tirto.id - Lima tahun lalu, saat kau masih di Indonesia, setiap malam natal tiba, kau masih berkutat dengan pekerjaan. Merayakan natal dengan sisa-sisa energi, beristriahat, dan kembali bekerja keesokan hari. Natal seperti tanggal merah di kalender saja, katamu, Afriana Siagian.
Siang itu, kau adalah mahasiswa pascasarjana dari Universitas Warwick. Seorang diri duduk di kafe di pusat kota Coventry, Inggris. Kota yang hanya berjarak 30 kilometer dari Birmingham, tapi perlu perjalanan ribuan mil ke Sumatera Utara, tempat keluargamu berada.
Dengan waktu yang lebih longgar dari tahun-tahun yang lalu, kau menikmati liburan musim dingin. Salju sudah perlahan menghilang. Namun suhu tetap 0 derajat celsius. Natalmu masih tetap sepi dan kau mulai terbiasa.
Kota Coventry sudah merayakan natal sejak akhir November. Toko-toko memasang pohon natal, gambar sinterklas, dan setiap pramuniaga yang kau temui, mengenakan kostum khas natal. Di pusat kota, orang-orang mendatangi konser atau berbelanja di pasar natal.
Kau pun larut dalam euforia natal warga Coventry. Kau membeli sweter bercorak natal dan beberapa hiasan untuk kau pasang sendiri di apartemenmu; mencicipi kudapan, kau memakan yorkshire pudding, mince pie, roast dinner, eggnog, pigs in blankets, dan mulled wine.
Orang Inggris suka mencampur makanan mereka dengan keju, katamu. Tapi itu tetap tak membuatmu jatuh cinta dengan kuliner mereka. Kecuali mulled wine, fermentasi anggur yang disajikan panas, ditambah kulit kayu manis, dan lemon. Setenguk saja mulled wine menghangatkanmu. Kau menikmatinya. Mengingatkanmu pada wedang ronde di Indonesia.
Dengan biaya 5 poundsterling ekuivalen Rp100 ribu, kau bisa mendapatkan 1 liter mulled wine. Lebih murah, ketimbang kau membeli dan hanya mendapatkan 250 mililiter dengan harga yang sama. Sekarang, kau akan membuat mulled wine-mu sendiri.
Sehari setelah natal, kau akan mengundang teman-temanmu ke apartemen. Kalian akan memasak dan menikmati mulled wine bersama. Sembari menyemarakkan sisa-sisa hari penuh kasih di tanah rantau. Setidaknya aku bisa merayakan natal lebih layak sekarang, katamu.
***
Suhu di daerah Halle, Vlaams Brabant berkisar 5-10 derajat celcius saat hari masih terang. Suhu bisa mencapai minus begitu malam tiba. Ia, Winny Nainggolan, memilih berdiam diri bersama suami di dalam rumah. Selama musim dingin baru 2 hari melihat matahari, katanya.
Ia sebenarnya ingin merayakan natal dengan bervakansi ke Spanyol. Karena persoalan administratif, ia tak bisa jauh-jauh dari Kota Brussel—sekitar 20 kilometer dari Halle. Sudah dua bulan surat-suratnya tak kelar diurus pemerintah setempat.
Ketika tempatnya bekerja libur dan teman-temannya merealisasikan perjalanan mereka: ada yang kembali ke Chilli dan Kolombia atau sekadar pelesiran ke Eropa Selatan untuk menghangatkan diri. Aku terjebak di sini, katanya.
Sebenarnya, Ia punya opsi lain untuk membuat masa libur musim dingin menjadi produktif; mengikuti kegiatan sukarela. Namun varian Omicron membuat Belgia tak berdaya. Kegiatan yang melibatkan massa menjadi tiada. Konser dibatalkan, museum ditutup, bioskop ditutup, hanya restoran yang diperbolehkan beroperasi.
Sebelum kasus Omicron, ia mengetahui banyak pasar natal di Belgia. Setelahnya, pemerintah setempat hanya mempertahankan satu pasar natal di Brussel. Sesekali ia ke pasar natal, hanya butuh waktu 20 menit menggunakan kereta dari Halle. Itu eskapismeku, tapi kalau setiap hari bosan juga, katanya.
Ia dan suami sama-sama perantau di Belgia. Ia dari Tangerang, Provinsi Banten, Indonesia. Suami dari Peru. Sudah 2 tahun, ia melewati natal tanpa keluarga.
Perayaan natal di Halle terkesan biasa saja baginya. Ia tidak melihat ornamen khas natal di setiap rumah. Perayaan natal yang ia bayangkan seperti di film-film Amerika Serikat buyar.
Tidak mudah baginya, yang terbiasa hidup dalam keramaian mesti menjalani kehidupan yang sepi. Ia mafhum, manusia mesti beradaptasi.
Ia tidak menginginkan berada dalam situasi seperti ini. Namun ia menyadari semua hal yang terjadi di luar kendalinya. Ia memilih berdamai ketimbang terus mengutuki nasib. Sudah selesai masa mengeluhku, di sini aku belajar ikhlas, katanya.
Sebagai ganti tidak bisa pulang ke Indonesia dan bervakansi ke luar negeri, ia dan suami merencanakan pergi ke Ardenne. Ia ingin tetap menyemarakkan natal dalam suasana berbeda selain di rumah.
***
Kau sudah terbiasa menjalani natal seorang diri, tanpa keluarga. Hari-harimu dulu, selagi menjadi mahasiswa rantau di Yogyakarta dan saat kau menjadi pekerja, menjadi modalmu menjalani kehidupan di Inggris. Kau tidak karut menghadapi kesendirian.
Sebenarnya kau ingin sekali pulang, mengucapkan selamat natal secara langsung kepada orang tua. Namun mahalnya harga tiket pesawat merintangimu. Tapi kami masih bisa video call, katamu.
Meski Coventry telah memberikanmu natal yang semarak. Di mana satu kota larut dalam euforia bersama. Suasana natal yang tidak bisa kau dapatkan di Indonesia—kecuali, seperti yang kau bilang, di mal-mal.
Kau tetap menyelami kesendirianmu, menemukan makna dari semua itu. Natal menjadi refleksimu: aku tetap bisa menikmati hidup dan merangkul kesendirianku di sini, katamu.
***
Perayaan natal di Belgia memang tak meriah. Tentu ia merindukan sekali masa-masa natal di Tangerang. Saat malam natal tiba, ia dan famili berkumpul, bernyanyi, berdoa, sembari membakar sesuatu untuk dimakan bersama. Keesokan hari, bergegas ke gereja. Lebih hangat, keluarga kumpul semua, katanya.
Sementara di Halle, ia merayakan malam natal berdua suami. Mereka pergi ke gereja terdekat. Dan tetap terhubungan dengan keluarga di Indonesia dan Peru secara virtual.
Meski natal dua tahun terakhir berbeda. Ia percaya situasi seperti ini tidak akan selamanya. Ia meyakini natal tetap memberikan keberkatan padanya. Setidaknya aku dan orang-orang terdekatku tidak kekurangan, itu sudah lebih dari cukup, katanya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz