tirto.id - Salah satu penasihat hukum Muhammad Rizieq Shihab, Eggi Sudjana, menyatakan pimpinan Front Pembela Islam itu akan kembali ke Indonesia pada 21 Februari 2018. Eggi dan kuasa hukum lain yang membela Rizieq meminta kepolisian mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Hal ini memantik pertanyaan baru: bisakah polisi mengeluarkan SP3 karena desakan pengacara?
Eggi mengatakan jika polisi menginginkan kedamaian, SP3 harus dikeluarkan. Jika Rizieq ditangkap saat kembali ke Indonesia, sebut Eggi, akan menimbulkan bentrok antara polisi dan pendukung Rizieq. Menurut Eggi, pendukung siap membela sang imam mati-matian.
Eggi memberi alasan permintaan SP3. Salah satunya penyidikan Rizieq tidak sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Polisi seharusnya menggelar perkara terlebih dahulu untuk membuktikan sangkaan pidana sebelum mengubah status Rizieq menjadi tersangka dalam kasus pornografi.
“Dia [kan] langsung tersangka,” kata Eggi kepada Tirto, Senin (12/2/2018).
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Jaya Baya ini menerangkan, unsur pornografi dalam perbincangan Rizieq-Firza Husein yang beredar di publik tidak bisa dibuktikan. Eggi menyebut, gambar chat porno antara Rizieq dan Firza belum bisa dibuktikan keasliannya dan diduga buatan orang lain.
Dalam kasus ini polisi sudah menggelar perkara Rizieq-Firza. Kala itu, Rizieq tak hadir lantaran sudah mangkir sejak pemanggilan pemeriksaan kedua. Soal gelar perkara ini, Eggi menilai tidak bisa menjadi alasan menetapkan kliennya sebagai tersangka.
“Itu, kan, disimpan di hp-nya. Kecuali kalau memang ada di hp lain. Kalaupun ada, itu enggak masalah. Sama kayak nyimpen porno di hp sendiri, kan, enggak masalah? Beda kalau dia nyebarin ke tempat lain," jelas mantan Ketua Umum HMI MPO ini.
Tak hanya soal dugaan chat mesum, Eggi menyebut, polisi juga harus menghentikan penyidikan kasus Rizieq di Polda Jawa Barat atas dugaan penghinaan Pancasila. Menurut doktor sosiologi lulusan Technical University of Berlin ini Rizieq tidak bisa dipidana lantaran yang menyebut ucapannya yang menyebut ‘Pancasila Sukarno, Ketuhanan ada di pantat, sedangkan Pancasila Piagam Jakarta, Ketuhanan ada di kepala’ sebagai pernyataan yang benar.
“Ya memang benar. Dulu Pancasila yang dipakai 22 Juni 1945, kan, begitu. Sedangkan Pancasila sekarang itu hasil rumusan 18 Agustus 1945,” kata lelaki kelahiran 3 Desember 1959 ini.
Dalam kasus di Polda Jabar penyidik sudah memeriksa 18 saksi ahli dan mempunyai dua alat bukti. Polisi menjerat Rizieq dengan Pasal 154 a KUHP tentang Penodaan terhadap Lambang Negara dan Pasal 320 KUHP tentang Pencemaran terhadap Orang yang Sudah Meninggal.
Beda Versi Soal Pemidanaan Rizieq
Staf khusus bidang Kementerian Komunikasi dan Informasi Henri Subiakto, menyatakan bahwa Rizieq atau Firza awalnya tak bisa dijerat pidana. Alasannya, Rizieq dan Firza melakukan komunikasi itu secara personal dan tidak mentransmisikan atau mendistribusikan konten tersebut kepada publik seperti yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE.
Kasus Rizieq-Firza berbeda dengan kasus video porno Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari. Ariel dipenjara dengan tuduhan melanggar pasal 29 UU 44/2008 tentang pornografi juncto pasal 56 KUHP. “Ariel itu, kan, kena di pornografi karena dia kedapatan membuat dan memiliki,” kata Henri.
Berbeda dengan Henri, pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia Mudzakir menilai penanganan perkara Rizieq dibumbui tindakan polisi yang dianggapnya menyerang individu dan bukan prilaku. Penanganan ini dianggap berbeda dengan penanganan kasus Luna Maya, Cut Tari, dan Ariel. Saat itu, polisi dikatakan mencari penyebar video terlebih dahulu ketimbang mengejar orang yang di/terekam dalam video.
Ariel memang dijadikan tersangka lantaran Ariel mengakui bahwa video itu berasal darinya dan ada keterangan saksi bahwa ada keterlibatan Ariel dalam penyebaran video itu. Menurut Mudzakir, ini jelas berbeda dengan Rizieq yang menampik bahwa chat itu dilakukan olehnya dan chat itu juga tak disebarkan olehnya.
“Harusnya polisi mencari penyebarnya dulu. Hp itu, kan, privasi, beda sama laptop (kasus Ariel). Gimana mendapatkan [barang bukti chat] dari hp yang bersangkutan, kalau hp-nya enggak pernah hilang?” jelas Mudzakir.
Kabid Humas Polda Meteo Jaya Kombes Argo Yuwono tidak mau berkomentar soal beda penanganan ini. Argo hanya menunggu hingga penyelidikan dapat dilanjutkan kembali. Sedangkan Direktur Tindak Pidana Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombes Adi Deriyan juga tak menjawab pesan yang disampaikan Tirto. Ia tak mengangkat panggilan dari Tirto.
Kasus Rizieq Tidak Bisa di SP3
Meski menilai ada perbedaan penanganan perkara terhadap Rizieq, Mudzakir menilai kasus Rizieq tak bisa di-SP3-kan. Mudzakir memberi contoh deponeering Bibit Samad Rianto dan Chandra Martha Hamzah yang dilakukan Kejaksaan Agung lantaran polisi tidak menghentikan penyidikan.
Saat menjabat Wakil Ketua KPK, Bibit dan Chandra pernah menjadi tersangka di kepolisian tapi kasus itu lantas dikesampingkan oleh Kejagung demi kepentingan umum.
“Ya memang [kasus Rizieq] seharusnya tidak bisa SP3 dikeluarkan karena desakan masyarakat," jelas Mudzakir.
Dalam aturan pasal 109 ayat (2) KUHAP, alasan-alasan penghentian penyidikan diatur secara limitatif yakni karena tidak diperoleh bukti yang cukup, tidak ada unsur tindak pidana, tersangka meninggal dunia, atau kasus telah kadaluarsa. Mudzakir menilai status Rizieq tidak memenuhi ketiga unsur tersebut.
Dalam KUHAP itu juga dituliskan, pihak yang bisa mengeluarkan SP3 adalah penyidik Polri ataupun penyidik pegawai negeri sipil dan harus disampaikan kepada jaksa penuntut umum.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto menjelaskan pihaknya tidak akan meminta penyidik Polda Metro Jaya atau Polda Jabar untuk menghentikan penyelidikan/penyidikan kasus Rizieq-Firza lantaran kewenangan menghentikan ada pada penyidik.
“Penyidik tidak bisa dipaksa,” kata Setyo di Mapolda Metro Jaya, Senin siang.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Mufti Sholih