tirto.id - Tiga bulan mendatang akan menjadi hari-hari paling sibuk bagi Fajar Zuli Heryadi dan rekan-rekan kerjanya. Mereka akan menghadapi banjir tahunan di Jakarta.
Sebagai salah satu petugas pintu air Manggarai, ia menangani urusan paling krusial bagi Ibu Kota Indonesia. Tenaganya, yang ia sebut "demi kepentingan orang banyak," benar-benar dipusatkan untuk kesiapan DKI Jakarta menghadapi Status Siaga Penuh saat musim hujan, yang diwanti-wanti bakal berlangsung selama Desember 2018 hingga Februari 2019.
Fajar, 31 tahun, telah bekerja dalam perkara mengendalikan aliran air sungai selama empat tahun terakhir. Pekerjaan ini dilakoninya bersama enam rekannya.
Mereka harus berjaga selama 24 jam penuh: sehari bekerja, sehari libur. Ketujuh petugas itu dibagi dalam dua tim, masing-masing terdiri dari tiga personel dengan satu penanggungjawab yang berkantor dari Senin sampai Jumat.
“Tapi, kalau sudah Siaga 1," ujar Fajar di ruangannya, "kami pernah seminggu enggak pulang. Istirahat di sini."
Saya bicara dengan Fajar di kantor petugas pintu air Manggarai di Jalan Tambak, Jakarta Selatan. Dari balik jendela, terlihat ekskavator-ekskavator dari Dinas Lingkungan Hidup mengeruk sampah yang menumpuk, membentuk pulau kecil di pintu air Manggarai. Kegiatan ini telah berlangsung dua hari sejak hujan deras mengguyur ibukota pada Minggu lalu (11/11).
Saya diajak Fajar ke medan tempurnya, sebuah kantor berkelir biru tua, bertuliskan "Water Gate 59" alias Pintu Air 59, penomoran yang merujuk nomor alamat kantor pintu air tersebut.
Bangunan kantor terdiri dua lantai. Di lantai dasar, lebih mirip rumah ketimbang ruang administrasi, terdapat alat telemetri yang mencatat ketinggian air dan curah hujan setiap detik. Lantai atas, dihubungkan tangga melingkar, adalah ruang panel yang mengendalikan tiga pintu air: satu pintu air Ciliwung Kota dan dua pintu air lama yang mengalir ke Banjir Kanal Barat.
Selasa (13/11) kemarin, tinggi air cukup normal. Pengukur ketinggian air manual, yang dipasang di badan sungai, serta telemetri menunjukkan angka 600 sentimeter. Artinya, masih Siaga 4. Hari ini tugas Fajar hanya perlu melapor ketinggian air tiap satu jam sekali ke kantor Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta.
Hal itu berbeda jika curah hujan cukup tinggi, yang diprediksi rutin berselang sejak Desember nanti. Ia bersama rekannya harus lebih kerap mencatat dan melapor setiap setengah jam sekali.
Tugas Fajar dan rekan-rekannya tak hanya memantau ketinggian air. Karena usia bangunan pintu air sudah uzur sejak zaman Belanda, para petugas jaga ini harus rutin mengecek rantai dan sling pengangkat pintu.
Mengadang Air untuk Istana
Pekerjaan Fajar dan rekan-rekannya krusial karena, dalam data terbaru, banjir di Jakarta berpotensi merendam sepertiga kelurahan. Tak cuma bikin pusing warga Jakarta, banjir besar bisa buat pening kepala presiden dan gubernur.
Pada Januari 2013, Gubernur Jakarta saat itu Joko Widodo menginstruksikan untuk membuka pintu air Ciliwung Kota. Ini guna mengurangi debit air di Banjir Kanal Barat yang kala itu mencapai 1.020 cm, sampai-sampai menyentuh halaman Istana Negara.
Tiga tahun setelahnya, Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama memerintahkan agar pintu air Manggarai terus dibuka selama musim hujan. Menurut Ahok, saat itu Dinas Sumber Daya Air masih memakai protap lama.
“Tahun 1973 itu belum ada waduk Pluit, Pasar Ikan, Gunung Sahari belum di sheetpile, pintu air Manggarai juga belum ditambah satu,” kata Ahok.
Saat itu pintu air Manggarai mengendalikan empat pintu. Tiga pintu Banjir Kanal Barat dibuka sepenuhnya setiap saat dengan daya tampung 503 meter kubik/detik. Sementara pintu Ciliwung Kota hanya dibuka hingga 50 sentimeter dalam keadaan normal. Pintu Ciliwung Kota berperan penting untuk mengontrol debit air yang mengalir ke Gunung Sahari dan Istana Negara melalui pintu air Istiqlal.
Dian Nur Cahyono, penanggungjawab pintu air Manggarai, mengatakan kondisi di Pluit dan Marina sebagai muara Ciliwung Kota, sudah berada di bawah permukaan laut. Sehingga untuk sampai ke laut, air harus dipompa terlebih dulu, terlebih bantaran sungai di Gunung Sahari belum memiliki daya tampung besar.
Sementara di Banjir Kanal Barat, kondisi geografis masih mengandalkan gravitasi sehingga tak memerlukan pompa untuk sampai ke muara di Angke.
“Ketimbang harus mengoperasikan pompa terus, biaya listrik mahal, maka kami optimalkan di Banjir Kanal Barat,” jelas Dian.
Dian menyebut "tak ada persiapan" khusus untuk mengadang kejadian serupa bila banjir menyentuh Istana Negara. Jika itu terjadi, ujar Dian, musababnya intensitas curah hujan tinggi dan tak akan berlangsung lama.
“Pada dasarnya, lokasi Istana itu sudah sangat aman dari luapan sungai,” imbuh Dian.
Beberapa bulan belakangan, petugas pintu air Manggarai disibukkan program naturalisasi dan normalisasi sungai, waduk, dan danau yang diinisiasi Gubernur Anies Baswedan.
Normalisasi berarti petugas pintu air ikut mengeruk bantaran sungai, pinggir danau dan waduk, guna menampung luapan air yang lebih besar. “Sementara naturalisasi, ya kami menanam pohon di sepanjang bantaran,” kata Dian.
Namun, jelang musim hujan, petugas pintu air dikembalikan berfokus pada posnya masing-masing, sebab dari aba-aba Dinas Sumber Daya Air, Jakarta harus Siaga 1 untuk tiga bulan ke depan.
'Dengan Cinta Kami Berkarya'
Hari-hari ini adalah persiapan untuk Siaga 1 tersebut. Fajar Zuli Heryadi sangat mungkin harus rela meninggalkan anak dan istrinya selama sepekan lebih. Meski begitu, ujarnya, “Mereka enggak mengeluh. Sudah biasa. Mereka mengerti pekerjaan saya begini.”
Saya juga mendapatkan cerita pengalaman unik dari rekan Fajar bernama Jamal. Misalnya, ia pernah menemukan jasad mengambang saat memantau ketinggian air.
“Ngeri juga sih waktu nemu mayat,” kenang Jamal.
Di kantor pintu air Manggarai, bertebaran slogan dan kalimat motivasi, tertempel di dinding maupun di spanduk, salah satunya berbunyi 'Dengan Cinta Kami Berkarya.'
Motivasi itu diniatkan buat penyemangat para pekerjanya. Tetapi, saya lebih suka menyebut "dedikasi" untuk apa yang dikerjakan oleh Fajar dan rekan-rekannya. Bagaimanapun, ia dan hampir semua petugas jaga di pintu air Manggarai adalah pekerja harian lepas, yang kontrak kerjanya harus diperbarui setiap tahun.
“Jadi kami bukan PNS,” ujar Fajar, seorang lulusan SMK jurusan Teknik Mesin.
Meski begitu, Fajar maupun Jamal memiliki kebanggaan tersendiri menjalani pekerjaan ini. Ada semacam kepuasan ketika kita bisa mengabdi kepada masyarakat.
“Pekerjaan ini bukan buat saya aja, tapi juga demi kepentingan orang banyak. Sebisa mungkin menghindarkan masyarakat dari banjir,” kata Fajar.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam