Menuju konten utama
Natal 2023 dan Tahun Baru 2024

Natal Puncak Kerinduan pada Sebuah Asal

Ryan sebut Natal merupakan sebuah momen kelahiran. Suatu titik terang pada proses hidup untuk menyambut kebaruan dan harapan.

Natal Puncak Kerinduan pada Sebuah Asal
Ilustrasi Pohon Natal. FOTO/iStockphoto

tirto.id - “Setiap Desember adalah awal orang meniti buih di selat yang gelap, yang terkadang rusuh. Di seberang, hanya beberapa langkah lagi, terbentang kurun waktu di mana harapan bisa memukau,” Goenawan Mohamad.

Binatang malam membisik dari pinggir jalan raya yang dipagari pohon-pohon besar. Motor satu-dua melintas, karena belum banyak yang memiliki. Cahaya senter dari gawai yang redup merupakan satu-satunya sumber penerangan. Mafhum, listrik masih barang mewah yang belum merata ke pelosok negeri.

Pekat malam di jalan yang membelah hutan itu, disusuri beberapa pasangan muda-mudi. Berjalan kaki agak saling berjauhan, sepulang dari kegiatan ibadat di gereja. Ryan Pratama merupakan salah satunya.

Jalan berdua bersama kekasihnya kala itu, bertaut dua tahun usia mereka. Bercengkrama dan berbagi cerita sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Kenangan dari masa ketika Ryan merasa masih naif dan belum banyak mengenal dunia.

“Saat itu masih SMA ya, saat malam Natal tahun 2014. Memang malam pulang ibadat di gereja itu yang punya pacar pulang bareng, karena jauh juga jarak ke rumah,” kata Ryan saat ditemui Tirto di Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (21/12/2023).

Ryan tengah membagikan pengalaman dirinya ketika merayakan Natal di kampung halaman. Momen di atas, sekaligus malam Natal terakhirnya di Desa Golo Lanak, Cibal Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

Pada 2015, pria yang kini berusia 27 tahun itu memutuskan kuliah di Jakarta. Setelah lulus, dia melanjutkan karier sebagai karyawan perusahaan media di Ibu kota hingga saat ini.

“Kalau dihitung ya hampir 9 tahun belum merayakan Natal lagi di rumah. Tahun ini juga gagal, karena kondisi dan kerjaan enggak mungkin ditinggalkan,” ungkap Ryan getir.

Kami bertukar cerita di kawasan Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Duduk mengemper di hadapan layar videotron yang berkhotbah soal masa depan dan kekayaan. Menikmati pisang goreng dingin dan segelas kopi instan ala kadarnya. Malam kian intim dan personal ketika memori tentang Natal dan kampung, Ryan tuturkan.

“Di kampung saya itu, kalau Natal satu kampung pasti libur. Mungkin dua minggu sebelum malam Natal atau pas waktu advent ya, itu orang kampung sudah enggak ada yang berladang,” kata dia.

Malam Natal terakhir Ryan di kampung begitu berkesan, bukan hanya karena dia berhasil mengajak jalan kekasihnya. Namun, saat itu juga momen ketika dia menyadari begitu hangatnya hari raya di tanah kelahiran. Dikelilingi keluarga dan orang terkasih, sesuatu yang tidak lagi dia dapati di perantauan.

“Di kampung anak-anak muda bikin umbul-umbul dan kandang. Papa dan Mama di rumah pasti ajak makan semeja, terus kita cerita soal setahun itu. Papa pasti kasih wejangan di momen begitu,” ungkap Ryan.

Awal bulan ini, Mama dia menelpon menanyakan kesediaan Ryan untuk pulang kampung. Menolak permintaan orang tua laiknya dihantam godam bagi dia. Namun apa daya, lagi-lagi Ryan harus membujuk orang tuanya di kampung untuk memahami keadaan.

“Sedih karena harus selalu bilang enggak bisa. Tapi mau gimana? Paling terenyuh pas Mama bilang, ‘kita cuma enggak tau ke depan keadaan gimana’, itu saya langsung nahan nangis,” kata Ryan.

