tirto.id - Kementerian Perhubungan segera memberlakukan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 108 Tahun 2017 pada 1 Februari 2018. Aturan ini masih menjadi pro-kontra di kalangan pengemudi taksi online(daring) lantaran memberi tambahan persyaratan yang dianggap memberatkan secara individu tapi menguntungkan secara korporasi.
Kemunculan aturan ini ditanggapi berbeda dua organisasi tempat berhimpunnya pengemudi taksi online yakni Aliansi Nasional Driver Online (Aliando) dan Asosiasi Driver Online (ADO).
Kepada Tirto, Koordiantor Aliansi Nasional Driver Online (Aliando) Babe Bowie menyatakan menolak sebagian besar aturan yang terdapat dalam Permenhub 108/2017. Sebagian besar aturan itu dianggapnya hanya cocok diterapkan untuk pengemudi taksi online yang tergabung dalam koperasi tapi tidak dengan pengemudi yang mandiri.
Poin Keberatan Aliando
Aturan yang ditolak Aliando antara lain penggunaan SIM A Umum, uji kendaraan bermotor atau KIR, serta pembatasan operasi taksi online. Penolakan terhadap tiga aturan tersebut lantaran pengemudi harus mengeluarkan biaya tambahan dari kantong pribadi. Pengeluaran ini dianggap memberatkan bagi pengemudi yang tidak tergabung dalam koperasi.
Ia mencontohkan pengemudi harus mengeluarkan uang Rp1 juta dalam pembuatan SIM A Umum. “Persyaratan untuk memiliki SIM A Umum itu [harus] membawa kendaraan roda empat dengan berat minimal 3.200 kg,” kata Bowie, Selasa (30/1/2018).
Tak hanya SIM A Umum, Bowie menuturkan aturan soal uji KIR juga memperberat pengemudi karena uji KIR diutamakan bagi mereka yang tergabung dalam koperasi sehingga pengemudi harus terlebih dahulu menjadi anggota koperasi. Saat bergabung dengan koperasi ini, anggota harus menyetor Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu per bulan ke koperasi.
Soal lain yang jadi masalah adalah pembatasan jumlah taksi daring di satu daerah. Dalam hitungan kasar Aliando dan Asosiasi Driver Online (ADO), ada 100 ribu hingga 120 ribu pengemudi taksi daring di daerah Jabodetabek, sedangkan Kementerian Perhubungan hanya menyiapkan kuota sebanyak 36.510 kendaraan. Yang menjadi soal kemudian, kata Bowie, kuota itu biasanya dipenuhi dari pihak koperasi terlebih dahulu.
“Ke mana sisanya? Apa mereka harus berhenti tidak boleh jadi online? Kalau berhenti gimana nasibnya yang belum ada pekerjaan atau sedang kredit mobil dan sebagainya?” ucap Bowie.
“Inilah yang saya bela. Ada orang yang ingin mematikan driveronline individu.”
Menolak Disamakan dengan Taksi Konvensional
Selain aturan yang tertera di atas, Bowie melanjutkan, Permenhub 108/2017 juga mengategorikan taksi sebagai angkutan umum. Kategori ini ditampik Bowie dengan menegaskan bahwa taksi online bukan angkutan umum karena hanya bisa dipesan melalui aplikasi oleh segelintir orang yang bisa menggunakan layanannya.
Taksi online jelas berbeda dengan taksi konvensional yang bisa berhenti di tengah untuk mengambil penumpang dan bekerja sama dengan penyedia layanan aplikasi untuk mengambil penumpang. “Kami kan enggak bisa seenaknya [seperti taksi konvensional],” ucap Bowie.
Di balik semua aturan yang ada, Bowie menegaskan, ada aturan lain yang cukup mengganjal yakni keharusan mengenakan stiker di bagian depan-belakang-kiri-kanan mobil. Penempelan stiker ini membuat pengemudi meradang lantaran jika stiker tidak dipasang, DLLAJ dan polisi lalu lintas boleh memberikan tindakan tegas berupa sanksi hukum.
Bagi Bowie, penerapan stiker dan sanksi hukum ini jelas merugikan pengemudi yang menggunakan kendaraan pribadi. Ia memberi contoh konsekuensi bagi pengemudi yang mengajak keluarga bepergian ke luar kota dengan mobil yang ditempeli stiker. Sang pengemudi bisa diberhentikan petugas DLLAJ atau polantas karena dianggap keluar wilayah operasinya.
“Padahal mereka tidak sedang narik,” kata Bowie.
“Itu stiker ditempel segede mangkok bakso, gimana kami perginya?”
ADO Berbeda Sikap dengan Aliando
Terpisah, Ketua Umum Asosiasi Driver Online (ADO) Christiansen F. W Wagey mendukung terhadap Permenhub 108/2017 karena dinilai sebagai payung hukum yang mengamankan potensi konflik antara taksi online dengan taksi konvensional. Christiansen optimistis Permenhub 108/2017 dapat memberikan rasa aman dan keadilan bagi keberlangsungan usaha mereka.
Christiansen berbeda pendapat dengan Bowie soal penerapan SIM A Umum. Menurut dia, SIM A Umum dapat memberikan jaminan kepada pengemudi taksi online supaya bisa mengemudi dengan baik dan benar. “Kalau SIM biasa kan enggak ada pelatihan," kata Christiansen kepada Tirto.
Ia juga tak sepaham dengan Bowie soal KIR dan stiker. Menurut Christiansen, uji KIR diperlukan untuk memastikan bahwa kendaraannya dalam keadaan layak jalan, sedangkan stiker berfungsi melindungi pengemudi taksi online dari persekusi lantaran usaha taksi online sudah dilindungi hukum. Sehingga, kalau ada sikap kurang menyenangkan dapat dilaporkan sebagai tindak kriminal.
Poin selanjutnya yang dibantah Christiansen dari Bowie adalah soal kuota. Ia memandang kuota sebagai cara melindungi ruang persaingan para pengemudi agar tidak semakin sempit. Tak kalah penting yakni soal penetapan batas tarif bawah dan atas agar tidak terjadi perang harga antar-aplikator. Menurutnya, itu juga berdampak baik bagi driver taksi online, agar tidak terjadi persaingan tidak sehat dengan adanya promo jor-joran.
“Kami pro juga dengan macam-macam pertimbangan,” kata Christiansen.
Pekerjaan Sampingan?
Jika merujuk pernyataan Babe Bowie, aturan yang ada seolah hendak membunuh pekerjaan pengemudi taksi online yang bersifat individu. Dari jumlah pengemudi yang ada, Federasi Driver Online Indonesia (FDOI) merilis jumlah pengemudi yang tergabung dalam organisasi mereka berjumlah 1.000 orang dan berada di Jabodetabek. Dari jumlah itu, hanya 400 anggota yang menjadi pengemudi paruh waktu alias sampingan.
Sementara di ADO, jumlah pengemudi yang tergabung di dalamnya mencapai 50 ribu orang dan hanya 25 persen di antaranya yang menjadi pengemudi paruh waktu alias sampingan. Adapun Aliando tak memiliki jumlah pasti berapa anggotanya yang menjadi pengemudi paruh waktu.
Meski begitu, Bowie menegaskan banyak anggotanya yang menjadikan pekerjaan sebagai pengemudi taksi online sebagai pekerjaan utama alias profesi.
Mengingat, kata dia, para pengemudi punya target 20 perjalanan dalam satu hari. “Kalau enggak, enggak bisa untung dia. Bayangin saja, sehari itu harus 20 trip. Gimana kalau enggak full time?” kata Bowie.
Dengan fakta tersebut, Bowie mengatakan, Aliando menolak sebagian regulasi lantaran posisi pengemudi full time yang tidak tergabung dalam koperasi bisa terbunuh. Mengingat, jumlah pengemudi yang tidak tergabung dalam koperasi masih cukup besar.
Konteks Penolakan
Sebelum Permenhub 108/2017 muncul, Kemenhub sempat menerbitkan Permenhub 32/2016 yang diberlakukan pada September 2016. Peraturan ini muncul setelah taksi konvensional protes atas kemunculan taksi online.
Aturan ini ditentang penyedia layanan taksi daring dan pengemudi karena dianggap diperlakukan tidak adil. Selain penerapan tarif atas dan bawah yang dianggap menghilangkan mekanisme pasar, Permenhub ini mengatur pembatasan jumlah kendaraan.
Setelah Permenhub 32/2016 ditolak, Kemenhub menerbitkan Permenhub 26/2017 yang kembali ditolak pengemudi dan penyedia jasa sebab pemerintah mempertahankan batas tarif atas dan tarif bawah yang besarannya ditentukan kepala daerah atau usulan dari badan pengelola transportasi setempat.
“Tarif itu membuat kami sedikit menghalangi untuk berkompetisi dengan baik. Itu aja,” kata Head of Publik Affair Grab Indonesia Tri Sukma saat pembahasan revisi Permenhub 26/2017.
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih & Maulida Sri Handayani