Menuju konten utama

Pelambatan Kredit Konsumsi Jadi Cerminan Pelemahan Daya Beli

Pada Desember 2024, masyarakat cenderung menahan belanja karena ketidakpastian terkait kebijakan tarif PPN 12 persen.

Pelambatan Kredit Konsumsi Jadi Cerminan Pelemahan Daya Beli
Nasabah mengakses layanan aplikasi penunda pembayaran (paylater) di Kota Serang, Banten, Kamis (12/9/2024). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kredit pembiayaan Buy Now Pay Later (BNPL) atau pay later pada perbankan periode Juli 2024 tumbuh sebesar 36,66 persen secara tahunan (yoy) menjadi Rp 18,01 triliun dengan jumlah rekening mencapai 17,90 juta. ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/Spt.

tirto.id - Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa per Desember 2024 realisasi penyaluran kredit tumbuh 10,39 persen. Itu lebih rendah dari realisasi penyaluran kredit November 2024 yang sebesar 10,79 persen. Artinya, pada paruh kedua 2024, pertumbuhan kredit sedikit melambat.

Jika dirinci, penyaluran tertinggi terjadi pada kredit investasi dengan realisasi mencapai 13,62 persen, melambat dibanding bulan sebelumnya yang sebesar 13,77 persen.

Kemudian, realisasi penyaluran kredit Desember ditopang oleh kredit konsumsi sebesar 10,61 persen, lebih rendah dari realisasi penyaluran kredit konsumsi November 2024 sebesar 10,94 persen.

Selanjutnya, kredit modal kerja yang disalurkan perbankan pada Desember 2024 ialah sebesar 8,35 persen, turun dari bulan sebelumnya yang sebesar 8,92 persen.

Meski pertumbuhan kredit melambat di akhir tahun lalu, Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial (DKMP), Nugroho Joko Prastowo, mengatakan bahwa kemampuan pemerintah menjaga pertumbuhan kredit di atas 10 persen dalam kondisi perlambatan tetaplah sebuah capaian.

“Nah, dalam situasi seperti ini, bisa di atas 10 persen adalah suatu capaian. Dan capaian ini didukung kebijakan maupun istilahnya kemampuan dari sektor riilnya,” kata Nugroho dalam acara Pelatihan Wartawan di Kantor BI Aceh, Jumat (7/2/2025).

Seturut laporan BI, pertumbuhan kredit Desember 2024 ditopang oleh penjualan dan belanja modal (capital expenditure/capex) korporasi yang tumbuh positif. Selain itu, konsumsi rumah tangga kelas menengah ke atas masih positif. Sedangkan, kinerja konsumsi kelas menengah ke bawah masih cenderung terbatas.

Hal ini terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa penghasilan kelas menengah pada 2024 hanya berada di kisaran Rp2,04 juta hingga Rp9,91 juta per kapita per bulan. Sementara itu, rata-rata masyarakat golongan atas memiliki sisa upah setidaknya di kisaran Rp1,59 juta per bulan.

Meski begitu, BI masih mencatat pertumbuhan pada Indeks Penghasilan Saat Ini di Desember 2024, yaitu mencapai 123,9. Posisi tersebut lebih tinggi dari angka Indeks Penghasilan Saat Ini November 2024 yang sebesar 121,9.

Jika dirinci, Indeks Penghasilan Saat Ini pada kelompok masyarakat berpenghasilan Rp1-2 juta berada di level 113,8 alias lebih tinggi ketimbang bulan sebelumnya yang sebesar 112,4. Selanjutnya, untuk masyarakat berpenghasilan Rp2,1-3 juta turun menjadi 114,3 dari sebelumnya 117,1.

Kemudian, untuk penghasilan Rp3,1-4 juta, angka Indeks Penghasilan Saat Ini pada Desember 2024 adalah 121,4 alias turun dari posisi November 2024 yang sebesar 120,8. Sementara untuk Indeks Penghasilan Saat Ini pada kelompok pendapatan Rp4,1-5 juta dan lebih dari Rp5 juta masing-masing adalah 127,3 dan 139,1, meningkat dari posisi November 2024 yang sebesar 122,0 dan 136,9.

