tirto.id - Selain Mario Dandy Satrio dan Shane Lukas yang telah ditetapkan sebagai tersangka penganiayaan David Ozora Latumahina, ada pula seseorang berinisial A. Dia adalah anak di bawah umur (15 tahun) yang berkonflik dengan hukum. Di Indonesia, orang dikatakan sudah dewasa jika berumur 18 atau lebih.
Meski masih anak-anak, orang-orang termasuk sebagian besar media tidak menyamarkan identitas A. Mereka memperlakukannya seakan dia bukan bagian dari kelompok minor. Bukan hanya muka, sebagian media juga mengekspos data pribadi hingga asal sekolah dan alamat rumah A.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan hal tersebut menyalahi Kode Etik Jurnalistik. Kode etik mengatur anak-anak, baik korban atau pelaku, seharusnya dilindungi identitasnya agar tak diketahui publik.
"Anak-anak memiliki hak untuk dijaga privasinya, bahkan jika dia terduga pelaku dalam kasus hukum," kata Ketua Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia, Nani Afrida, Rabu, (8/3/2023).
Dasar pemikiran kode etik tersebut adalah bahwa anak-anak membutuhkan kebebasan untuk tumbuh dan berkembang. Jika identitas tersebar, kebebasan itu bakal hilang. Mereka bakal mendapat stigma negatif dari masyarakat. Singkatnya, masa depannya terancam.
Dilindungi dan Tak Jera
Di Jepang, perkara menutupi identitas anak yang berkonflik dengan hukum juga menjadi obrolan publik. Di sana seseorang dikatakan anak jika usianya masih di bawah 20.
Ada media-media yang dengan sengaja membocorkan identitas pelaku anak dengan pertimbangan jenis kejahatannya. Mereka dianggap berbuat terlalu keji dan tidak termaafkan--biasanya menghilangkan nyawa orang.
Misalnya kasus hilangnya nyawa remaja 17 tahun, Junko Furuta. Ada empat orang yang dianggap terlibat, dan yang paling tua berusia 18. Awalnya identitas mereka dirahasiakan, tapi kemudian beberapa media membocorkannya. Empat pelaku itu bernama Hiroshi Miyano, Jo Ogura, Yasushi Watanabe, dan Nobuharu Minato.
Media pertama yang menyebutnya adalah majalah mingguan Shukan Bunshun. Mereka menganggap perlindungan terhadap pelaku tak adil sekaligus kurang percaya pada keberanian penegak hukum karena seorang pelaku punya relasi dengan Yakuza.
Awal dari nasib malang Furuta tak lain adalah perkara nafsu pelaku. Miyano ingin menjadikan Furuta sebagai pacarnya, tapi gadis itu menolak.
Pada 25 November 1988, Furuta mengayuh sepedanya pulang sehabis kerja paruh waktu. Celakanya, dia melewati daerah tempat Miyano dan kawannya biasa mencari korban--mereka punya rekam jejak memerkosa. Minato kemudian menendang sepeda Furuta hingga jatuh, mendatanginya, dan menawarinya pulang. Furuta mau ikut tapi dia tak pernah sampai ke rumah. Dia justru dibawa ke sebuah gudang dan diancam. Miyano kemudian menyewa hotel dan menghubungi Ogura serta Watanabe. Mereka sekali lagi berpindah lokasi ke rumah Minato.
Furuta tak berani melawan banyak salah satunya juga karena Miyano punya koneksi dengan Yakuza. Dia berbohong pada orang tuanya sedang menginap di rumah teman.
Orang tua Minato sebenarnya tahu ada seorang perempuan di rumah mereka. Ketika itu Furuta dipaksa untuk mengaku sebagai pacar pelaku. Mereka tidak sepenuhnya percaya tapi tetap tak mampu berbuat banyak karena takut dengan koneksi Miyano, juga anaknya sendiri yang memang sudah sering kasar.
Di rumah Minato itulah Furuta diperkosa, disiksa, hingga akhirnya meninggal dunia pada 4 Januari 1989.
Fakta persidangan menyebut Furuta diperkosa lebih dari 400 kali, tidak diberi makan, dan seluruh badannya penuh dengan luka.
Karena menyebabkan kematian, pelaku diproses dengan hukum orang dewasa. Pelaku utama, Miyano, mendapat vonis 20 tahun penjara, sedangkan Minato tak sampai setengahnya, yakni 5 sampai 9 tahun. Sementara Watanabe 5 sampai 7 tahun penjara dan Ogura ditahan di penjara remaja selama 8 tahun.
Bagi sebagian orang, hukuman mereka terlalu ringan. Sebagian pihak menduga sebabnya adalah karena mereka masuk kategori minor.
“Aku akan benar-benar refleksi diri dan menyesalinya seumur hidup,” kata Minato yang waktu itu berusia 17.
Namun Minato dewasa ternyata tidak benar-benar tobat. Pada 2019 alias 28 tahun kemudian, dia harus kembali berurusan dengan hukum karena memukuli pria paruh baya, bahkan sampai melukai lehernya dengan pisau. Dia dibawa ke persidangan setahun kemudian dan menyangkal tuduhan tersebut.
Pun dengan Miyano. Miyano kembali berbuat pidana. Dia sempat kedapatan melakukan penipuan tahun 2013, tapi lolos karena tak cukup bukti.
Ogura, yang akhirnya memakai nama lain keluarganya, Kamisaku, juga tidak bisa jauh dari kekerasan. Pada 2004, dia memukuli orang bernama Takatoshi Isono karena dianggap merusak hubungannya dengan sang istri. Korban dihajar berjam-jam di bar tempat ibu Ogura bekerja. Di saat itu dia diduga mengancam membunuh korban dan membanggakan kejahatannya di masa lalu--termasuk berhasil lolos dengan hukuman ringan. Saat persidangan, Ogura membantah soal ancaman dan tingkahnya yang pongah soal kejahatan masa lalu.
Hanya Watanabe yang sejauh ini belum terpantau publik kembali melakukan aksi pidana.
Tahun 2018, ketika pelaku pembunuhan Junko Furuta kembali melakukan kejahatan, sebuah surat kabar menulis ini adalah “kekalahan dari hukum remaja.” Ketika itu memang pendapat masyarakat terbelah soal perlu atau tidaknya aturan hukum remaja direvisi, termasuk soal pengungkapan identitas.
Kasus Furuta juga bukan satu-satunya yang memicu perdebatan soal hukum remaja. Masih di abad ke-20, tepatnya pada 1997, pemicu lain muncul: pembunuhan dua orang yang dilakukan anak 14 tahun bernama Shinichiro Azuma. Dia bahkan dengan sadar menulis surat tantangan kepada polisi dan menaruh salah satu kepala korban di gerbang sekolah. Azuma dihukum 6,5 tahun di pusat tahanan remaja.
Akibat kasus ini, otoritas Jepang memutuskan bahwa seorang anak bisa dikenakan pidana pembunuhan jika umurnya sudah menginjak 14. Aturan ini diperbarui lagi dengan batas minimal dikurangi menjadi 12 tahun.
Masih pada tahun yang sama, seorang remaja usia 15 bernama Satoshi Takamatsu meninggal dunia setelah disiksa dan dipukuli 10 remaja lain. Sebagian pelaku adalah kawan sebaya Satoshi. Pengadilan hanya menjatuhkan hukuman antara 15 hingga 20 bulan penjara.
Ibu korban, Yumiko Takamatsu, merasa hukuman sama sekali tak sebanding dengan kehilangannya. “Aku tidak akan pernah bisa lupa apa yang mereka lakukan. Sampai mereka keluar dari rehabilitasi penjara pun, aku merasa mereka tidak menyesal sama sekali.”
Hukum Remaja Diperketat
Pada 2021, upaya Jepang agar para remaja tak berbuat kriminal tampak berbuah hasil. Tahun itu penangkapan terhadap anak sebanyak 20.399 atau menurun sebesar 9,5%. Jumlah ini hanya sekitar seperdelapan dari 1981, yaitu tahun terbanyak kasus kejahatan oleh anak.
Tapi diskusi dan perdebatan soal hukuman untuk remaja tidak mereda. Buktinya, pada awal tahun lalu, parlemen Jepang (Diet) mengamendemen Undang-undang Hukum Remaja yang menurunkan batas usia remaja menjadi 18. Remaja di usia 18 dan 19 dianggap sebagai remaja khusus yang bisa dikenakan pidana layaknya orang dewasa. Amandemen terbaru juga menghilangkan pendampingan keluarga untuk remaja usia 18 dan 19.
Di aturan sebelumnya, jika remaja usia tersebut melakukan kejahatan, mereka akan dibawa ke pengadilan keluarga untuk dinilai apakah layak dikenakan pidana umum (jika membunuh orang) atau dikirim ke panti rehabilitasi remaja.
Remaja di bawah usia 18 juga diperluas ruang lingkup hukumnya. Mereka awalnya hanya bisa ditindak pidana umum jika melakukan pembunuhan, kini bisa dijerat jika melakukan kasus lain seperti perampokan, pemerkosaan, pembakaran, serta kasus lain yang punya hukuman penjara minimal 1 tahun.
Perubahan ini sesuai dengan aspirasi publik. Pada Maret 2015, survei surat kabar Yomiuri Shimbun menemukan 83% responden menyebut seseorang yang berumur 18 tahun sudah bisa diperlakukan layaknya orang dewasa alias tidak perlu menunggu dua tahun lagi seperti di peraturan.
Aturan baru yang berlaku per 1 April ini juga mengatur identitas. Anonimitas tidak lagi berlaku bagi yang di atas 18 tahun. Identitasnya bisa diumbar kepada publik.
Media Jepang kemudian tak lagi ragu ketika ada kasus pembunuhan dan pembakaran rumah suami-istri dengan sengaja di tahun 2021 yang melibatkan pelaku berusia 19. Mereka menyebut namanya dengan jelas: Yuki Endo.
Menghadapi perubahan ini, mediaAsahi Shimbun mengeluarkan editorial yangmengingatkan bahwa separah apa pun anak melakukan tindak pidana, perlu diingat bahwa mereka bisa tumbuh menjadi orang yang patuh pada hukum. Tidak benar jika beban kepada anak-anak harus ditambah tanpa ada solusi. Seharusnya, kata mereka, harus ada diskusi lebih lanjut soal rehabilitasi pelaku dan dukungan yang diberikan masyarakat.
Hukuman pada anak memang perkara yang mudah menjadi perdebatan. Bukan hanya di Jepang, tapi juga Indonesia. Kita bisa dengan mudah melihatnya di media sosial, terutama pada kasus-kasus ekstrem seperti tawuran pelajar. Ada saja yang mau para pelaku dihukum layaknya orang dewasa.
Di Indonesia, berdasarkan UU 37/1997 tentang Pengadilan Anak yang kemudian diperbaiki lagi dengan UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, usia yang bisa dipertimbangkan punya tanggung jawab pidana adalah 12 tahun. Meski begitu, usia di bawah 18 masih dianggap minor dan butuh pendampingan orang tua. Mereka dilindungi identitasnya dan persidangan dilakukan tertutup.
Indonesia mengedepankan penyelesaian kasus pidana anak melalui restorative justice. Penyelesaian di luar pengadilan mengedepankan pertimbangan yang terbaik untuk masa depan anak. Namun, dalam kasus untuk ancaman penjara yang lebih dari 7 tahun, biasanya jalur pidana tetap diteruskan.
Bagi mereka melakukan pembunuhan, pendekatan restorative juga bisa jadi tak berlaku. Namun hukumannya lebih ringan dari Jepang. Hukuman bagi anak yang terbukti membunuh dijerat dengan jangka waktu setengah dari yang bisa dikenakan pada orang dewasa. Selain itu, jika ancamannya adalah hukuman mati atau seumur hidup, maka mereka bisa dikenakan hukuman paling lama 10 tahun.
Dyana C. Jatnika, dkk dalam artikel jurnal yang terbit pada 2015 lalu menyebut hukum dan pembinaan di Indonesia kurang efektif dalam mencegah anak-anak kembali melakukan kejahatan pidana. Mereka mencatat ada 42,8% residivis anak kategori pencurian di Lembaga Pemasyarakatan Kelas III Bandung per Maret 2015.
Di sisi lain, menurut laporan Kemenkumham 2015-2019, pendidikan anak di lapas paling hanya 12-16% dari narapidana, padahal hampir 100% anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) masuk ke dalam usia peserta didik.
“Penyebab dari adanya residivis anak adalah rendahnya kesiapan anak didik lembaga pemasyarakatan dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat oleh karena pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang kurang efektif dan tidak terintegrasi dengan kehidupan bermasyarakat,” toreh Dyana, dkk.
Pada beberapa kasus, tentu saja hukum remaja tidak mampu sepenuhnya memberikan rasa keadilan korban dan keluarganya, tapi bagaimanapun itu harus dipatuhi. Sebab, pada prinsipnya, anak layak diberi kesempatan kedua dan tentunya hukum remaja bukanlah alat untuk balas dendam.
Editor: Rio Apinino