tirto.id - Obat ARV adalah salah satu obat untuk pasien HIV dan AIDS berupa yang bertujuan mengurangi risiko penularan, mencegah pemburukan infeksi oportunistik, meningkatkan kualitas hidup penderita HIV, serta mengurangi jumlah virus (viral load) dalam darah. Kepanjangan dari ARV adalah Antiretroviral.
Dikutip dari buku Manifestasi dan Tatalaksana Kelainan Kulit dan Kelamin pada Pasien HIV/AIDS (2018), sasaran terapi ARV mencakup beberapa kelompok, yaitu pasien HIV dewasa dan anak usia 5 tahun ke atas dengan stadium klinis 3 atau 4. Kategori pasien anak ini juga mencakup jumlah sel limfosit T CD4 (sel darah putih) kurang dari atau sama dengan 350 sel/mm3.
Sasaran ARV juga termasuk ibu hamil; bayi yang lahir dari ibu dengan HIV (untuk profilaksis); anak di bawah 5 tahun; pasien dengan tuberkulosis, hepatitis B, dan hepatitis C; pasien HIV pada populasi kunci; pasien HIV yang pasangannya negatif; serta pasien HIV di populasi umum yang tinggal di daerah dengan epidemi HIV yang meluas.
Pengobatan ARV dilakukan setelah mendapatkan konseling dari dokter. Pasien HIV AIDS disarankan memiliki dukungan dari orang terdekat sebagai pengingat atau Pemantau Meminum Obat (PMO).
Keteraturan dalam mengonsumsi obat ARV oleh pasien HIV AIDS harus dijaga seumur hidup. Pengobatan ARV dapat diselenggarakan secara komprehensif, termasuk pengobatan infeksi oportunistik, komorbiditas, dan pelayanan penunjang lain yang diperlukan.
Obat ARV Apa Saja?
ARV obat HIV terbagi menjadi beberapa jenis, termasuk NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor), NNRTI (Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor), PI (Protease Inhibitor), Entry Inhibitors, dan Fusion Inhibitor. Melansir dari buku Manifestasi dan Tatalaksana Kelainan Kulit dan Kelamin pada Pasien HIV/AIDS (2018), berikut penjelasan tentang jenis obat ARV.
1. NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor)
Jenis obat ARV ini mencakup Zidovudine (ZDV), Didanosine (ddl), Stavudine (d4T), Lamivudine (3TC), Abacavir (ABC), Tenofovir (TDF), dan Emtricitabine (FTC).Mekanisme kerja NRTI menghambat enzim Reverse Transcriptase (RT) HIV. NRTI mengalami fosforilasi (penambahan gugus fosfat pada suatu protein atau molekul organik lain) menjadi metabolit aktif triphosphorylated. Dengan begitu, jenis obat ini akan menghentikan pembentukan rantai DNA HIV.
2. NNRTI (Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor)
Contoh obat jenis NNRTI yakni Nevirapine (NVP), Delavirdine (DLV), dan Efavirenz (EFV). Mekanisme kerja NNRTI adalah inhibitor nonkompetitif RT, berikatan kuat dan spesifik dengan HIV reverse transcriptase sehingga menghentikan proses katalisasi (percepatan perubahan atau perkembangan virus).3. PI (Protease Inhibitor)
Contoh jenis obat ARV ini di antaranya Saquinavir (SQV), Indinavir (IDV), Ritonavir (RTV), Nelfinavir (NFV), Lopinavir/Ritonavir (LPV/r), Fosamprenavir (FPV), Atazanavir (ATV), Tipranavir (TPV), dan Darunavir (DRV). PI menghambat enzim protease HIV yang diperlukan untuk maturasi dan informasi genetik sehingga menghentikan replikasi virus.4. Entry inhibitors
Contoh jenis obat ARV satu ini di antaranya enfuvirtide. Enfuvirtide menargetkan interaksi antara envelope protein HIV (gp120) dan molekul CD4+, serta langkah-langkah lain dalam proses penggabungan membran sel dan envelope HIV. Entry inhibitors bekerja dengan cara menghalangi virus HIV dan AIDS masuk pada sel T (sejenis sel darah putih) yang sehat.5. Fusion Inhibitor
Salah satu contoh jenis obat fusion inhibitor adalah enfuvirtide. Pada jenis obat ARV ini, enfuvirtide menghambat proses fusi antara HIV dan sel CD4+ dengan mencegah lipatan molekul gp41, yang diperlukan untuk fusi dua lipid membran. Dengan demikian fusion inhibitor mencegah virus HIV untuk memperbanyak diri.Efek Samping Obat ARV
Efek samping dari penggunaan obat ARV dapat bervariasi. Namun, secara umum, efek samping obat ARV terbagi menjadi dua jenis, yakni jangka pendek dan panjang.
Efek samping obat ARV jangka pendek
Efek samping obat ARV dapat menimbulkan gejala jangka pendek seperti:- kelelahan;
- mual dan muntah;
- diare;
- ruam;
- sakit kepala atau pusing;
- gangguan tidur;
- gatal-gatal;
- nyeri perut;
- peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida; serta
- peningkatan nafsu makan.
Efek samping obat ARV jangka panjangEfek samping jangka panjang ARV obat HIV antara lain:
- Perubahan pada distribusi lemak tubuh (lipodistrofi).
- Kolesterol dan trigliserida (lipid) tinggi pada darah.
- Perubahan mood yang tidak menentu.
- Resistensi insulin.
- Berkurangnya kepadatan tulang.
- Gangguan hati.
Beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengatasi efek samping obat ARV. Di antaranya mengonsumsi makanan dalam porsi kecil tetapi sering, menghindari makanan pedas, olahan susu, atau makanan berlemak, serta menggunakan obat antiemetik untuk mengendalikan mual.
Pasien HIV AIDS atau Orang dengan HIV AIDS (ODHA) juga dapat mengurangi efek samping dengan mengoleskan pelembab atau lotion pada kulit untuk meredakan ruam.
Selain itu, ODHA juga harus secara rutin berkonsultasi dengan dokter mengenai efek samping yang muncul. Pengidap HIV AIDS juga tidak diperkenankan menghentikan pengobatan tanpa persetujuan dokter. Hal ini dikarenakan penghentian obat secara sembarangan dapat mengurangi efektivitas pengobatan HIV. Melalui konsultasi, dokter dapat memberikan penjelasan dan penanganan yang tepat, serta membantu pasien menjalani pengobatan dengan lebih nyaman.
Pantangan ketika mengonsumsi obat ARV sebenarnya tidak terdapat. Namun, pantangan setelah minum obat ARV salah satunya adalah merokok. Hal ini lantaran kandungan racun dalam rokok berpotensi menambah risiko terinfeksi Tuberkulosis atau TB pada penderita HIV.
Efektivitas ARV Tekan HIV
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK. 01.07/MENKES/90/2019 dengan mengutip studi HIV Prevention Trial Network (HPTN) 052 dijelaskan, penggunaan terapi obat ARB saat ini termasuk metode pencegahan penularan HIV paling efektif.
Pemberian ARV obat HIV pada tahap awal dapat mengurangi risiko penularan hingga 93 persen pada pasangan seksual yang satu seropositif dan seronegatif (pasangan serodiskordan).
Supresi atau upaya menekan viral load dengan ARV terbukti berkaitan dengan kadar virus yang rendah dalam sekresi genital. Upaya pencegahan HIV AIDS dengan obat ARV termasuk dalam konsep Treatment as Prevention (TasP).
Efektivitas terapi ARV dalam menurunkan jumlah virus harus didukung upaya positive prevention atau pengurangan perilaku berisiko. Oleh karena itu, penggunaan ARV secara konsisten dengan kombinasi pencegahan yang tepat mutlak diperlukan untuk mencegah penularan HIV. Upaya ini termasuk penggunaan kondom secara teratur, praktek seks yang aman, dan pengobatan infeksi menular seksual.
Dalam Buku Saku Pengobatan ARV Bagi Petugas Lapangan Komunitas (2020) terbitan Jaringan Indonesia Positif, dipaparkan, manfaat pengobatan ARV mencakup upaya menekan jumlah virus HIV sebanyak mungkin hingga tidak terdeteksi, menjaga daya tahan tubuh, dan mempertahankan kualitas hidup.
Konsep "Undetectable = Untransmittable" (tidak terdeteksi = tidak menularkan) mengindikasikan, jika seseorang menerapkan pengobatan ARV dengan baik hingga mencapai viral load tidak terdeteksi, ia tidak akan menularkan HIV kepada pasangan seksualnya.
Kepatuhan dalam pengobatan ARV juga penting. Kepatuhan yang dimaksud mencakup penggunaan obat dengan dosis tepat pada waktu yang tepat. Tanpa kepatuhan, virus HIV dapat berkembang biak kembali dengan cepat. Tidak patuh pada dosis penggunaan juga dapat menyebabkan mutasi virus dan resistensi terhadap obat ARV. Oleh karena itu, kepatuhan sangat penting untuk menjaga efektivitas pengobatan ARV pada ODHA.
Penulis: Umi Zuhriyah
Editor: Fadli Nasrudin