tirto.id - Sebuah panggung di Mountain View, California, Amerika Serikat (AS) pada Mei lalu meriah oleh bunyi decak kagum. Di sana berdiri Chief Executive Officer (CEO) Google Sundar Pichai yang tampak bergairah, memperkenalkan layanan Artificial Intelligence (AI) baru dari perusahaannya yang memukau hadirin.
Apa yang Pichai tampilkan dalam layar besar di atas panggung adalah percakapan singkat antara seorang dua orang wanita, satu adalah pegawai salon, yang lainnya adalah pelanggan yang ingin melakukan pesanan slot waktu layanan terlebih dahulu.
Sepintas tak ada yang aneh, percakapan selama sekitar 55 detik itu tampak natural, seolah-olah itu percakapan sehari-hari yang biasa terjadi antara pelanggan dan pegawai salon tersebut. Hanya saja, yang terjadi sesungguhnya tidak demikian. Sang pelanggan adalah Google Assistant yang kini menggunakan teknologi AI yang disebut Duplex, sementara sang pegawai salon adalah manusia sungguhan.
Respons Assistant terasa sangat “manusia,” menunjukkan betapa teknologi AI Google makin mendekati batas-batas yang dulu seolah muskil dicapai oleh teknologi. Ketika sang pegawai salon meminta Duplex untuk menunggu beberapa saat karena ia memeriksa jadwal yang kosong, misalnya, Duplex merespons secara luwes dengan sahutan “Mm-hmm” layaknya respons manusia pada umumnya. Sontak, tawa audiens pun memenuhi venue.
Dengan Duplex, orang kini dapat melakukan pemesanan meja pada restoran yang belum memiliki teknologi digital yang memadai untuk pesanan online, atau menjawab telepon masuk ketika rapat sedang berlangsung sembari mencatatkan pesan yang ingin disampaikan oleh sang penelpon, layaknya memiliki asisten pribadi.
Pada November ini, sejumlah orang di Negeri Paman Sam yang memiliki ponsel pintar Pixel buatan Google sudah mulai mencicipi bagaimana teknologi ini bekerja. Indonesia, sayangnya, masih belum dapat merasakan kecanggihan teknologi Google tersebut, mengingat Pixel sendiri tidak dijual resmi di negara ini.
Namun, AI sendiri sesungguhnya telah mulai merasuk di kehidupan masyarakat Indonesia, entah disadari ataupun tidak.
AI di Indonesia
Teknologi AI di Indonesia jika dilihat dengan jeli tidak berada jauh dari genggaman tangan dan memiliki pertumbuhan yang cukup menjanjikan, meski belum mencapai tingkatan seperti di AS ataupun Cina. Hal ini diakui oleh CEO Kata.ai Irzan Raditya.
Ia mengungkapkan bahwa perkembangan dan adopsi teknologi AI di Indonesia belum sepesat yang terjadi di kedua negara tersebut, utamanya Cina.
“Cina itu masif sekali pertumbuhannya, apalagi kalau kita lihat gerak-geriknya Alibaba, Tencent, Baidu,” jelas Irzan, Rabu (5/11). Sebagai catatan, Kata.ai merupakan start-up teknologi AI yang fokus di bidang chatbot dan natural language processing.
Ia memberikan contoh, pengaplikasian AI di Cina sudah berada pada tahap di mana teknologi tersebut sudah terintegrasi di masyarakat. Ketika ingin berbelanja di gerai restoran cepat saji, ia melanjutkan, masyarakat Cina sudah tidak perlu mengeluarkan ponsel pintar untuk melakukan transaksi karena restoran tersebut sudah mengetahui identitas dari calon pembeli serta saldo yang dimiliki mereka hanya dengan menggunakan pemindaian kamera.
“Kalau kita sekarang mungkin lagi heboh dengan QR Code ya dengan e-payment ... di Cina itu sudah 8 tahun lalu,” sebut Irzan. “Pemerintah Cina sangat mendorong, mem-push, pertumbuhan AI.”
Di Indonesia, AI memang belum memiliki kompleksitas seperti di Cina. Salah satu penerapan dari teknologi ini, namun demikian, sudah dirasakan dalam bentuk-bentuk yang lebih sederhana, salah satunya melalui teknologi chatbot yang mungkin sering dijumpai di aplikasi-aplikasi pesan instan seperti Line, Telegram ataupun Whatsapp.
Chatbot adalah program komputer yang didesain untuk menstimulasi percakapan dengan pengguna manusia dalam sebuah platform berbentuk teks ataupun audio.
Sales Director Line Indonesia Anchali Kardia mengatakan bahwa perkembangan AI di Indonesia sesungguhnya cukup menjanjikan. Penggunaan chatbot dalam Line di Indonesia sendiri, lanjutnya, cukup populer di kalangan milenial karena karakteristik mereka yang lebih menyukai percakapan dalam bentuk teks.
“Kita pertambahannya year-on-year jumlah bot di Indonesia itu 25 persen, untuk di Line-nya sendiri, di Line ecosystem,” sebut Kardia.
Apa yang dikatakan oleh Kardia terkait perkembangan AI sejalan dengan hasil survei mengenai prospek AI di Asia Tenggara oleh SAS dan IDC Asia/Pacific pada 2018 ini. Survei tahunan bertajuk “IDC Asia/Pacific Enterprise Cognitive/AI Survey” yang dirilis Juli 2018 tersebut menemukan bahwa adopsi AI di Asia Tenggara memang tengah menanjak dengan Indonesia memimpin tren positif.
Pada 2018, survei ini melibatkan total 502 eksekutif dan kepala lini bisnis IT di Asia Pasifik (kecuali Jepang), termasuk 146 responden dari Asia Tenggara (Singapura, Malaysia, Indonesia, Thailand).
Tingkat adopsi AI di Asia Tenggara pada 2018 ini mencapai tingkat 14 persen, meningkat dari 8 persen di tahun sebelumnya, menandakan bahwa perusahaan mulai beradaptasi dengan AI dan menanamkan sejumlah bentuk teknologi tersebut ke dalam operasional mereka.
Kemampuan AI untuk memberikan perusahaan-perusahaan tersebut pemahaman yang lebih menyeluruh dan lebih baik menjadi alasan utama lebih dari setengah responden (52 persen) untuk mengadopsi teknologi tersebut.
Sebanyak 24,6 persen organisasi di Indonesia telah mengadopsi AI. Thailand, sementara itu, berada di posisi kedua (17,1 persen), disusul oleh Singapura (9,9 persen) dan Malaysia (8,1 persen). Menurut Irzan, setidaknya ada lima industri di Indonesia yang sudah mengadopsi AI, yakni perbankan, telekomunikasi, healthcare, e-commerce, dan fast moving consumer goods (FMCG). Di bidang telekomunikasi misalnya, adopsi teknologi AI diterapkan pada layanan customer service dan lainnya.
“Kami memperkirakan investasi di AI akan terus meningkat, karena semakin banyak organisasi mulai memahami manfaat dari menanamkan AI ke dalam bisnis mereka dan bagaimana data serta analisis dapat membantu mengungkap wawasan baru,” sebut Global Research Director, Big Data and Analytics and Cognitive/AI, IDC Asia/Pacific, Chwee Kan Chua dalam keterangan resminya.
Survei ini juga mempertegas pernyataan Irvan mengenai bagaimana pertumbuhan teknologi AI di Cina didukung oleh kepercayaan perusahaan-perusahaan di negeri tirai bambu itu bahwa AI adalah masa depan. Survei ini menyebutkan bahwa lebih dari 80 persen perusahaan di Cina dan Korea Selatan percaya bahwa AI akan menjadi bagian krusial dari sukses dan daya saing perusahaan di masa depan.
Tembok Besar Menghadang
Meski memimpin pertumbuhan adopsi di ASEAN, sayangnya, Indonesia juga memiliki persentase paling tinggi (59 persen) terkait jumlah organisasi atau perusahaan yang tidak memiliki rencana untuk mengadopsi teknologi AI dalam lima tahun ke depan, masih dari survei yang sama.
Ini menandakan bahwa masih terdapat bisnis yang bersifat tradisional yang masih ragu untuk melakukan lompatan pada operasional bisnis mereka.
Peter Sugiapranata, Country Manager SAS Indonesia, menyebutkan tantangan utama yang perlu diatasi dalam beberapa tahun ke depan terkait perkembangan teknologi serta adopsi AI di Indonesia adalah bagaimana Indonesia dapat menempatkan AI sebagai pembeda dalam menjalankan bisnis.
Selain itu, ia menyebutkan bahwa akses terhadap talenta sumber daya manusia juga dapat menjadi hambatan lainnya.
Irzan mengatakan bahwa kesediaan industri atau pemain-pemain bisnis lama untuk membuka akses data mereka dan untuk bertransformasi digital memegang peranan penting terhadap pertumbuhan teknologi AI di Indonesia.
“Tanpa ada data algaritma bot tidak akan jalan,” sebutnya.
Pemerintah Indonesia, lanjutnya, sedikit banyak juga dapat membantu pertumbuhan adopsi AI di Indonesia ini dalam hal regulasi, utamanya dengan mempersiapkan roadmap untuk industri AI seperti yang telah dilakukan pada industry e-commerce.
"Indonesia adalah pasar yang sempurna untuk AI untuk berkembang. Dasar dari AI dan analitik terletak pada ketersediaan data dan Indonesia memiliki volume serta skala [data] yang tepat untuk menjustifikasi investasi pada AI,” kata Sugiapranata.
Editor: Suhendra