Menuju konten utama

Pro-Kontra Permenhub yang Meregulasi Taksi Online

Sebagian pengemudi ogah diperlakukan seperti sopir taksi konvensional. Di sisi lain, Kemenhub siap beri sanksi tegas bagi pelanggar Permenhub 108/2017.

Pro-Kontra Permenhub yang Meregulasi Taksi Online
Peserta aksi demo taksi online meneriakan tuntutanya di kantor Kementrian Perhubungan, Jakarta, Rabu (25/10/2017). tirto.id/Arimacs Wilander.

tirto.id - Sejumlah sopir taksi online yang tergabung dalam Aliansi Nasional Driver Online (Aliando) akan menggelar aksi di depan Istana Negara, Senin (29/1/2018). Para pengemudi ini mendesak pemerintah agar membatalkan Permenhub No.108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.

Koordinator Aliando, Babe Bowie menyatakan, pihaknya menolak aturan transportasi online menjadi angkutan umum. Alasannya, transportasi daring berbeda dengan taksi konvensional.

“Kalau kami menolak, berarti kami menolak semua aturan yang ada di PM [Permenhub] 108,” kata Babe, kepada Tirto, Minggu (28/1/2018).

Berdasarkan Permenhub 108/2017 ini, terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pengemudi taksi online, di antaranya adalah keharusan kendaraan melakukan uji kelaikan kendaraan (KIR), memiliki SIM A umum. Pengemudi juga harus memasang stiker tanda taksi online di kendaraannya.

Sejumlah pengemudi taksi yang tergabung dalam Aliando ini menolak untuk menggunakan SIM A umum untuk beroperasi sebagai taksi online. “Kami ini, kan, driver yang mandiri. Kami bukan pegawai suatu PT taksi [konvensional] yang harus tunduk aturan perusahaan. Jangan disamakan kami jadi supir taksi a/b/c,” kata Babe.

Menurutnya, ada perbedaan mendasar antara taksi online dan konvensional. Ia mencontohkan, taksi online merupakan milik pribadi dan berpelat nomor hitam, penggunaan teknologi digital, biaya perjalanan yang sudah diestimasi sesuai jarak terukur, serta kenyamanan seperti mobil pribadi.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Umum Front Driver Online Indonesia (FDOI), Bintang Wahyu Saputra. Menurut dia, biaya perizinan legalitas, seperti SIM A umum dan uji KIR juga seharusnya tidak perlu dilakukan karena memberatkan. Koperasi yang menjadi opsi untuk menaungi pelaku taksi online juga pada kenyataannya dinilai banyak tidak melaksanakan fungsinya.

Terkait keselamatan dan perlindungan konsumen yang menjadi poin pendorong dikeluarkannya Permenhub 108/2017 ini, Bintang mengatakan selama ini pun pemerintah belum bisa menjamin keselamatan driver dan pengguna taksi konvensional.

Permenhub 108/2017, menurutnya, mencerminkan sikap otoriter pemerintah. Hal ini, kata dia, bertolak belakang dengan yang disampaikan Presiden Joko Widodo yang menyebut transportasi online sebagai keniscayaan yang tidak bisa dibendung.

Karena itu, kata Bintang, setiap minggu FDOI akan melakukan aksi demo di depan Istana Merdeka, hingga keistimewaan terhadap taksi online diberlakukan. Bintang mengklaim, saat ini FDOI beranggotakan kurang lebih 1.000 kendaraan taksi online yang beroperasi di sekitar Jabodetabek, terdiri dari kurang lebih 600 pelaku taksi online yang bekerja full time dan sisanya part time.

Organisasi Taksi Online Tak Satu Suara

Berbeda dengan Aliando dan FDOI, Asosiasi Driver Online (ADO) justru mendukung implementasi dari Permenhub 108/2017 yang dicanangkan Kementerian Perhubungan diterapkan mulai 1 Februari mendatang.

“Aspirasi dari teman-teman di 13 provinsi [yang dinaungi ADO] di Rakernas Desember kemarin, [bahwa anggota] di daerah sangat menantikan aturan ini. Kalau enggak ada aturan, [di daerah terjadi] gesekan sangat kuat dengan pihak [taksi] konvensional. Kalau Jabodetabek itu relatif aman, enggak ada lagi gesekan dan lain-lain,” kata Christiansen, Ketua Umum ADO.

Ia mencontohkan taksi online di Batam. Menurut dia, sejak Oktober lalu, taksi online dilarang beroperasi, padahal penerapan aturan secara nasional baru akan di mulai pada 1 Februari. Itu pun, pemerintah masih memberikan kelonggaran berupa operasi simpatik terlebih dahulu sebelum benar-benar menerapkan aturan pada 15 Februari mendatang.

“Di Batam sudah dilakukan razia, tapi parahnya yang melakukan razia itu dari taksi pangkalan. Mereka menjebak teman-teman kemudian ditangkap, dibawa ke polisi dan kena Pasal 308 dengan denda Rp500 ribu. Ini yang jadi aspirasi untuk kami di pusat memandang PM 108 itu payung hukum untuk driver online,” kata pemimpin organisasi yang disebutnya beranggotakan 500 pengemudi ini.

Menurutnya, Permenhub 108/2017 ini sudah lebih baik daripada Permenhub sebelumnya, yaitu Permenhub 32/2016 dan Permenhub 26/2017.

“Mau sampai kapan kita ini bekerja, tapi enggak ada aturan? Jadi poin pertama, memang [konflik] ini efek lalainya pemerintah karena lamanya berproses membuat aturan yang tepat. Semakin lama, kan, jadi makin banyak driver-nya,” kata dia.

Terkait persiapan penerapan Permenhub 108/2017 di lapangan, kata Christiansen, ada sekitar 10 hingga 15 persen anggotanya sudah siap 100 persen mengikuti aturan yang berlaku. Namun, sebagian besar masih terkendala proses pembentukan koperasi sebagai badan hukum yang akan menaungi para driver taksi online ini.

Sanksi untuk Taksi Online Pelanggar Aturan

Meskipun masih terjadi pro dan kontra, Kementerian Perhubungan sudah siap memberikan sanksi tegas terhadap pengemudi taksi online yang melanggar Permenhub ini. Apalagi, menurut Kepala Subdirektorat Angkutan Orang Kemenhub, Syafrin Liputo, aturan ini sudah disosialisasikan selama 2,5 bulan.

“Permenhub 108/2017 mulai berlaku 1 Februari 2018. Sejak itu, jika ada taksi online yang tidak memenuhi persyaratan, maka akan kami tindak tegas,” kata Syafrin dalam diskusi bertajuk “Masyarakat Transportasi Indonesia: Diskusi Orientasi Regulasi Taksi Online” di Jakarta, Jumat (26/1/2018).

Meskipun demikian, selama 1-15 Februari 2018, Kemenhub akan menerapkan periode simpatik untuk penegakan aturan tersebut. Pengemudi taksi online yang masih melanggar ketentuan di periode itu hanya akan menerima peringatan.

“Setelah itu atau mulai 16 Februari 2018, masuk periode tindakan pidana ringan. Jika masih ditemukan pelanggaran, akan diberikan sanksi berupa tilang untuk menahan kendaraan dan ancaman mencabut izin surat mengemudi," kata dia.

Syafrin menjelaskan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pengemudi taksi online adalah keharusan kendaraan melakukan uji KIR dan memiliki SIM A umum. Selain itu, pengemudi harus memasang stiker tanda taksi online di kendaraannya.

Jika pelanggaran terus berulang, Kemenhub akan berkoordinasi dengan Kementerian Kominfo untuk membahas pencabutan izin operasional perusahaan atau koperasi yang menaungi taksi online tersebut.

Syafrin menambahkan, dalam melakukan penertiban, Kemenhub bekerja sama dengan Kepolisian, Dinas Perhubungan daerah dan Kementerian Kominfo. Penertiban akan dilaksanakan di semua daerah yang menerapkan angkutan sewa khusus.

Armada Taksi Online yang Penuhi Syarat Masih Sedikit

Saat ini, berdasar data Kemenhub, terdapat 12 daerah yang sudah mengajukan kuota menerapkan angkutan sewa khusus: Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan.

Total kuota taksi online yang diajukan 12 wilayah tersebut mencapai 83.906 unit kendaraan. Namun, Syafrin menyayangkan, baru 1.710 kendaraan yang memenuhi syarat untuk mendapatkan izin beroperasi melayani penumpang. Di Jabodetabek, dari pengajuan kuota sebanyak 36.510 kendaraan, baru 878 kendaraan yang lolos uji KIR dan mendapat izin operasi.

Pengamat Transportasi dari Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, mengatakan pemerintah harus tegas memberlakukan Permenhub 108/2017.

“Kalau enggak ikuti aturan, ya dianggap pelanggaran, angkutan ilegal. Kita lakukan kampanye ke publik, jangan menggunakan angkutan ilegal karena yang rugi nanti mereka sendiri,” kata Djoko.

Setelah penerapan peraturan, ada hal-hal lain yang menurutnya juga harus dilakukan.

Pertama, pemerintah perlu evaluasi paling tidak 3 bulan berikutnya secara menyeluruh. Unsur-unsur yang harus dievaluasi itu menyangkut keamanan, kenyamanan, keselamatan. Kedua, urusan SIM A umum ada di kepolisian yang memberlakukan syarat minimal setahun setelah memiliki SIM A reguler untuk mendapatkan SIM A umum. Ketiga, soal ketenagakerjaan mitra yang harus sesuai dengan aturan Kementerian Ketenagakerjaan.

Keempat, ada urusan sistem pembayaran perpajakan di Kementerian Keuangan. Kelima, terkait penyedia aplikasi perlu ada unsur pengawasan dan audit di Kementerian Kominfo. Selain itu, kata dia, perlu juga melibatkan Kementerian Koperasi untuk mengawal fungsi koperasi yang dipilih oleh para pengemudi.

Grab dan Uber Berjanji Patuh

Berbeda dengan situasi pro-kontra di kalangan para pengemudi, para penyedia aplikasi taksi online seperti Grab dan Uber mendukung diterapkannya Permenhub 108/2017 tersebut.

“Menhub menanggapi positif hal-hal yang kami sampaikan dan setuju membantu mitra-mitra pengemudi Grab untuk mencari solusi dari permasalahan-permasalahan tersebut,” kata Managing Director Grab Indonesia, Ridzki Kramadibrata, melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto.

Head of Communications Uber Indonesia, Dian Safitri, juga menyatakan dukungannya. Perusahaan ini mengaku akan terbuka dengan dialog dan kerja sama apa pun dengan pemerintah serta pemangku kepentingan lain terkait implementasi peraturan ini.

Dian juga menyatakan bahwa mitra koperasi Uber juga terus mendorong para mitra pengemudi untuk memenuhi ketentuan yang ada.

Baca juga artikel terkait DEMO TAKSI ONLINE atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Abdul Aziz & Maulida Sri Handayani