Menuju konten utama

Panglima TNI Baru dan Arah Kebijakan Alutsista

Alutsista secanggih apa pun akan sia-sia bila tidak mampu menjamin keselamatan personel yang mengoperasikannya. Prinsip kesalamatan tetap nomor satu.

Panglima TNI Baru dan Arah Kebijakan Alutsista
Avatar Ari Santoso. tirto.id/Sabit

tirto.id - Tiap kali pergantian Panglima TNI, dua agenda selalu mengiringi. Pertama, kelanjutan program modernisasi alutsista (alat utama sistem persenjataan); kedua, soal peningkatan kesejahteraan prajurit. Yang penting untuk dicatat, dua agenda tersebut sejatinya tidak bisa dilihat secara dikotomis, karena kesiapan alutsista adalah bagian dari kesejahteraan prajurit juga. Dengan alutsista yang prima, segenap personel TNI bisa bekerja dengan tenang dan keselamatannya terjaga.

Secara kebetulan, selang tiga hari setelah pelantikan Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI, empat unit pesawat F-16 hibah dari AS tiba di Pangkalan Udara Iswahjudi, Madiun. Empat unit tersebut merupakan gelombang pertama dari rencana hibah satu skadron F-16 dari AS. Kedatangan pesawat hibah tersebut seolah mengingatkan kembali apa yang pernah diucapkan Presiden Jokowi sekitar setahun silam agar TNI (khususnya matra udara) membeli pesawat yang benar-benar baru. Pernyataan Presiden muncul sebagai respons atas jatuhnya pesawat Hercules di Papua pada Desember tahun lalu. Hercules yang belum genap setahun bergabung di jajaran TNI AU itu adalah hibah dari Angkatan Udara Australia (RAAF).

Menjaga keseimbangan

Pengadaan alutsista melalui hibah bukanlah hal baru di negeri kita. Pada dekade 1970-an, TNI AU juga pernah memperoleh hibah satu skadron pesawat tempur F-86 Avon Sabre (juga) dari Australia. Hibah F-86 tersebut bisa mengisi kevakuman pesawat tempur setelah tidak beroperasinya lagi keluarga pesawat MiG eks Rusia. Kemampuan dan kecanggihan F-86 memang masih jauh di bawah MiG, namun sangat berguna dalam menyiapkan para penerbang tempur (fighter), ketika TNI kembali memasuki era supersonik, yang ditandai dengan kedatangan F-5E Tiger pada tahun 1980.

Diterimanya hibah sejumlah pesawat dari negara sahabat, merupakan salah satu cara menyiasati anggaran yang terbatas. Pengadaan pesawat tempur menjadi perhatian khusus, ketimbang pengadaan alustsista matra lain—sebut saja matra darat—mengingat pesawat tempur padat teknologi sehingga harganya menjadi sangat mahal dan sungguh menguras anggaran negara. Termasuk juga harga sebuah kapal perang, dimana sejak dipensiunkannya KRI Irian (juga eks Rusia), TNI AL belum pernah lagi mengoperasikan kapal perang jenis cruiser.

Program modernisasi alutsista senantiasa dilematis, antara aspirasi akuisisi peralatan (benar-benar) baru dengan keterbatasan anggaran negara. Dalam konteks ini, skema hibah bisa dibaca sebagai solusi sementara. Lingkungan geostrategis Indonesia sebagai negara kepulauan dan tiga wilayah lautan ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia), mengharuskan kita untuk terus memperkuat alutsista agar tidak semakin tertinggal dari negara tetangga seperti Malaysia atau Singapura, yang terbilang agresif dalam akuisi persenjataan. Singapura sempat berencana mengakuisisi F-35 Lightning II—sebuah pesawat tempur canggih garda depan—meski akhirnya ditunda.

Menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan Asia Tenggara penting dilakukan agar alutsista TNI memiliki daya tangkal kredibel (credible detterent effect). Potensi ketegangan di Asia Tenggara termasuk tinggi, salah satunya disebabkan oleh semakin ekspansifnya China sebagai negara adidaya baru di bidang militer, sementara masih ada konflik laten soal perbatasan antara China dengan sebagian negara Asia Tenggara.

Menghindari pemasok tunggal

Sebagai negara importir peralatan militer, sejak awal Indonesia secara alamiah menghindari skema pemasok tunggal, termasuk ketika era Perang Dingin sedang panas-panasnya era. Kala itu, dunia terbelah dalam pasokan persenjataan, antara Blok Barat dan Blok Timur. Indonesia secara elastis bisa bergerak dalam pendulum dua blok pemasok senjata tersebut.

Bila kita sedikit membuka dokumen-dokumen masa lalu, sebelum kedatangan berbagai tipe pesawat MiG di awal 1960-an, TNI AU sudah mengoperasikan pesawat latih jet Vampire DH-115, produksi Inggris. Meski tak termasuk kategori supersonik, kehadiran Vampire menyediakan ruang persiapan para penerbang AU menyambut kedatangan gelombang keluarga MiG.

Pengalaman serupa terjadi pada pesawat transportasi militer ketika Hercules tiba pada Maret 1960. Hercules adalah produksi pabrikan Lockheed, AS, yang hadir saat Indonesia sedang gencar-gencarnya mengakuisisi peralatan militer Rusia. Pada waktu hampir bersamaan, Indonesia juga mendatangkan pesawat transportasi dari Rusia, yakni AN -12 Antonov dan IL-14 Avia. Terjadilah fenomena unik pada periode itu: pesawat asal AS dan Rusia mengadakan misi secara bersamaan.

