tirto.id - Palopo adalah kota pelabuhan penting di Teluk Bone. Di kota ini pula berpusat Kedatuan Luwu, kerajaan yang secara kultural dihormati di Sulawesi Selatan.
Di kota ini Famajjah terlahir pada 1880, sebagai anak dari Muhammad Abdullah To Baresseng dan Opu Daeng Mawellu. Keluarga ini dianggap keluarga bangsawan. Seperti kebanyakan orang Islam pada masanya, Famajjah hanya belajar mengaji Alquran tanpa sekolah formal. Ia lantas menikah dengan Haji Muhammad Daud, dan dikenal dengan nama Opu Daeng Risadju. Keluarga ini pernah tinggal di Parepare, sebuah kota pelabuhan lain di Sulawesi Selatan yang menghadap Selat Makassar.
“Risadju pada mulanya seorang buta huruf, kecuali aksara Bugis," tulis M. Natsir dalam Politik, Kekuasaan, dan Kepemimpinan di Desa (1985:73).
Namun, perkenalan dengan Yahya, seorang tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), membuat Risadju melek politik pergerakan nasional. Ia menjadi anggota PSII sejak 1927 saat usianya sekitar 47 tahun.
“Mula-mula Opu Daeng Risadju menjadi anggota PSII cabang Parepare,” tulis Lahadjdji Patang dalam Sulawesi dan Pahlawan2nya: Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1967: 43).
Lantas, ketika pulang ke kota kelahirannya di Palopo, Risadju “dengan giat mempropagandakan cita-cita PSII di daerah Luwu, terutama di kalangan famili-famili dan sahabat-sahabatnya.” Langkah nyatanya adalah mendirikan cabang PSII di Palopo pada 14 Januari 1930 dan ia menjadi ketuanya.
Dalam Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Selatan (1985: 179-180), disusun oleh Muhammad Abduh dkk, menulis bahwa setelah cabang PSII Palopo berdiri, tidak lama kemudian tokoh masyarakat Malangke mengajak Opu Daeng Risadju membangun ranting di sana.
Di Malangka, kontrolir Belanda di Masamba menangkap Risadju dengan tuduhan "menghasut rakyat", mendekam 12 bulan penjara. Setelahnya, ia mengadakan perjalanan ke daerah Malili dan mendirikan ranting PSII.
Bersama suaminya, ia menyusuri pantai timur Teluk Bone. Di distrik Patampanua, mereka dirantai dan dibawa ke Palopo. Kabar ia dirantai sampai ke telinga sepupunya bernama Opu Balirante, seorang anggota dewan adat. Si sepupu mengecam dan berharap hukuman atas Risadju ditangguhkan.
Suatu kali, Opu Daeng Risaju dipanggil ke istana Kedatuan Luwu. Para anggota dewan adat mengajukan permintaan yang dinilai berat bagi Risadju.
“Datu Luwu Andi Kambo Daeng Risompa meminta kepadanya agar Opu Daeng Risaju mau menghentikan kegiatan partainya,” tulis Muhammad Arfah dan Muhammad Amir dalam Biografi Pahlawan Opu Daeng Risaju: perintis pergerakan kebangsaan/kemerdekaan Republik Indonesia (1991:84).
Tapi Opu Daeng Risadju menjawab: “Selama saya masih mengucapkan kalimat Syahadat, selama itu saya tidak akan keluar dari organisasi Partai Sarekat Islam Indonesia. Apa yang saya lakukan di mana-mana selama ini hanyalah perintah Tuhan, Amar Ma'ruf Nahi Munkar.”
“Tahun 1933, Opu Daeng Risaju menghadiri Kongres Serikat Islam Indonesia di Batavia. Karena kegiatan- kegiatannya dianggap semakin membahayakan pemerintah kolonial, pada 1934, beliau kembali dihukum penjara dan kerja paksa selama 14 bulan,” tulis Muhammad Abduh dkk dalam Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Selatan (1985: 179).
Lepas dari penjara dan pada masa pendudukan Jepang, Opu Daeng Risadju hidup berpindah-pindah, dari satu desa ke desa lain. Dalam lawatan ini pula ia menanamkan pengaruhnya dan mendirikan banyak cabang PSSI di Sulawesi Selatan seperti di Makassar, Tanete, Barru, Parepare, Majene, Rappang Sidenreng, Palopo, Bulukumba, dan Bantaeng.
Waktu Jepang menyerah kepada Sekutu, Opu Daeng Risadju sudah menetap di Belopa. Setelah Belanda mencoba kembali, dalam satu lembaga bernama Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA), Risadju jadi sasaran penangkapan NICA ketika usianya sudah kepala enam.
Ia ditangkap dan dipaksa berjalan kaki 40 km dari Desa La Tonre hingga Watampone. Sebulan setelahnya, ia dipindah ke Penjara Sengkang di Wajo. Lalu pindah ke Penjara Bajo. Dia dibebaskan setelah tuli karena siksaan.
Buku Biografi Pahlawan Opu Daeng Risaju (1991: 105) dan Lahadjdji Patang (1967: 49)menceritakan penyiksaan yang dialami Opu Daeng Risadju. Ia disuruh berlari kelilingi lapangan tiga kali; suatu hukuman yang seharusnya diberikan kepada remaja. Ia juga disuruh berdiri menghadap matahari selama satu jam. Setelahnya, di dekat telinganya, diletuskan senjata api hingga ia terjatuh pingsan. Si penyiksa juga menendangnya. Orang yang bertanggungjawab atas penyiksaan ini adalah Ludo Kalapita, kepala distrik Bajo.
Setelah 1949, Opu Daeng Risadju tinggal bersama anaknya, Abdul Kadir Daud, di Parepare. Namun, setelah anaknya meninggal, Risadju kembali ke Palopo.
Anhar Gonggong dalam Abdul Qahhar Mudzakkar, dari Patriot hingga Pemberontak (2004: 232) menulis: “Opu Daeng Risadju pernah menjadi penghubung yang dikirimkan oleh Abdul Kahar Muzakkar ke Jawa Barat untuk menemui Kartosoewiryo, pemimpin tertinggi gerakan DI/TII tahun 1953.”
Opu Daeng Risadju meninggal pada 10 Februari 1964 dalam usia 84 tahun. Ia dimakamkan di dekat makam raja-raja Luwu di Palopo tanpa upacara kehormatan. Pada 3 November 2006, ia ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam