tirto.id - Ketua Ombudsman RI Perwakilan Yogyakarta Budi Masturi mengatakan bahwa pungutan liar (pungli) di sejumlah sekolah di Yogyakarta masih terjadi, hal ini salah satunya karena sekolah tidak dapat membedakan antara pungli dan sumbangan.
"Pemangku kebijakan terutama sekolah tidak dapat membedakan secara tegas antara pungutan dan sumbangan," kata Budi saat konferensi pers di Kantor ORI Yogyakarta, Senin (25/6/2019).
Apa yang dikatakan Budi itu merupakan salah satu kesimpulan dari laporan review tentang efektivitas Perda nomor 10 tahun 2013 tentang Pedoman Pendanaan Pendidikan, Bantuan Operasional Sekolah dan Pelayanan Kebijakan Unit Cost Pada Sekolah Negeri Sebagai Instrumen Untuk Mencegah Pungutan Ilegal Pelayanan Pendidikan Sekolah di Yogyakarta.
Lebih lanjut Budi mengatakan review dilakukan sedikitnya di 20 sekolah yang ada di Yogyakarta pada 2018 lalu.
Dari hasil wawancara dan penelusuran di lapangan lembaganya menemukan masih adanya praktik pungli di sejumlah sekolah tersebut.
Budi menyebut beberapa sekolah yang melakukan praktik pungli di antaranya SMKN 1 Pundong, SMKN 2 Kota Yogya, SMAN 1 Prambanan, SMAN Babarsari, SMAN 1 Bambanglipuro, SMAN 1 Sewon, SMAN Tirtonirmolo, SMKN 1 Kasihan, SMKN 2 Kasihan, dan SMKN 3 Kasihan.
"Itu sekolah-sekolah yang pernah dilaporkan ke Ombudsman DIY, selain SMA dan SMK tersebut ada beberapa SMP juga SD," kata Budi.
Meski pemerintah Provinsi DIY telah memiliki Perda nomor 10 tahun 2013 yang salah satunya melarang adanya praktik pungli di sekolah, namun kata dia tidak semua sekolah paham terkait aturan tersebut.
Akibatnya sekolah kata dia tetap menarik pungutan yang ilegal kepada orang tua murid, salah satunya untuk memenuhi kebutuhan operasional sekolah, misalnya gaji guru honorer untuk mensiasati kekurangan guru PNS di sekolah tersebut.
Selain itu untuk memenuhi ekspektasi dan keinginan orang tua, sebagian sekolah merasa kekurangan biaya sehingga harus melakukan pungutan yang jumlahnya ditentukan dan tidak ada dasar hukumnya.
"Pungutan sekolah yang selama ini dilakukan tidak memiliki dasar hukum pelaksanaan dan tidak ada landasan kewenangan untuk petugas sekolah ataupun komite untuk melakukan pungutan," ujarnya.
Untuk itu lembaganya memberikan rekomendasi kepada pemerintah, khusunya Pemerintah Provinsi DIY untuk melakukan langkah inisiatif merevisi Perda nomor 10 tahun 2013 yang dinilainya tidak efektif dalam mencegah adanya pungli di Sekolah.
Hasil laporan tersebut kemudian diserahkan kepada perwakilan masing-masing Dinas Pendidikan dari Kabupaten/Kota se-DIY yang diundang, termasuk diserahkan kepada Isti Triasih Kepala Bidang Pendidikan Menengah yang mewakili Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY.
Isti mengakui memang masih ada sejumlah sekolah yang melakukan pungutan secara ilegal. Namun pihaknya selama ini sudah berupaya untuk melakukan pencegahan agar tidak terjadi pungli yang merugikan masyarakat.
"Iya [masih sekolah ada yang melakukan pungli]. Kalau dalam hal ini kita mengingatkan [kepada sekolah] untuk membedakan antara sumbangan dan pungutan," katanya.
Selain itu terhadap sekolah-sekolah yang telah terbukti melakukan pungli, dinas kata dia telah memanggil pihak sekolah untuk diberikan teguran maupun peringatan supaya tidak melanggar Perda nomor 10 tahun 2013.
Di sisi lain soal, rekomendasi ORI Yogyakarta agar Perda nomor 10 tahun 2013 direvisi supaya lebih efektif dalam mencegah pungli, menurutnya hal ini harus dikoordinasikan secara nasional karena berkaitan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
"Rekomendasi terkait Perda masiu ada yang kurang pas. Di Permendikbud memang agak bias, maka ini akan menjadi masukan kita, agar kepada dinas nanti mengkoordinasikan di tingkat nasional," ujarnya.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Yandri Daniel Damaledo