“Untuk kelas menengah dan atas, pendapatannya masih meningkat dan itu yang mendorong konsumsi. Kemudian, juga kepada permintaan kreditnya,” ujar Joko.

Kendati penyaluran kredit secara keseluruhan maupun kredit konsumsi mengalami pelambatan, Joko memastikan bahwa kemampuan bayar rumah tangga masih tetap baik.

Hal itu tercermin dari rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) yang masih sebesar 2,04 persen, dengan NPL per segmen di antaranya: NPL kredit multiguna sebesar 1,44 persen; NPL kredit pemilikan rumah (KPR) 2,68 persen; kredit kendaraan bermotor 2,28 persen; dan NPL kredit peralatan rumah tangga sebesar 1,09 persen.

“Kemampuan bayar rumah tangga istilahnya tetap baik, gitu kan. NPL-nya istilahnya tidak terjadi lonjakan. Itu dilihat per segmen, dari NPL-nya juga sekitar 2 persen. Bahkan, yang merah [kredit multiguna] dan yang biru [kredit peralatan rumah tangga] malah 1 persen,” tambah Joko.

Daya Beli Kelas Menengah Turun

Penyaluran kredit yang masih di kisaran 10 persen pada Desember 2024, menurut Global Market Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, disebabkan oleh tren suku bunga tinggi yang terjadi di sepanjang tahun lalu.

Hal ini sejalan dengan kebijakan BI yang mempertahankan suku bunga acuan (BI rate) di level 6 persen cukup lama, meski sempat dinaikkan pada April 2024 menjadi 6,25 persen, lalu akhirnya diturunkan kembali pada September 2024.

“Jadi, itu bikin daya beli masyarakat menengah ke bawah turun. Karena cicilan yang biayanya naik dan mereka juga keberatan buat berutang untuk beli barang konsumsi karena bunga tinggi,” kata Myrdal kepada Tirto, Jumat (7/2/2025).

Turunnya daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah juga membuat pembelian barang konsumsi tahan lama (durable goods), seperti motor dan mobil, juga mengalami penurunan. BI mencatat adanya penurunan pembelian barang konsumsi tahan lama pada November 2024, khususnya pada kelompok pendapatan Rp1-2 juta dan Rp4,1-5 juta yang masing-masing menjadi 102,1 dan 111,4, dari posisi Oktober 2024 yang masih sebesar 103,9 dan 113,1.

Kendati demikian, pada Desember 2024, pembelian barang konsumsi tahan lama pada seluruh kelompok pendapatan kompak tumbuh.

Secara rinci, indeks pembelian durable goods pada kelompok pendapatan Rp1-2 juta sebesar 108,8; pendapatan Rp2,1-3 juta sebesar 105,9; pendapatan Rp3,1-4 juta sebesar 111,4; kelompok pendapatan Rp4,1-5 juta menjadi 116,2; sedangkan untuk kelompok pendapatan lebih dari Rp5 juta menjadi 119,8.

“[Kemampuan] beli barang konsumsi tahan lama, seperti motor dan mobil baru, juga turun karena penduduk yang tinggal di daerah berbasis komoditas juga mengalami keterbatasan kenaikan pendapatan karena performa harga komoditas pada tahun lalu tidak impresif, terutama batu bara dan migas,” jelas Myrdal.

Berharap pada Pertumbuhan Kredit

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai bahwa pelambatan kredit pada Desember 2024 belum tentu mencerminkan pelembatan daya beli masyarakat. Hal ini terlihat dari realisasi penyaluran kredit investasi dan modal kerja yang lebih cepat dari kredit konsumsi.

Apalagi, pada Desember 2024 kemarin, ada kondisi tak biasa, yakni masyarakat cenderung menahan belanja karena belum adanya kepastian terkait kebijakan penaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Padahal, konsumsi rumah tangga biasanya melonjak di akhir tahun, seiring dengan adanya momen Natal dan Tahun Baru (Nataru).

“Jadi, artinya ada kegiatan ataupun mungkin kalau kita lihat memang ada concern waktu itu. Di Desember, kan waktu itu belum ada kepastian nih PPN. Keputusan PPN kan [baru diumumkan pada] 31 Desember. Jadi, sebelum 31 Desember itu kan ada kemungkinan orang menunda belanja,” jelas Josua saat ditemui di sela-sela acara Pelatihan Wartawan di Kantor BI Aceh, Jumat (7/2/2025).

Selain PPN 12 persen, masyarakat juga masih menunggu kepastian kebijakan pungutan tambahan pajak (opsen) kendaraan bermotor yang juga baru diputuskan pada Januari 2025.

“Jadi, artinya banyak faktor yang saya lihat bisa memengaruhi kredit konsumsi jadi cenderung menurun ataupun tertahan,” imbuh dia.

Sementara itu, untuk mengerek pertumbuhan kredit, BI telah menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps), menjadi 5,75 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Januari 2025. Hal ini sesuai dengan kebijakan makroprudensial BI, yakni untuk mendukung pertumbuhan.

Dengan kebijakan ini pula, pertumbuhan kredit pada akhirnya diharapkan dapat mengerek pertumbuhan ekonomi nasional.

“Sehingga, kebijakan makroprudensial yang pro-growth itu diarahkan untuk tetap menjaga pertumbuhan kreditnya bisa tumbuh tinggi,” kata Nugroho, Jumat (7/2/2025).

Untuk menggenjot kinerja penyaluran kredit dan juga pertumbuhan ekonomi nasional, menurut Myrdal, BI masih memiliki cukup ruang untuk menurunkan suku bunga acuannya lagi secara signifikan, yakni hingga 50 bps menjadi 5,25 persen. Kemungkinan ini bisa saja dilakukan lantaran kondisi inflasi yang rendah dan didukung oleh tekanan terhadap rupiah yang tak begitu besar.

“Karena investor asing juga eksposur di pasar keuangan juga udah menurun, seiring porsi mereka yang semakin mengecil di SUN [Surat Utang Negara], SRBI [Sekuritas Rupiah Bank Indonesia], dan saham. Cadangan devisa kita juga di rekor tertinggi bulan lalu,” kata Myrdal saat dihubungi Tirto, Jumat (7/2/2025).

Namun, dengan kondisi terjadi pelambatan ekonomi dan daya beli seperti sekarang, Myrdal berharap sektor industri ritel dan konsumsi dapat bangkit terlebih dulu. Pasalnya, dua sektor itu dapat didongkrak melalui stimulus fiskal yang digulirkan oleh pemerintah, khususnya kepada masyarakat dari kelas menengah hingga berpendapatan rendah.

“Apalagi, kalau kebijakan yang dilakukan BI bersinergi dengan pemerintah untuk turunkan BI rate secara agresif,” sambungnya.

Sementara itu, alih-alih hanya mengandalkan penurunan suku bunga acuan lebih dalam, Josua lebih percaya untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional terlebih dulu. Sebab, ketika perekonomian nasional membaik, permintaan dari masyarakat terhadap barang, termasuk barang-barang kredit juga bakal mengalami kenaikan.

Menurut Josua, suku bunga acuan adalah salah satu instrumen untuk mencapai pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.

“Suku bunga, ya itu bisa menjadi salah satu pendorongnya. Tapi, yang utamanya kan permintaan. Kalau misalkan enggak ada belanja, orang enggak mau belanja otomotif, belanja rumah, kan pasti dia enggak akan ngambil kredit kan? Jadi, suku bunganya jadi enggak ada efeknya,” tegas Josua.

Baca juga artikel terkait PERTUMBUHAN KREDIT atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi