Menuju konten utama

PBNU akan Tindaklanjuti Laporan Warga Soal Konflik Lahan Sawit

Amin Said Husni meminta agar segala dokumen-dokumen yang menunjang bisa diserahkan ke PBNU untuk dijadikan bahan tindak lanjut.

Audiensi PBNU dengan sejumlah perwakilan petani dari Teluk Kepayang, Tanah Bumbu, dan Kota Baru, Kalimantan Selatan di Kantor PBNU, Jakarta, Selasa (28/6/2022). (FOTO/Dok. LTN (Kominfo) PBNU)

tirto.id - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berkomitmen membantu menyelesaikan laporan dari masyarakat berkonflik, salah satunya terkait konflik agraria yang dialami petani sawit di Kalimantan Selatan. Hal ini merespons warga yang mengadu ke PBNU terkait dugaan penyerobotan lahan sawit.

Ketua PBNU Bidang Hukum, Pendidikan, dan Media, Amin Said Husni berjanji akan mempelajari kasus tersebut. “Kami berkomitmen membantu apa yang menjadi kesulitan masyarakat,” kata Amin dalam keterangan tertulis, Selasa (28/6/2022).

Amin meminta agar segala dokumen-dokumen yang menunjang bisa diserahkan ke PBNU untuk dijadikan bahan tindak lanjut.

Ketua PBNU lainnya Choirul S Rosyid menambahkan, aduan yang disampaikan para petani itu nantinya akan dibicarakan di pengurus harian untuk dicarikan solusi. “Mungkin juga nanti akan ada pendampingan kepada mereka,” kata Choirul.

Sementara itu, Sekretaris Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LBPH) NU, Hakam Aqsho berharap para petani itu bisa segera menyerahkan data lahan, pohon sawit, dan jumlah petani yang dirugikan itu. Data-data itu, nantinya akan dijadikan bahan kajian di PBNU dalam mencari solusi.

Dalam audiensi dengan PBNU, sejumlah perwakilan petani dari Teluk Kepayang, Tanah Bumbu, dan Kota Baru, Kalimantan Selatan mengadukan penyerobotan lahan yang dilakukan oleh perusahaan swasta di daerah tersebut. Mereka sengaja mengadu ke PBNU karena selama ini upaya pengaduan yang telah dilakukan melalui jalur formal seperti kepolisian tak membuahkan hasil.

Salah seorang petani yang tak mau disebut namanya, mengaku para petani sudah mengadukan kasus penyerobotan lahan itu tahun lalu ke polres hingga Polda Kalimantan Selatan. “Saat kami mengadu ke kepolisian, tapi mereka bilang jangan membuat masalah,” kata petani itu kepada sejumlah wartawan di Kantor PBNU, Jakarta, Selasa (28/6/2022).

Dia bercerita, kasus berawal pada 2020. Saat itu ada 67 petani yang memiliki 700 ha lahan. Saat itu lahan mereka diambil oleh salah satu perusahaan swasta. Dalam perjalanan, perusahaan tersebut diambilalih oleh perusahaan lain. Dari 700 ha itu kemudian dikembalikan ke petani 300 ha untuk dikelola.

Namun dalam perjalanannya, ketika pohon sawit sudah berusia lima tahun lebih, perusahaan tersebut meminta lahan itu lagi. Sebagai gantinya, mereka hanya mengganti pohon sawit itu Rp35 ribu per pohon ditambah Rp5 ribu per satu tahun. Total ganti rugi yang diterima hanya Rp70 ribu per pohon. “Seharusnya kalau pasaran di sana itu harganya Rp1 juta lebih,” kata Ahmad Fauzi, Ketua LSM Laskar Elang Borneo yang turut mendamping perwakilan pertani itu.

Petani tak berdaya. Mereka tak bisa menolak, apalagi protes. Sebab, menurut Ahmad, jika mereka menolak atau protes urusannya nyawa. Ia mencontohkan, pernah ada seorang pemilik lahan yang istrinya kebetulan menjadi PNS di daerah itu. Sang pemilik lahan protes, tapi tak lama kemudian, istri sang pemilik lahan itu dipindah kerjanya di tempat yang jauh dari keluarganya.

“Setiap gerakan petani dipantau. Jadi ancaman terhadap petani itu nyata,” kata Ahmad.

Karena ancaman itu demikian nyata, perwakilan itu berharap PBNU mau membantu mereka mencari jalan keluar. Harapannya, lahan yang dimiliki masyarakat itu bisa dikembalikan dan masyarakat bisa hidup dengan tenang.

Baca juga artikel terkait KONFLIK AGRARIA atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maya Saputri