tirto.id - Kepulan asap putih mengepung demonstran. Orang-orang bergegas menghindar sambil melindungi mata. Langkah mereka beradu cepat dengan aparat dan nafas yang mulai sesak. Suara tembakan, sirene serta jeritan histeris melengkapi kekacauan di sekitar jembatan ikonik Pulau Rempang pada Kamis (7/9/2023) siang.
Sejumlah orang ditangkap. Sebagian lagi terluka dan jatuh pingsan, di antaranya pelajar. Mereka ikut roboh akibat gas air mata merangsek ke area sekolah. Bentrok demonstran versus aparat di Pulau Rempang merupakan ledakan bom waktu sekaligus puncak eskalasi tensi dua kepentingan berbeda.
Pemerintah RI berhasrat menciptakan suatu kota terpadu berkonsep eco city yang mengintegrasikan sektor industri, perdagangan dan wisata. Masalahnya, lokasi proyek mencakup tempat tinggal ribuan orang yang sudah hidup di sana sejak turun-temurun. Mereka menolak angkat kaki dari kampung atas nama investasi.
Rempang adalah suatu daratan seluas 16.583 hektare yang berada di sisi tenggara Pulau Batam. Secara administrasi, ia masuk dalam Kecamatan Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Pulau Rempang merupakan tempat tinggal bagi beraneka macam suku, antara lain Melayu, Orang Darat dan Orang Laut.
Dalam penelitian berjudul Orang Suku Laut Ethnicity and Acculturation (1997), Lioba Lenhart menjelaskan bahwa Orang Laut merupakan kelompok etnis kecil yang tersebar di Asia Tenggara dan dikenal sebagai pengembara laut atau gipsi laut. Mereka adalah keturunan Proto-Melayu yang kemungkinan berimigrasi sebelum 1000 Masehi.
Saat penelitian ini ditulis, populasi Orang Laut diperkirakan hanya berjumlah 3.000-5.000 orang. Mereka memiliki bahasa khas dan berbicara berbagai dialek yang berkaitan erat dengan Melayu Riau. Ia juga dikenal memiliki kemampuan adaptasi yang baik dengan zona ekologi laut, rawa hutan manusia, dan wilayah pesisir.
Orang Laut menjelajahi Nusantara dengan mengikuti arus, pasang surut, angin, matahari, bulan dan bintang. Dalam hal ini, mereka memiliki keahlian atau pengetahuan yang luar biasa. Sekitar setengah dari suku tersebut masih hidup nomaden. Selebihnya tinggal di pemukiman pesisir atau desa seperti di Pulau Rempang.
Di pulau ini, mayoritas penduduknya berprofesi nelayan. Mereka berkontribusi penting untuk sektor perikanan di daerah. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), total produksi ikan Kecamatan Galang mencapai 11.487 ton pada 2020, berasal dari 9.982 ton hasil tangkapan dan 1.505 ton budidaya.
Dengan jumlah tersebut, Galang merupakan kecamatan penyumbang kedua terbanyak di Kota Batam setelah Bulang. Bersama Natuna, Bintan dan Lingga, Batam adalah kontributor utama sektor perikanan Provinsi Kepulauan Riau. Dikutip dari Antara, nilai produksi ikan tangkap provinsi ini mencapai Rp8,6 triliun pada 2021.
Rentan Illegal Fishing
Tak hanya berperan di rantai pasok, para nelayan Pulau Rempang juga mampu diandalkan untuk menekan praktik illegal fishing yang merugikan negara hingga triliunan rupiah.
Praktik illegal, unreported, and unregulated fishing atau disingkat IUU Fishing merupakan istilah internasional yang merujuk segala cara terlarang dalam aktivitas penangkapan ikan. Ia bukan cuma ancaman bagi Indonesia, namun juga dunia sebab berdampak serius terhadap perekonomian global.
Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO), praktik IUU Fishing mampu menimbulkan kerugian dunia senilai USD10-23 miliar per tahun. Nilai ini bersumber dari aktivitas yang dianggap bertanggung jawab atas hilangnya 11–26 juta ton ikan setiap tahun.
Sementara hasil penelitian Ussif Rashid Sumaila dkk yang berjudul Illicit Trade in Marine Fish Catch and Its Effects on Ecosystems and People Worldwide (2020) menemukan bahwa praktik IUU Fishing, secara global telah mengalihkan pendapatan kotor sekitar USD8,9 miliar hingga USD17,2 miliar per tahun dari pasar legal ke perdagangan gelap.
Peneliti juga menemukan sekitar 7,7-14 juta metrik ton tangkapan ikan yang tidak dilaporkan berpotensi diperdagangkan secara ilegal setiap tahun. Adapun kawasan paling menderita dan mengalami kerugian terbesar akibat perdagangan gelap illegal fishing antara lain Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.
Selaras dengan itu, Wen Chiat Lee dan K. Kuperan Viswanathan dalam penelitiannya yang berjudul Framework for Managing Illegal, Unreported and Unregulated Fishing in ASEAN (2020) menemukan bahwa IUU Fishing berdampak signifikan bagi perekonomian di Asia Tenggara. Ia dilaporkan telah menimbulkan total kerugian USD6 miliar per tahun.
Di Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara yang paling menderita. Kita diperkirakan rugi USD3 miliar atau setara Rp47 triliun (asumsi kurs Rp15.681 per USD) per tahun akibat IUU Fishing. Urutan kedua yang paling sengsara adalah Vietnam dengan kerugian USD1,6 miliar per tahun.
Tingkat kerentanan illegal fishing di Indonesia tergambar pada indeks IUU Fishing yang diterbitkan Global Initiative. Pada 2019, Indonesia memeroleh skor 2,70. Dengan demikian, negara kita duduk di rangking ke-15 penanganan IUU Fishing terburuk di dunia. Rankingnya membaik jadi ke-20 pada 2021 dengan skor 2,55.
Lebih lanjut, sebuah studi menyebutkan Provinsi Kepulauan Riau merupakah salah satu wilayah perairan Indonesia yang rawan terjadi praktik IUU Fishing.
Secara geografis, Provinsi Kepulauan Riau berada di antara Laut Cina Selatan, Selat Malaka dan Selat Karimata. Akibat berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, Tiongkok, dan Malaysia, ia tergolong rentan illegal fishing. Pelanggaran banyak terjadi di Laut Natuna Utara, Kabupaten Natuna.
Nelayan Jadi Solusi
Di sinilah peran nelayan-nelayan lokal asal Pulau Rempang diperlukan. Karena berada di provinsi yang sama, jarak antara Pulau Rempang dan Pulau Natuna relatif masih terjangkau. Keduanya dipisahkan oleh laut sejauh 571 kilometer.
Potensi nelayan Pulau Rempang guna membantu penumpasan aktivitas illegal fishing di Indonesia, khususnya perairan Provinsi Kepulauan Riau, telah diuraikan Idham dkk dalam studi berjudul Society as the Front Guard in Facing Illegal Fishing: Research Studies on Rempang Island, Batam City (2023).
Peneliti menyimpulkan bahwa pemahaman nelayan Pulau Rempang terkait ancaman illegal fishing bervariasi. Bagi yang pernah berinteraksi langsung, tingkat kesadarannya tinggi, berbeda dengan yang belum. Walau begitu, mereka sama-sama resah sebab illegal fishing berdampak menurunkan hasil tangkapan ikan dan pendapatan.
Meski kurang beruntung dalam segi sumber daya, pendidikan dan koordinasi, nelayan Pulau Rempang dikaruniai kekompakan komunitas, pengetahuan tradisional dan solidaritas lokal. Modal inilah yang membuat mereka elegan berdiri di garda depan untuk melindungi sumber daya maritim Indonesia dari ancaman praktik illegal fishing.
Di tengah keterbatasan personel dan teknologi negara, penduduk di Pulau Rempang, khususnya para nelayan, memiliki posisi strategis. Mereka berpeluang menjadi mata dan telinga. Mitra otoritas dalam mengidentifikasi dan melaporkan aktivitas ilegal di lautan. Dengan skema yang tepat, peluang ini bisa berhasil.
Selama ini, nelayan Pulau Rempang sudah merasakan sendiri dampak illegal fishing. Aktivitas ini tidak hanya mengurangi pendapatan mereka, tetapi juga kualitas hidup. Kondisi diperparah kurangnya diversifikasi pekerjaan di pulau tersebut, sehingga membuat masyarakat sangat bergantung pada sektor perikanan.
Demi mengoptimalkan perannya, nelayan Pulau Rempang butuh dukungan peralatan lacak dan kapal patroli. Pemerintah juga bisa menawarkan insentif kepada masyarakat yang berperan aktif mencegah dan melaporkan aktivitas ilegal. Pengetahuan tradisional mereka tentang perairan sekitar berguna mendeteksi nelayan asing secara lebih mudah.
Pemberdayaan nelayan lokal demi menangkal praktik IUU Fishing juga disinggung Adam Leonardo and Nowar Deeb dalam penelitian berjudul Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing in Indonesia: Problems and Solutions (2022).
Melalui penelitian tersebut, mereka merekomendasikan tujuh solusi untuk mengentaskan persoalan IUU Fishing. Satu di antaranya dengan mengikutsertakan komunitas nelayan lokal, baik dalam menyusun desain maupun pelaksanaan peraturan. Intinya, diperlukan kerja sama antara masyarakat dan pemerintah.
Skema ini bukan eksperimen baru. Pemanfaatan nelayan lokal melawan illegal fishing sudah diterapkan oleh beberapa negara. Contohnya Australia. Mereka bahkan memasukkan masyarakat adat sebagai satu di antara kunci sekaligus prioritas utama dalam National Fisheries Plan 2022-2030.
Masyarakat adat tidak hanya berpartisipasi dalam pengambilan keputusan pengelolaan perikanan, namun juga terlibat melindungi keamanan serta mengelola wilayah laut melalui Indigenous Ranger Programs. Seperti di Pulau Rempang, nelayan lokal Australia juga punya nilai-nilai adat yang membuat mereka ideal menangkal illegal fishing.
Suku Aborigin dan penduduk pribumi Selat Torres adalah penjaga pertama lingkungan laut dan air tawar Australia. Mereka merupakan nelayan, pedagang serta pengelola sumber daya perikanan asli di sana. Keduanya memiliki relasi budaya mendalam dan abadi serta memahami betapa penting kelestarian laut bagi masa depan hidup.
Terlepas dari apa pun realisasinya, Pemerintah Australia mengakui nilai budaya praktik penangkapan ikan tradisional oleh masyarakat adat. Pemerintahan di sana juga berupaya mendukung partisipasi komunitas lokal dalam pengelolaan perikanan dan menentukan nasib sendiri.
Editor: Dwi Ayuningtyas