tirto.id - Salah satu prestasi yang bisa dibanggakan Presiden Amerika Serikat Barack Obama adalah mampu mendinginkan tensi hubungan dengan Iran pada tahun 2015, ketika tercapai kesepakatan bernama Rencana Aksi Komprehensif Bersama (The Joint Comprehensive Plan of Action/JCPOA).
Tanggal 14 Juli, di Wina, Iran mengikat janji dengan lima anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa, atau yang dikenal dengan nama P5+1: Amerika Serikat, Rusia, Cina, Inggris, dan Perancis; plus Jerman.
Barangkali bukan cuma AS, namun publik dunia juga ketar-ketir dengan manuver Iran yang selalu dicurigai sedang mengembangkan uranium untuk merakit senjata nuklir. Berkat lolosnya kesepakatan yang digodok sejak tahun 2013 itu, AS boleh bernafas lega. Iran, di sisi lain, juga sedikit banyak mendapat imbalan positif.
JCPOA menyebutkan Iran setuju mengurangi persediaan uranium, baik yang diperkaya skala menengah maupun rendah, juga sentrifugal gas selama 13 tahun.
Pengayaan uranium dalam 15 tahun ke depan dibatasi hanya 3,67 persen dan berlangsung di satu fasilitas khusus selama 10 tahun. Badan Energi Atom Internasional (IAEA) akan memiliki akses reguler ke semua fasilitas nuklir Iran.
Sebagai imbalan, Iran akan mendapatkan bantuan pemulihan sanksi ekonomi terkait nuklir dari AS, PBB, Dewan Keamanan PBB, dan Uni Eropa. Iran sebelumnya bisa dikatakan kenyang menerima sanksi ekonomi. Sejak berkuasa, Presiden Hassan Rouhani telah berupaya untuk mencari solusi terbaik.
Sayangnya, pergantian rezim turut mengubah kebijakan luar negeri. Baru-baru ini Donald Trump menyalakan sumbu api dengan menarik AS dari JCPOA. Ia menyebut kesepakatan yang dicapai era Obama itu "memalukan" untuknya "selaku warga negara", demikian kutip Guardian.
Target utamanya gampang ditebak: Trump ingin kembali menerapkan sanksi ekonomi bagi Iran. Rouhani menyatakan langkah tersebut sebagai perang urat syaraf. Sementara itu di Iran teriakan-teriakan anti-Amerika kembali bergema hingga ke gedung parlemen.
Masa depan hubungan kedua negara kembali ke titik yang rapuh.
Namun, sejarah mencatat Paman Sam sesungguhnya pernah mesra dengan Negeri Para Mullah. AS bahkan negara pertama yang menyokong segala macam bantuan agar Iran bisa membangun program nuklirnya di era 1950an.
Dalam pidatonya di Majelis Umum PBB di New York, 8 Desember 1953, Presiden AS Dwight D. Eisenhower menelurkan gagasan "Atom untuk Perdamaian". Pidato ini sebenarnya bagian dari propaganda rezim untuk menyadarkan publik AS tentang resiko dan harapan akan nuklir di masa depan.
"Atom untuk Perdamaian" punya beberapa dampak signifikan. Antara lain, secara ideologis membentuk IAEA dan melahirkan Perjanjian tentang Non-Proliferasi Senjata Nuklir (Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons atau Non-Proliferation Treaty/NPT). Kedua, memulai perang dingin dengan Uni Soviet, yang juga melancarkan program serupa.
Ketiga, berhubungan dengan program utamanya, yakni memberi modal dan ragam bantuan tambahan untuk pembangunan reaktor nuklir di beberapa negara. Salah satunya adalah Iran.
Untuk apa?
“Pemasok (AS) biasanya menawarkan bantuan demi “membeli” kerja sama dari negara penerima,” tulis Matthew Fuhrmann, penyusun buku Atomic Assistance: How "Atoms for Peace" Programs Cause Nuclear Insecurity (2012), dalam satu artikel yang dimuat Atlantic pada Juli 2012.
“AS membantu program nuklir Iran untuk menopang aliansi militernya dengan Teheran dan mempengaruhi kebijakan Iran tentang penetapan harga minyak. Para eksportir nuklir berharap bahwa mereka dapat memperoleh manfaat politik dan ekonomi dari bantuan nuklir tanpa berkontribusi terhadap proliferasi nuklir.”
Ali Vaez, analis senior International Crisis Group khusus Iran, berkata pada NPR tentang kerjasama nuklir AS-Iran bisa dilacak mulai tahun 1957, atau empat tahun usai Mohammad Reza Pahlevi naik tahta.
Pahlevi menyingkirkan perdana menteri terpilih Mohammed Mossadegh dengan bantuan intelijen Inggris dan AS dalam bentuk kudeta diam-diam. Pendeknya, Pahlevi adalah boneka Barat.
“AS menyokong reaktor nuklir pertama Iran yang ironisnya masih berfungsi dan masih beroperasi di Teheran," kata Vaez.
