokter di Klinik Saintifikasi Jamu, dr. Danang Ardianto, berbincang dengan reporter Tirto mengenai herbal pelangsing secara umum. Mekanisme kerja herbal pelangsing ternyata bekerja secara tidak langsung. Beberapa tanaman membikin sensasi kenyang karena mengembang dan menghambat penyerapan lemak di usus, bukan langsung merontokkan lemak.
Diet untuk melangsingkan tubuh tetap harus dibarengi olahraga dan nutrisi cukup. Mirisnya, banyak orang enggan menjalani pola hidup sehat dan hanya ingin hasil yang instan. Padahal, banyak suplemen atau herbal yang diklaim melangsingkan terbuat dari bahan-bahan bersifat diuretik atau pencahar, sehingga berkurangnya massa tubuh hanya bersifat semu, bahkan membahayakan.
Beberapa contoh herbal yang punya efek diuretik dan masih sering digunakan adalah daun jati Belanda, klabet, daun senna, akar kelembak, dan teh.
“Ini yang berbahaya, karena yang keluar cairan jadi risiko dehidrasi, usus rusak, kerja ginjal jadi berat,” papar Danang. “Apalagi sekarang banyak produk diklaim herbal, tapi ternyata dicampur bahan kimia. Itu yang membikin kerusakan hati, ginjal, dsb.”
Terkait klaim super bahwa satu jenis herbal bisa memiliki dua keunggulan, yakni melangsingkan sekaligus membikin gemuk, Danang menyebut khasiat itu tergantung bahan baku produk. Pada herbal Lempuyang, misalnya. Jenis Lempuyang Emprit dan Wangi punya efek membikin kenyang, sementara Lempuyang Gajah memicu nafsu makan.
Yang jelas, konsumsi produk herbal harus mengikuti takaran yang disarankan. Obat herbal bukan berarti bisa dikonsumsi berlebih dan tak memiliki efek samping. Sebelum dikonsumsi manusia, idealnya semua produk termasuk herbal diujikan terlebih dulu ke hewan. Tujuannya untuk menemukan data toksisitas, dosis maksimal yang aman, sehingga tidak mempengaruhi fungsi organ tubuh apalagi membikin kematian.
Amankah Herbalife Indonesia?
Di Indonesia, banyak produk Herbalife sudah teregistrasi di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sejak 2003, di antarannya adalah Thermojetics Herbals Concentrate-Original dan NRG Nature S Raw Guarana Instant Tea. Ada pula produk yang masih berlaku Nomor Izin Edarnya (NIE), seperti Herbalifeline, Lipo Bond Tablet, Nutritional Shake Mix (French Vanilla, Wild Berry, Dutch Chocolate), Fiber & Herb Tablet, Cell-U-Loss Tablet, Herbal Concentrate, dan Nutrition Active.
"Produk yang memiliki NIE di Indonesia telah dilakukan evaluasi kemanfaatan, keamanan, dan mutu pada saat pendaftaran produk," ujar Kepala BPOM Penny K. Lukito.
Setelah produk dipasarkan, BPOM juga melakukan pengawasan melalui sampel dan pengujian produk. Selama rentang waktu 2014 hingga 2018, BPOM belum pernah menerima laporan efek samping terkait penggunaan Herbalife.
Menanggapi hasil studi kasus yang terbit di Jurnal Clinical and Experimental Hepatology (2019), Penny menyatakan dari tiga obat dalam studi tersebut, hanya satu produk yang beredar di Indonesia, yakni Personalized Protein Powder.
Sementara itu, dua produk lainnya yang diteliti tercatat dalam jurnal itu, yakni Afresh Energy Drink dan Formula 1 Shake Mix, tidak terdaftar di BPOM. Soal efek samping yang ditimbulkan Herbalife terhadap korban, Penny mengatakan ada kondisi bawaan korban, yakni hipotiroid dan penggunaan tiroksin selama lima tahun terakhir yang harus dikaji lebih lanjut.
Editor: Maulida Sri Handayani