tirto.id - Kasus pornografi dengan tersangka Rizieq Shihab dinilai akan menjadi beban kepolisian jika tidak segera dituntaskan. Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane mengatakan, semestinya polisi mengambil langkah tegas setelah pentolan Front Pembela Islam (FPI) itu beberapa kali batal pulang ke Indonesia.
Neta berkata, penyelesaian kasus chat berkonten pornografi yang menjerat Rizieq ini menjadi utang yang harus dilunasi. Karena itu, Neta menyarankan agar aparat segera menentukan sikap terkait kelanjutan perkara ini.
Dalam konteks ini, Rizieq memang belum pernah diperiksa sejak ditetapkan sebagai tersangka pada Mei 2017. Rizieq bahkan meninggalkan tanah air dan terus menghindari upaya pemeriksaan yang dilakukan penyidik, sehingga kasus ini stagnan.
Polisi terpaksa menghentikan pengusutan kasus Rizieq, karena ia berada di negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Akibatnya, polisi tidak dapat menjemput paksa Rizieq meskipun telah dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak 31 Mei 2017.
Namun demikian, kata Neta, setidaknya ada dua langkah yang dapat dilakukan aparat dalam menangani persoalan ini. Pertama, polisi harus tetap melanjutkan proses hukum meskipun harus menunggu Rizieq kembali ke tanah air. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi penyidik mengingat tersangka berada di luar yurisdiksi Polri.
“Jika Rizieq benar-benar kembali, polisi bisa menangkapnya begitu tiba di Bandara Soekarno-Hatta,” kata pria kelahiran 18 Agustus 1964 ini saat dihubungi Tirto, Kamis (22/2/2018).
Langkah kedua, polisi dapat mengambil opsi menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) seperti yang diminta oleh kuasa hukum Rizieq. Akan tetapi, kata Neta, SP3 baru bisa dikeluarkan apabila alat bukti di kasus ini dinilai lemah.
“Agar tidak menjadi beban berkepanjangan bagi kepolisian,” kata Neta.
Opsi kedua ini sejalan dengan tuntutan Eggi Sudjana, salah satu kuasa hukum Rizieq Shihab. Eggi mengatakan, kliennya akan pulang ke tanah air jika polisi menerbitkan SP3. Sebab, kata Eggi, jika Rizieq ditangkap saat kembali ke Indonesia, maka akan menimbulkan bentrok antara polisi dan pendukung pimpinan FPI itu.
Akan tetapi, tuntutan tersebut akan susah terwujud. Guru Besar Bidang Hukum Acara Pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho menyatakan, polisi akan sangat sulit mengeluarkan SP3. Alasannya, karena kasus ini sudah berjalan sampai lebih dari 7 bulan, dan tentu polisi tidak akan menghentikannya hanya karena desakan pengacara tersangka. Ia menilai, penyidik pasti memiliki alat bukti yang cukup.
Menurut Hibnu, seluruh pembelaan atau penolakan atas hasil pemeriksaan polisi bisa disampaikan lewat proses peradilan atau praperadilan. “Kalau keluar SP3 agak sulit. Yang paling tepat kalau jalur hukum, ya dipraperadilankan. Jadi yang bisa menghentikan bukan polisi, tapi proses peradilan. Itu lebih tepat,” kata Hibnu.
Hal senada juga diungkapkan Neta. Menurut dia, jika pihak Rizieq menganggap perkara ini bukan lagi persoalan hukum, melainkan telah dipolitisasi, maka sebaiknnya diselesaikan melalui proses peradilan.
Upaya Diplomasi untuk Pulangkan Rizieq
Sementara itu, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Andrea Poeloengan mengatakan, menjemput paksa Rizieq bukan persoalan yang mudah. Salah satu cara yang dapat dilakukan, kata Andrea, melalui pendekatan diplomasi.
Menurut Andrea, Polri tak perlu ragu meminta bantuan agar pendekatan diplomasi dilakukan kepada Saudi Arabia. Jika pembicaraan antarnegara berlangsung lancar, kata dia, bukan tidak mungkin ada bantuan dari negara di Timur Tengah itu mengembalikan Rizieq ke Indonesia.
“Juga perlu Polri meyakinkan semua pihak yang dekat dan dipercaya Rizieq bahwa proses penyidikan perkaranya adalah benar, tanpa rekayasa. Sehingga mereka akan mendorong Rizieq untuk sukarela kembali,” kata Andrea kepada Tirto, Kamis.
Alumnus Universitas Brawijaya ini mengakui, kesan 'jalan di tempat' pengusutan kasus Rizieq merupakan kenyataan pahit. Karena itu, kata dia, agar pandangan negatif tak berlanjut, polisi disebutnya harus meyakinkan publik dan semua pihak ihwal kecukupan alat bukti di kasus pornografi ini.
Pendapat senada juga diungkapkan Neta. Pria kelahiran 18 Agustus 1964 ini berkata, ekstradisi tak bisa dengan mudah dilakukan karena perkara yang melibatkan Rizieq bukan termasuk kejahatan transnasional. Tokoh FPI itu disangka melanggar pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 29 dan/atau pasal 6 juncto Pasal 32 dan/atau pasal 9 juncto Pasal 34 UU 44/2008 tentang Pornografi.
“Karena bukan kejahatan transnasional, kerja sama penanganannya dengan negara-negara asing dalam hal ekstradisi tidak dapat dilaksanakan,” kata Neta.
Neta juga menyinggung soal syarat-syarat ekstradisi sesuai Lampiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi. Beleid itu menyebutkan 32 jenis kejahatan yang pelakunya bisa dipulangkan secara paksa.
Dari puluhan kejahatan yang menjadi syarat, kata Neta, kasus dugaan percakapan memuat konten pornografi tidak termasuk salah satunya. Karena itu, permintaan bantuan mencari dan ekstradisi Rizieq dianggap Neta tak bisa menjadi solusi.
Secara terpisah, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono mengklaim, pihaknya belum memiliki rencana meminta bantuan untuk memulangkan Rizieq.
“Kami menunggu kedatangan yang bersangkutan ke Indonesia,” kata dia kepada Tirto melalui pesan singkat, Kamis.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz & Maulida Sri Handayani