tirto.id - Asosiasi Driver Online (ADO) mengusulkan beberapa hal dalam penyusunan regulasi pengganti Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 108 Tahun 2017 tentang Operasional Angkutan Sewa Khusus atau Transportasi Online, yang dilakukan oleh Kementerian Perhubungan.
Hasil anulir Permenhub tersebut terdapat 4 pasal yang diterima Mahkamah Agung (MA), yakni terkait penandaan didalam plat atau Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB), masalah tarif batas bawah dan atas, pembatasan wilayah operasi, dan batas kuota masing provinsi.
Sekretaris Jenderal ADO, Wiwit Sudarsono mengatakan pertama, pihaknya menolak dengan tegas penandaan TNKB pada kendaraan karena otomatis driver harus ganti plat nomer dan STNK.
"Mobil masih kredit apa iya leasing mau merubah itu pada intinya kami menolak penandaan permanen pada kendaraan. Dari awal kami menolak," ujar Wiwit pada Tirto pada Senin (24/9/2018).
Kedua, terkait tarif batas bawah dan atas ADO sangat setuju diberlakukan hal ini. Tarif batas bawah dikatakan Wiwit untuk melindungi para driver supaya biaya operasional tercukupi, sedangkan tarif batas atas untuk melindungi konsumen supaya di jam-jam sibuk atau pick hours harga tidak melambung sekali.
"Saat ini kan begitu hujan atau macet harganya jadi 5 kali lipat. Kan kasihan juga dengan konsumen, makanya batas atas dan bawah perlu diatur," ujar Wiwit.
Tarif paling rendah ADO mengusulkan Rp5 ribu per kilometer (Km) dan tarif paling tinggi Rp10 ribu per Km. Namun, ia mengharapkan ada argo minimum di bawah 5 Km adalah Rp25 ribu.
"Jadi tidak ada lagi argo Rp12 ribu, Rp15 ribu. Jauh dekat Rp25 ribu. Selama ini jarak 3 Km tarif Rp14 ribu di Grab atau di Gocar, ada juga tarif Rp9 ribu. Ke depannya perlu diatur itu. Jarak 5 Km ditentukan harganya," ujarnya.
Ia mengakui pasti akan tambah mahal, tapi ia mengatakan hal itu demi keberlangsungan persaingan usaha yang sehat, seperti dengan bajaj atau angkutan umum lain.
"Kami kan memikirkan tetangga kami, supaya bajaj tetap bisa hidup, jadi kami sebagai pendatang baru tidak boleh egois. Kalau kami masih ada argo Rp9 ribu, Rp12 ribu kasihan seperti bajaj atau angkot. Kami juga memikirkan mereka, jangan sampai saudara tua kami agar mati," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa usulan tersebut juga sudah memperhitungkan potongan 20 persen dari aplikator, serta biaya operasional kendaraan.
Ketiga, terkait pembatasan wilayah operasi. ADO meminta untuk penetapan wilayah operasi juga memasukkan wilayah penyangga. Wilayah penyangga dengan plat nomer berbeda ditoleransi untuk dapat beroperasi.
"Kalau daerah Jabodetabek, berarti plat A (Banten), F (Bogor) boleh masuk. Misalnya di Jateng: Purwokerto ada 4 kabupaten, yaitu Cilacap, Purbalingga, Banyumas, dan Banjar. Empat kabupaten ini harusnya boleh beroperasi di Purwokerto," ujarnya.
Keempat terkait kuota, ia meminta pemerintah mengatur dengan tegas pemberlakukan kuota kepada aplikator. Selama ini, ia mengungkapkan bahwa aplikator terus membuka pendaftaran driver baru. Sehingga, jumlah driver yang beroperasi 200 ribuan, sudah melampaui kuota yang ditetapkan Badan Pengelola Transportasi Jakarta (BPTJ) sekitar 36.700 driver.
"Setidaknya pemberlakuan kuota tidak berlaku surut, jadi kalau saat ini BPTJ menentukan kuota di sini 36.700, selagi masih ada driver online memenuhi persyaratan yang ada itu wajib diakomodir. Kalau kita berkaca pada peraturan yang lalu bahwa driver online harus memenuhi ketentuan KIR, SIM umum dan segala macem, itu wajib dimasukkan ke dalam jumlah kuota," ujarnya.
Sementara itu, ADO meminta agar aturan-aturan itu dapat dipatenkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres). Sebab, ia menilai bahwa pengaturan taksi online dilakukan lintas kementerian, meliputi Kementerian Perhubungan serta Kementerian Komunikasi dan Informasi.
"Tidak cukup diatur hanya dengan sebuah Peraturan Menteri. Setidaknya Perpres," ujarnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Yulaika Ramadhani