Sewindu terlewati oleh Ryan dengan Natal yang dilakoninya di tanah rantau. Dia rindu aroma sayur kuah singkong dengan potongan daging babi buatan Mama. Ingin rasanya dia dapat bercanda kembali bersama teman kampung dan bernyanyi di malam Natal hingga pagi.

Malam Natal yang dulu masih terasa ramai dan hangat, bukan perayaan sepi dan sendiri kini. Natal, kata dia, tidak pernah penuh di dada tanpa keluarga duduk bersama di meja.

“Ibadat dan perasaan rohani pasti enggak jauh beda, bahkan di sini saya lebih rajin karena gereja dekat. Tapi momen budaya dan kehangatan sederhana itu yang hilang, yang enggak ada di Jakarta,” terang Ryan.

Asal dan Kelahiran

Natal memang sudah begitu tampak terasa hadirnya. Di etalase toko atau mal, megah dan indah pernak-pernik bertema Natal tertata. Pohon Natal dipancang dengan warna-warni menyelimuti batang tubuhnya. Lampu-lampu menghias beranda dan bergegas meramaikan hari raya.

Umat Kristiani di seluruh pelosok sibuk mempersiapkan datangnya hari berbahagia ini. Ryan menjelaskan, Natal merupakan sebuah momen kelahiran. Suatu titik terang pada proses hidup untuk menyambut kebaruan dan harapan. Tak ayal, hari raya ini disambut semarak dan sukacita.

“Mungkin ya, menurut saya, itu juga kenapa orang rindu kampungnya pas Natal. Karena di sana momen kelahiran mereka, ada keluarga, ada orang tercinta, saat dia pertama kali lahir di dunia,” jelas Ryan dengan nada serius.

Alegori Ryan mengingatkan saya dengan kalimat yang ditulis Ignas Kleden dalam kolom berjudul ‘Di Bawah Naungan Pohon Natal’, dimuat di Majalah Tempo edisi Desember 1977. Ignas menilai kesederhanaan Natal sebagai momen ketika, “mengembalikan manusia pada posisinya yang asal, kelahiran adalah saat penampakan pertama untuk egalite (persamaan).”

Hal ini menandakan begitu eratnya kelindan antara Natal dan asal, sebagai tempat lahirnya tubuh yang fana ini di dunia. Ketika kampung halaman bukan sekadar memori sentimentil belaka, namun juga pijakan pertama ketika insan mengenal kasih dan persamaan yang dibalut kesederhanaan.

Tidak heran, rasa sedih dan kerinduan akan perayaan Natal di kampung begitu kental saat Ryan berkisah. Bagi yang telah lama terasing di perantauan, rindu bukan sebuah kata yang klise. Dia menjelma doa pada tiap-tiap malam Natal, ketika raga jauh dari orang-orang tercinta.

Persis pekik Chairil Anwar dalam sajaknya yang berjudul ‘Doa’. Pada gubahan tahun 1943 berbunyi, “Tuhanku // Aku hilang bentuk // remuk. Tuhanku // aku mengembara di negeri asing.”

Kerinduan dari Taiwan

Kevin Pranata Ginting berbagai cerita lewat sambungan telepon dari negeri nun jauh. Sudah tiga tahun Kevin tinggal di Shoufeng, Kota Hualien, Taiwan. Dia tengah melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Nasional Dong Hwa.

Pada 2023 ini, menandakan tahun ketujuh Kevin terpaksa absen merayakan Natal di tanah kelahirannya. Pria berusia 26 tahun ini tinggal di Kecamatan Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Sejak berkuliah di Bandung, Jawa Barat pada 2016, Kevin belum berkesempatan lagi merayakan Natal di kampung halaman.

“Sejak kuliah sampai sekarang memang belum sempat terus Natal itu. Kalau pulang pernah tapi bukan pas Natal, saat hari raya itu ada aja halangan,” kata Kevin kepada reporter Tirto, Rabu (20/12/2023).

Selama tinggal di Taiwan, Kevin merayakan Natal dengan perasaan asing. Tidak ada riuh bercampur kehangatan yang biasa dirasakannya di Tanah Air. Maklum, Natal bukan merupakan hari libur nasional di Negeri Formosa itu. Desember hanya diisi dingin dan rutinitas banal di laboratorium kampus.

