Menuju konten utama

PBHI: Pengerahan APH Gabungan di Pulau Rempang Salah Sejak Awal

Peneliti PBHI Annisa Azzahra menilai pengerahan Brimob Polri dan TNI dengan pendekatan militeristik di Pulau Rempang, Batam, merupakan tindakan keliru.

PBHI: Pengerahan APH Gabungan di Pulau Rempang Salah Sejak Awal
Sejumlah anggota Brimob Polda Kepri menyisir jalan yang diblokir oleh warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Jumat (8/9/2023). ANTARA FOTO/Teguh Prihatna/nz

tirto.id - Peneliti Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Annisa Azzahra menilai keputusan pengerahan aparat penegak hukum gabungan di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, salah total sejak awal. Sehingga yang terjadi, kata Annisa, mengarah ke berbagai penanganan yang salah.

“Yang diturunkan malah satuan Brimob dengan pendekatan paramiliter untuk mengatasi gangguan keamanan dalam negeri yang dilatih untuk melumpuhkan dan membunuh, serta TNI yang merupakan alat pertahanan negara dari ancaman militer yang memang dilatih untuk berperang dan membunuh lawannya,” kata Annisa saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (9/9/2023).

Hal ini ia sampaikan merespons insiden bentrokan antara warga Pulau Rempang dan aparat penegak hukum yang terjadi pada Kamis (7/9/2023) pagi. Warga menolak kehadiran aparat penegak hukum gabungan yang ingin melakukan pengukuran patok batas untuk proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco-City.

Annisa tidak terkejut ketika aparat penegak hukum akhirnya menggunakan gas air mata di pemukiman penduduk dan area sekolah.

“Karena dengan diturunkannya TNI dan Brimob pun memang niatannya bukan untuk meredakan situasi atau mengamankan, tetapi melumpuhkan dan melukai,” terang Annisa.

Menurutnya, ketika berhadapan dengan masyarakat, cukup mengerahkan Satpol PP dan Intelkam yang seharusnya menggunakan pendekatan humanis dan persuasif untuk berdiskusi dengan masyarakat.

“Sudah seharusnya menghindari pendekatan militeristik yang sarat dengan cara-cara represif dan eksesif ketika berhadapan dengan masyarakat sipil,” ujarnya.

Annisa menyayangkan penggunaan gas air mata oleh aparat penegak hukum berdampak pada kelompok siswa yang sedang menjalankan kegiatan belajar mengajar. Anak-anak seharusnya termasuk dalam kelompok rentan dan prioritas.

“Kalau bicara prosedur juga jika sesuai Perkap no. 2/2018 perlu dilihat kondisi di rempang apakah sudah sesuai dan sudah ada tahapan yang dipenuhi sesuai aturan internal kepolisian?,” kata Annisa

“Karena sudah jelas gas air mata hanya digunakan untuk situasi huru-hara yang dapat mengganggu stabilitas keamanan dalam negeri, ketika situasi sudah tidak terkendali, dan mengancam nyawa,” sambungnya.

Annisa juga mempertanyakan klaim pihak aparat penegak hukum yang menyatakan menyelamatkan para siswa dari kepungan gas air mata.

“Sehingga kalau mereka bilang, mereka yang selamatkan anak-anak terkena gas air mata ya itu lucu. Yang menembakan itu mereka, lalu yang mau jadi pahlawannya juga mereka,” jelas Annisa.

Dalam keterangan terpisah, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kepri, Kombes Zahwani Pandra Arsyad mengatakan penggunaan gas air mata saat ricuh antara warga Rempang dan aparat sudah sesuai standar operasional prosedur (SOP). Menurutnya, semula masyarakat dinegosiasi oleh tim polwan, namun warga tetap menghalangi.

“Kedua adalah tim Samapta, menghalau, masih kita bertahan jangan sampai dibubarkan,” ujar Pandra saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (8/9/2023).

Pandra mengklaim jika ada warga yang terluka, itu hanya sebagai dampak. Asap gas air mata memang mengarah ke salah satu sekolah.

“Polisi bukan ngejar-ngejar ke sekolah, justru polisi yang mengevakuasi terhadap anak-anak sekolah ke rumah sakit dan datanya ada di kita ada 11 orang. Satu orang guru, dan 10 siswa. Sudah kembali seperti biasa," ucap Pandra.

Pandra mengatakan situasi di Pulau Rempang saat ini berjalan normal dan kondusif.

Baca juga artikel terkait PULAU REMPANG atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Hukum
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Gilang Ramadhan