tirto.id - Gratifikasi adalah tindakan memberi uang, barang, atau fasilitas kepada penyelenggara negara atau pegawai negeri. Pemberian ini dilakukan dalam konteks tugas atau pekerjaan mereka.
Pengertian dan kriteria gratifikasi tercantum dalam Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001. Menurut UU tersebut gratifikasi mencakup berbagai bentuk pemberian, seperti uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, wisata, pengobatan gratis, dan fasilitas lainnya.
Pemberian ini bisa dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri, dengan atau tanpa menggunakan sarana elektronik. Secara umum gratifikasi memiliki makna netral, sehingga tidak semua bentuk gratifikasi dianggap salah atau dilarang.
Gratifikasi sendiri dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni gratifikasi yang dianggap suap dan gratifikasi yang tidak dianggap suap. Adapun gratifikasi yang boleh diterima diantaranya adalah pemberian dari keluarga dengan syarat tidak memiliki benturan kepentingan dengan posisi penerima.
Selain itu, pemberian terkait musibah atau bencana dan penerimaan hadiah atau tunjangan terkait dengan peningkatan prestasi kerja dianggap bukan tindakan suap. Lantas, apa saja kriteria gratifikasi yang dilarang?
Kriteria Gratifikasi Apa Saja Dilarang?
Merujuk Buku Mengenal Gratifikasi yang dipublikasikan KPK, gratifikasi sebenarnya merupakan bentuk "suap yang tertunda". KPK mendefinisikan gratifikasi sebagai suap terselubung.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang terbiasa menerima gratifikasi ilegal bisa secara bertahap terlibat dalam bentuk korupsi lain. Tindak korupsi yang dimaksud termasuk suap, pemerasan, dan korupsi lainnya, sehingga gratifikasi dianggap sebagai akar dari praktik korupsi.
Gratifikasi dilarang karena bisa membuat pegawai negeri atau penyelenggara negara menjadi tidak obyektif, tidak adil, dan kurang profesional. Akibatnya, mereka tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
Selaras dengan hal tersebut, KPK dalam bukunya menyebutkan ada dua kriteria gratifikasi yang dilarang, antara lain:
1. Pemberian yang berhubungan dengan jabatan
Pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya yang terkait dengan jabatan seseorang
2. Bertentangan dengan kewajiban atau tugas
Pemberian yang melanggar peraturan yang berlaku, bertentangan dengan kode etik, memiliki konflik kepentingan, atau merupakan penerimaan yang tidak patut/tidak wajar.
Contoh Gratifikasi Menurut KPK
Tindakan gratifikasi bisa dilakukan dalam pemberian barang, uang, maupun hadiah non-fisik lainnya. Menurut KPK ada beberapa contoh gratifikasi terlarang yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas serta kewajiban pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Beberapa contoh gratifikasi yang dilarang, antara lain:
- Pemberian terkait layanan masyarakat di luar penerimaan yang sah.
- Pemberian terkait tugas dalam penyusunan anggaran di luar penerimaan yang sah.
- Pemberian terkait proses pemeriksaan, audit, monitoring, dan evaluasi di luar penerimaan yang sah.
- Pemberian terkait pelaksanaan perjalanan dinas di luar penerimaan resmi dari instansi.
- Pemberian dalam proses penerimaan, promosi, atau mutasi pegawai.
- Pemberian dalam proses komunikasi, negosiasi, dan pelaksanaan kegiatan dengan pihak lain terkait tugas dan kewenangan.
- Pemberian sebagai akibat dari perjanjian kerja sama, kontrak, atau kesepakatan dengan pihak lain.
- Pemberian sebagai ungkapan terima kasih sebelum, selama, atau setelah pengadaan barang dan jasa.
- Hadiah atau suvenir bagi pegawai, pengawas, atau tamu selama kunjungan dinas.
- Fasilitas hiburan, wisata, atau voucher yang diberikan kepada pejabat atau pegawai dalam kegiatan yang tidak relevan dengan tugas yang diterima.
- Pemberian dalam rangka memengaruhi kebijakan, keputusan, atau perlakuan pemangku kewenangan.
- Pemberian terkait pelaksanaan pekerjaan yang bertentangan dengan tugas dan kewajiban pejabat atau pegawai.
Undang-undang Tentang Gratifikasi di Indonesia
Pemerintah Indonesia telah membuat undang-undang tentang gratifikasi untuk mencegah tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelenggara negara atau pegawai negeri. Berdasarkan regulasi yang ada, penyelenggara negara serta masyarakat dapat mengambil langkah yang tepat, seperti menolak atau segera melaporkan gratifikasi yang diterima.
Masih berdasarkan Buku Saku Memahami Gratifikasi (2014) berikut ini pasal dalam undang-undang yang mengatur tentang gratifikasi.
1. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 12B
1. Setiap gratifikasi yang diterima pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap sebagai suap jika berkaitan dengan jabatannya dan bertentangan dengan tugas atau kewajibannya. Ketentuan ini diatur sebagai berikut:Jika nilai gratifikasi mencapai Rp10.000.000 atau lebih, penerima harus membuktikan bahwa gratifikasi tersebut bukanlah suap.Jika nilai gratifikasi kurang dari Rp10.000.000 , penuntut umum bertanggung jawab untuk membuktikan bahwa gratifikasi tersebut adalah suap.
2. Sanksi bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang terbukti melanggar ketentuan ini adalah hukuman penjara seumur hidup atau penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda antara Rp200.000.000 hingga Rp1.000.000.000.
Pasal 12C
1. Ketentuan dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku jika penerima gratifikasi melaporkannya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Laporan harus disampaikan paling lambat 30 hari kerja setelah penerimaan gratifikasi.
2. KPK wajib menetapkan status gratifikasi—apakah menjadi milik penerima atau milik negara—paling lambat 30 hari kerja setelah menerima laporan.
3. Tata cara penyampaian laporan dan penentuan status gratifikasi diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
B. UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 16Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tata cara pelaporan adalah sebagai berikut:
1. Laporan harus disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir yang ditetapkan oleh KPK dan melampirkan dokumen terkait gratifikasi.
2. Formulir laporan harus memuat informasi berikut:
- Nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi;
- Jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara;
- Tempat dan waktu penerimaan gratifikasi;
- Uraian jenis gratifikasi yang diterima;
- Nilai gratifikasi yang diterima.
Penulis: Umi Zuhriyah
Editor: Yonada Nancy & Dipna Videlia Putsanra