“Ya biasanya kalau Natal paling menyempatkan diri Ibadat, tapi sedikit dari Indonesia itu bisa dihitung jari. Itu juga saya harus masuk dulu seperti biasa ada kerjaan di lab,” tutur Kevin.

Kevin mengenang Natal terakhirnya di kampung halamannya. Pagi hari di waktu Natal, kata Kevin, biasanya dia akan terbangun karena suara anak-anak kecil berlarian. Mereka merupakan buah hati sanak saudara Kevin yang berasal dari luar pulau.

Natal menjadi momen keluarga besar Kevin berkumpul dan merayakan kebersamaan di kampung. Terbangun karena anak kecil bermain, dilanjut mengantri di kamar mandi, adalah kesederhanaan yang dirindukan Kevin. Suasana kultural yang tidak didapatkannya di negeri orang.

“Biasanya habis mandi pagi, kita semua masak-masak. Nanti makannya barengan selepas kita beribadat bersama,” ungkap Kevin.

Merayakan Natal di kampung bagi Kevin, tidak sekadar mendongkrak suplemen rohani. Menurut dia, secara emosional orang akan lebih terpenuhi dan berkorelasi dengan harapan dan kebahagiaan.

Perasaan itu menyeruak di dada jika dia dapat duduk bersama keluarga di hari raya. Ada yang tak lengkap, menurut Kevin, ketika Natal hanya dirayakan lewat layar gawai.

“Simpelnya, secara emosional masih ada bagian yang kosong. Rohani kan sama saja di mana pun beribadat pasti begitu, tapi suasana budayanya hilang, itu yang ngangenin,” jelas Kevin.

Ada tradisi khas menurut Kevin yang akan dilakukan keluarga intinya saat merayakan Natal. Biasanya, sambil menyantap hidangan, seluruh anggota keluarga akan menyelesaikan masalah-masalah internal setahun ke belakang. Ditemani hidangan khas Karo, tasak telu, pembicaraan masalah keluarga akan lebih cair dan terbuka.

“Misal ada Paman yang berselisih soal lahan, ini bisa diselesaikan. Jadi Natal juga momen rekonsiliasi buat keluarga kami,” tutur Kevin.

Menurut Kevin, tradisi itu menggemakan makna Natal sebagai momen kelahiran. Ketika diri menginsafi dosa yang lalu dan berupaya mengubah diri menjadi pribadi baru.

Menarik, sebab mengingatkan kita pada Sitor Situmorang yang menyatakan makna kelahiran dalam Natal sebagai ‘revolusi’. Dalam sajaknya dia menyebut, “tiap kelahiran adalah revolusi // apakah itu seribu tahun yang lalu // ataukah itu terjadi saat ini.”

Kini, Kevin hanya bisa terus berharap tugasnya mengejar gelar doktor bisa rampung secepatnya. Dia rindu momen Desember di kampung ketika hujan dan lagu-lagu Natal bersahutan.

Maka, tiap Natal di salah satu doanya tersisip, semoga ada harapan dan kesempatan agar bisa merayakan hari raya itu bersama keluarga. “Mumpung orang tua masih ada, bukane nggak mau pulang, yang rantau jauh pasti paham. Tapi semoga ada kesempatan,” tutup dia.

Bagi Kevin, doa adalah kendaraan bagi bait-bait rindu yang tak tersampaikan. Doa melangit di malam Natal yang jauh dari keluarga dan asal. Kendati begitu, orang boleh berharap di ujung Desember, untuk bisa kembali merayakan Natal dengan keluarga.

Menikmati kesederhanaan makan bersama, berjalan berombongan ke gereja, bertukar canda dengan sanak keluarga, atau melantun bersama lagu Mariah Carey bertajuk ‘All I Want for Christmas is You’ sambil menari di ruang TV.

Doa dan upaya terus dititi para perantau agar membentang jalan menuju momen itu. Kembali pulang ke pelukan muasal yang mengajarkan pertama kali soal kasih dan iman. Agar kelak kembali merayakan Natal dengan perasaan bahagia yang penuh dan lengkap di dada.

“… pulanglah mereka ke negerinya melalui jalan lain, (Matius 2:12).”

Baca juga artikel terkait NATAL 2023 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz