tirto.id - Koordinator Nasional Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menilai Surat Keputusan Bersama 3 Menteri mengatur regulasi berseragam tidak komprehensif dan hanya normatif.
Ketiga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim; Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian; dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menandatangani aturan bersama.
Menurut Satriwan persoalan intoleransi dalam berpakaian di lingkungan pendidikan bersumber dari aturan-aturan pemerintah daerah.
"Kemendagri tidak merinci daerah mana saja yang perdanya intoleran dan bermasalah bagi publik," ujar Satriwan kepada Tirto, Kamis (4/2/2021).
P2G berharap pemerintah mengumumkan daerah-daerah yang memiliki aturan bermasalah.
Dalam catatan P2G terdapat daerah yang melarang penggunaan jilbab seperti di Bali, Manokwari, dan Maumere; serta daerah yang memaksakan penggunaan jilbab kepada murid seperti di Banyuwangi, Yogyakarta, Riau hingga dan Padang.
"Agar publik dan orangtua dan pemangku kepentingan daerah itu tahu dan bisa evaluasi dan bisa menuntut ketika aturan itu tidak dicabut," ujarnya.
SKB 3 Menteri berisi 6 poin, salah satu poinnya berbunyi: (3) Pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
Menurut Satriwan, poin tersebut menimbulkan kesalahpahaman guru-guru. Seolah penggunaan jilbab bagi murid beragama Islam dan dalam pelajaran Agama Islam dilarang.
"Tidak clear. Persepsi yang muncul di guru-guru langsung negatif, seolah pemerintah dan anti terhadap jilbab," ujarnya.
"SKB 3 Menteri ini tidak menyelesaikan teknis di lapangan," lanjutnya.
Terbitnya regulasi seragam di sekolah muncul di tengah polemik pemaksaan jilbab terhadap siswi Kristen di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Zakki Amali