Pada tahun 1958 Iran bergabung dengan Badan Energi Atom Internasional, sementara pada 1968 mereka menandatangani Perjanjian tentang Non-Proliferasi Senjata Nuklir. Pusat Penelitian Nuklir Teheran dibentuk pada tahun 1967 di Universitas Teheran. AS juga memasok Iran dengan bahan bakar reaktor, yakni uranium itu sendiri.
Vaez kemudian mengungkap alasan lain mengapa Eisenhower menjajaki program Atom untuk Perdamaian. Eisenhower tahu jika cepat atau lambat negara-negara selain AS atau Rusia akan mengembangkan nuklir sebagai sarana pencarian energi alternatif.
Melalui Atom untuk Perdamaian, AS menerapkan teknik jemput bola. Setidaknya AS bisa sekaligus mengawasi program nuklir Iran (dan negara penerima program Atom untuk Perdamaian lain) untuk tidak dikembangkan menjadi senjata nuklir. Bersama Pahlevi, ide ini nampak bagus di permukaan.
Oil boom pada dekade 1970-an membuat Iran mampu mengirimkan mahasiswa-mahasiswa terbaiknya untuk studi teknik nuklir lanjutan di Massachusstts Institute of Technology. Vaez mencatat lulusannya banyak yang kembali ke Iran untuk menjalankan program nuklir negara.
Menariknya, pada dekade 1970an juga mulai muncul kekhawatiran di kalangan pejabat AS tentang kemungkinan Iran akan memanfaatkan program nuklirnya untuk pengembangan senjata pemusnah massal. Diplomat AS pun memulai negosiasi agar Iran membatasi program pengayaan uraniumnya.
Di tengah jalan mereka terbentur sikap khas negara berkembang, yang jadi landasan argumen Iran hingga masa pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad: jika negara-negara lain punya hak untuk mengembangkan uranium dan nuklir demi kemaslahatan warga, mengapa Iran tidak?
Iran tak ingin dipandang sebagai negara kelas dua, kata Vaez mengutip Pahlevi. Pahlevi pun mencari partner selain AS demi tetap menjaga kestabilan proyek pengembangan nuklir Iran. Ia membeli pembangkit nuklir dari Jerman Timur dan Perancis. Riset di kampus Teheran tetap disokong dana besar, regenerasi ahli nuklir lokal tetap diupayakan.
Dilihat dari siapa yang diajak kerja sama (Jerman Timur hingga Perancis), Pahlevi terkesan tidak memiliki motif ideologis yang jelas. Ia hanya memanfaatkan jaringannya dengan Barat secara umum untuk kepentingan nuklirnya. Ini pun bukan dalam taraf yang dirasakan AS sebagai sebuah ancaman. Teheran-Washington tetap mesra selama Pahlevi berkuasa.
Titik balik itu justru datang di ujung dekade 1970-an, saat gelombang anti-AS (juga anti-Barat) memuncak menjadi sebuah Revolusi Islam yang menumbangkan kekuasaan Pahlevi. Rezim sekuler tamat. Ayatullah Rohullah Khomeini naik panggung, memimpin tanah Persia berdasarkan konstitusi baru yang bernama Republik Islam Iran.
Universitas Teheran bukan lagi populer sebagai pusat riset nuklir, tapi tempat berkumpulnya jamaah salat Jum'at yang mengakhiri ibadah dengan yel-yel “Matilah Amerika!”. Pengembangan energi nuklir sempat mandek. Baru di era perang Irak-Iran, yakni sepanjang dekade 1980-an, proyek nuklir Iran kembali dihidupkan.
Vaez menganalisis dua kemungkinan motif: kebutuhan akan listrik yang terganggu secara signifikan akibat perang, dan demi pertahanan negara di masa depan. Bisa salah satunya, bisa juga kombinasi dua-duanya, kata Vaez.
CNN Library mencatat pada 1984 Iran membuka pusat nuklir baru di Kota Isfahan berkat bantuan Republik Rakyat China. Mulai dekade 1990-an AS secara kontinyu melancarkan tuduhan yang secara konsisten juga dibantah Teheran: pengembangan energi nuklir Iran bisa dikembangkan menjadi senjata pemusnah massal.
Selain tuduhan, AS juga melancarkan ancaman konkret seperti sanksi ekonomi. Pada 14 Maret 2000, misalnya, Presiden AS Bill Clinton mengesahkan UU yang berisi sanksi bagi orang atau organisasi yang memberikan bantuan kepada program nuklir Iran.
Sepanjang dekade pertama di abad ke-21 hubungan AS-Iran tegang melulu, apalagi di masa Iran dikepalai Mahmoud Ahmadinejad. Pada 4 Februari 2006, misalnya, Ahmadinejad memerintahkan Iran menghentikan kerja sama dengan IAEA.
Mengharapkan keduanya mesra seperti dulu agaknya mustahil. Kecuali, mengutip kesimpulan sejumlah analis politik, Iran kembali dipimpin oleh pemimpin boneka—serupa Pahlevi yang dulu jinak-jinak manja kepada tuan bulenya.
Editor: Windu Jusuf