Realitas di matra darat tidak jauh berbeda, ketika kendaraan tempur (ranpur) produksi Inggris, seperti Saladin, Ferret dan Saracen, juga ranpur produksi Perancis (tank AMX 13), tiba hampir berbarengan dengan tank amfibi PT -76 dan BTR-40. Dua ranpur terakhir keluaran pabrikan Rusia, dengan operator Korps Marinir (d/h KKO AL).

Konfigurasi alutsista di masa Orde Baru hingga era reformasi juga tidak jauh berbeda. Bahkan Indonesia mendapat pemasok baru dari negara yang tidak kita sangka-sangka sebelumnya seperti Singapura dan Israel. Merujuk laporan SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute) yang baru dirilis pertengahan Desember ini, nama Singapura telah muncul sebagai salah satu negara eksportir peralatan militer, meski dengan ceruk yang masih kecil.

Singapura yang bagi kebanyakan orang Indonesia lebih dicitrakan sebagai pusat industri jasa dan gaya hidup, ternyata memiliki industri strategis persenjataan yang berkembang pesat, salah satunya adalah Chartered Industries Of Singapore (CIS). Beberapa produk CIS sudah lebih dari satu dasawarsa menjadi organik satuan TNI AD, seperti pelontar granat CIS-40-AGL, dan meriam lapangan FH-2000.

Untuk jenis senapan serbu, TNI memperoleh dari beberapa sumber, meski penggunaannya sebagian masih dibatasi dan biasanya untuk pasukan elite. Senapan dimaksud antara lain Steyr MPi (Austria), HK MP5 (Jerman), FAMAS (Perancis), FN Minimi (Belgia), Ultimax 100 (Singapura), dan dua senapan serbu produksi Israel, yakni Uzi dan Galil. Munculnya Israel sebagai salah satu pemasok peralatan militer bisa jadi merupakan anomali. Bagaimana lika-liku Israel bisa memasok senjata bagi negeri kita, adalah kisah tersendiri. Israel di masa lalu juga sempat mengirimkan dua skuadron A-4 Skyhawak—tentu melalui pihak ketiga— yang kemudian bergabung di bawah Skadron 11.

Bagian dari kesejahteraan

Ada dua nilai yang melekat dengan kemampuan alutsista sebuah negara. Pertama sebagai simbol eksistensi dan kehormatan sebuah bangsa. Kedua, secanggih apapun teknologi alutsista, prinsip kesalamatan personel tetap nomor satu. Terkait eksistensi dan kehormatan bangsa, kiranya bisa dijelaskan dengan ilustrasi berikut.

Dalam dua insiden yang pernah terjadi, yakni insiden Bawean (2003) dan insiden Blok Ambalat (2005), personel TNI benar-benar menjadikan kita bangga. Dalam insiden Bawean, penerbang F-16 TNI AU mampu memaksa pesawat F-18 US Air Force, dan mengusirnya keluar dari wilayah kedaulatan RI. Insiden Blok Ambalat kasusnya hampir mirip, sempat terjadi 'clash' antara kapal perang TNI AL dengan kapal milik AL Malaysia.

Namun hal sebaliknya terjadi pada saat bencana tsunami di Aceh (2004). Armada yang kita miliki seperti Hercules dan helikopter tidak bisa digerakkan ke lokasi bencana, karena memang tidak siap. Masih beruntung ada kapal induk USS Abraham Lincoln yang merapat ke Aceh sehingga helikopter Seahawk yang berpangkalan di kapal induk tersebut bisa membantu proses evakuasi dan penanggulangan bencana. Bila mengingat pengalaman ini, hati kecil kita sebenarnya malu.

Sebagaimana disebut sekilas di awal tulisan, keselamatan adalah bagian dari kesejahteraan dan oleh karena itu tidak bisa ditawar-tawar lagi. Alutsista secanggih apa pun akan sia-sia bila tidak mampu menjamin keselamatan personel yang mengoperasikannya. Di sinilah arti penting kesiapan alutsista, khususnya pada tahapan pemeliharaan. Problem pemeliharaan ini pula yang menjadi sebab mengapa Hercules dan helikopter tidak bisa dikerahkan dalam operasi kemanusiaan di Aceh pasca-tsunami.

Posisi Indonesia yang menerima peralatan militer dari beragam sumber justru merupakan berkah tersembunyi bagi SDM yang bertugas di bagian pemeliharaan. Itu artinya SDM TNI mesti sanggup menangani berbagai model alutsista agar selalu siap menjalankan misi dan memastikan keselamatan personel yang akan mengoperasikannya.

Sudah sering kita dengar beberapa pesawat TNI berjatuhan, termasuk panser amfibi yang tenggelam dan mengakibatkan tewasnya sejumlah prajurit terlatih. Salah satu peristiwa yang saya ingat persis adalah tewasnya Kol. Inf. Ricky Samuel (Komandan Pusat Pendidikan Pasukan Khusus, Akmil 1986), dalam sebuah kecelakaan helikopter pertengahan 2009. Saat insiden terjadi Kolonel Ricky sedang memonitor pelatihan anak didiknya di daerah Cianjur.

Pengalaman tewasnya Kolonel Ricky dan prajurit lainnya, salah satunya disebabkan kurang optimalnya proses pemeliharaan alutsista. Mungkin masih bisa dipahami jika kecelakaan ini terjadi di medan tempur. TNI (juga bangsa ini) telah kehilangan SDM terlatih dan dengan begitu biaya yang pernah dikeluarkan untuk melatih personel tersebut jadi sia-sia. Kerugian dari tewasnya seorang perwira terlatih seperti Kolonel Ricky pun berlipat ganda, mengingat dia seorang instruktur senior, yang seharusnya bisa mencetak prajurit-prajurit terlatih lain secara berkelanjutan dan dalam jangka panjang.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.