tirto.id - "Total saya belajar di [jurusan] kedokteran adalah 13 tahun. Berdoa, belajar, dan ujian—itu yang saya lakukan selama ini. Di mana kah letak kesalahan saya? Atau sistem ini yang menyusahkan saya?"
Demikian penggalan surat tertanggal 24 Februari 2018 yang ditulis tangan Clemens Wopari, mahasiswa kedokteran dari Universitas Cenderawasih, Jayapura. Surat itu ditujukan kepada Intan Ahmad, Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Dalam surat itu, Clemens menyatakan kekecewaannya lantaran selama lima tahun terakhir selalu gagal dalam uji kompetensi profesi dokter. Surat tersebut tak digubris. Pada Maret 2018, Clemens mengembuskan napas terakhir.
Clemens mengalami depresi berat berkepanjangan selama beberapa tahun terakhir setelah 20 kali mengikuti Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter. Padahal ia sudah menyelesaikan pendidikan profesi selama 4 tahun serta dinyatakan lulus. Sejak 28 Januari 2018, menurut rekannya, ia merancang kematiannya sendiri dengan tidak makan dan minum. Ia bahkan menolak dibawa ke rumah sakit, dan memasang infus sendiri.
"Saya ini dokter. Jadi harus mampu menyembuhkan diri sendiri,” katanya kepada Lizah Mandosir, rekannya sesama lulusan fakultas kedokteran Universitas Cenderawasih.
Kematian dokter muda lain adalah Melvin Yuliana Suebu. Mahasiswi kedokteran Universitas Cenderawasih ini meninggal setelah menderita gastritis atau radang lambung kronis. Agustus 2017 adalah ujian kompetensi terakhir dia setelah mengikuti 12 ujian itu sejak 2014.
Saat ujian hari itu Melvin sesak napas. Meski sudah menyelesaikan semua materi soal, panitia melarangnya pulang. Ia hanya diizinkan menunggu di luar ruang karantina, tempat ujian berlangsung, hingga waktu diperbolehkan pulang sesuai ketentuan panitia. Pada September 2017, Melvin meninggal dunia di RSUD Yowari, Jayapura.
Clemens Wopari dan Melvin Suebu disemayamkan dengan jas putih dokter, kendati sampai akhir hayat mereka belum kesampaian disumpah sebagai dokter.
Tina, bukan nama sebenarnya, mahasiswi kedokteran asal Kupang, Nusa Tenggara Timur, melaksanakan yudisium pada 2015. Namun, hingga kini ijazah sarjana kedokterannya belum juga ia terima. Musababnya, 11 kali ia gagal lulus Uji Kompetensi. Tina, dalam ukuran prestasi akademik, adalah dokter cerdas. Indeks Prestasi Kumulatifnya adalah 3,1 atau setara A [sangat memuaskan].
Ada pula Raras dan Tian, juga bukan nama sebenarnya, dokter muda asal Medan yang gagal 8 kali mengikuti ujian Kompetensi. Begitu juga Muhammad Ichsan asal Jakarta yang gagal lebih dari 10 kali.
Kondisi serupa dialami sejumlah dokter muda lain. Sebagian dari mereka menghimpun solidaritas dan membentuk sebuah gerakan advokasi bernama Pergerakan Dokter Muda Indonesia. Mereka menggalang petisi daring agar Menteri Ristek Dikti Mohamad Nasir sudi mendengarkan kritik mereka atas sisi gelap ujian kompetensi tersebut, yang menghambat perkembangan karier mereka.
Dokter muda seperti mereka yang sudah lulus pendidikan akademik dan profesi (ko-asisten/koas), tetapi gagal dalam ujian kompetensi dan belum mendapatkan ijazah dokter serta sertifikat kompetensi disebut retaker. Dan retaker seperti mereka saat ini mencapai hampir 3 ribu orang di seluruh Indonesia.
Nasib Retaker: Sekalipun Sudah Lulus, Tetap Bayar Biaya Kuliah
Persoalan semrawut retaker bermula dari Undang-Undang 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Pasal 36 dalam undang-undang tersebut menegaskan bahwa sertifikat profesi dikeluarkan perguruan tinggi bila mereka lulus uji kompetensi. Lebih lanjut, sertifikat profesi dan sertifikat kompetensi dikeluarkan bersamaan satu tahap. Artinya, lulusan sarjana kedokteran baru akan mendapatkan ijazahnya jika sudah lulus uji kompetensi.
Pasal ini menghasilkan peraturan turunan berupa Permendikti 30/2014 [saat itu masih bernama kementerian pendidikan dan kebudayaan], yang mengatur uji kompetensi program profesi dokter atau dokter gigi.
Peraturan itu menimbulkan masalah. Pertama, tanpa memegang ijazah, para retaker atau dokter muda tak punya modal untuk melamar pekerjaan. Padahal, dengan ijazah dokter, mereka dapat bekerja di bidang lain seperti di bank, atau profesi lain di bidang kesehatan seperti tenaga peneliti, tanpa harus berpraktik sebagai dokter.
“Jadi tak ada yang perlu ditakutkan [jika kami mendapat ijazah]. Kami tetap tidak bisa buka praktik tanpa ada sertifikat kompetensi," ujar Muhammad Ichsan, Ketua Gerakan Advokasi Pergerakan Dokter Muda Indonesia. "Biarlah kami dapat ijazah itu biar kami bisa bekerja di tempat lain. Agar kami bisa belajar untuk uji kompetensi tanpa beban. Dengan begini, kami terbebani sekali.”
Kerugian lain: sekalipun sudah lulus, retaker tetap berstatus sebagai mahasiswa karena belum juga mendapat ijazah dan sertifikat kompetensi.
Untuk tetap terdaftar sebagai mahasiswa, retaker wajib membayar uang semester kepada kampus. Besarannya berbeda, tergantung ketentuan kampus masing-masing. Ada fakultas yang mewajibkan untuk membayar penuh tiap semester, ada yang hanya sebagian. Padahal biaya kuliah kedokteran termasuk paling mahal di nyaris semua kampus Indonesia yang membuka program tersebut. Tina contohnya, ia harus membayar Rp5 juta tiap semester.
“Kuliah enggak, dapat ilmu enggak, tapi kami harus bayar. Hanya agar nama kami tetap terdaftar di Kementerian Ristekdikti,” keluh Tina.
Ichsan mencatat dari 37 universitas, 16 di antaranya membebaskan biaya semester, sementara 21 kampus lain tetap mewajibkan biaya semester, dari ratusan ribu hingga belasan juta rupiah.
Masalah tak berhenti sampai situ. Para retaker harus merogoh kocek untuk biaya try out (uji coba sebelum ujian utama) dan Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter. Uji coba diselenggarakan di dua tempat yang diadakan Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia [AIPKI] dan kampus.
Biaya uji coba dari AIPKI biasanya sebesar Rp350 ribu, sementara di beberapa fakultas variatif; ada yang gratis, ada pula hingga jutaan rupiah. Tetapi mereka harus wajib ikut uji coba tersebut. Jika tidak, retaker dilarang mendaftar ujian kompetensi.
Ongkos ini menjadi tidak masalah jika hanya dikeluarkan sekali. Namun, bagaimana jika gagal dan harus mengikuti uji kompetensi berkali-kali?
Retaker harus terus mengeluarkan kocek sampai-sampai merobek kantong. Untuk menutupinya, beberapa retaker bekerja serabutan menjadi professional groomer anjing dan kucing seperti Ichsan. Ada yang menjadi penyanyi kafe. Ada pula yang bekerja di bengkel atau penjual bakso. Tak sedikit pula yang menganggur dan bergantung pada obat anti-depresan demi menenangkan diri.
Kampus Memaksa Retaker Pindah Fakultas
“Kalian tidak cocok jadi dokter,” demikian seorang dekan fakultas kedokteran kampus tempat belajar Raras dan Tian asal Medan saat hendak meminta audiensi kampus terkait nasib status mereka. Mereka bahkan diminta untuk pindah fakultas dan berjanji akan langsung diberikan ijazah.
“Lalu apa artinya kami belajar selama ini di kedokteran? Kami disuruh pindah ke jurusan seni, misalnya. Belum lagi harus bayar uang masuk dan sebagainya,” ujar Raras.
Nada sumbang serupa terdengar dari para retaker dari beberapa kampus lain yang menyarankan agar mereka mengambil bidang profesi selain dokter.
Tak hanya itu, retaker harus mengisi sejumlah formulir dari kampus yang menyatakan mereka belum lulus dan masih berstatus sebagai mahasiswa program profesi dokter sebagai syarat mengikuti ujian kompetensi. Kepada Tirto, Ichsan menunjukkan formulir tersebut.
Menurutnya, formulir ini adalah bentuk paksaan agar kampus tidak menjadi sasaran kesalahan dan kekesalan karena telah memaksa retaker mengakui statusnya sebagai mahasiswa kedokteran.
Tirto mengonfirmasi soal formulir tersebut kepada dr. Mahmud Ghaznawie, Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia [AIPKI]. Saat ditunjukkan melalui aplikasi pesan WhatsApp, Mahmud mengaku baru mengetahui formulir macam itu beredar di kampus.
Ia mengkhawatirkan formulir semacam itu digunakan untuk kepentingan politis pihak tertentu. "Misal, menahan ijazah mahasiswa yang telah menyelesaikan dan lulus rotasi kliniknya," terang Mahmud.
Untuk itu, AIPKI dan Asosiasi Hukum Kesehatan mendesak agar kementerian merevisi UU Pendidikan Kedokteran. “Setidaknya, berikanlah ijazah mereka, karena itu hak mereka. Dan jangan jadikan UKMPPD sebagai exit exam,” desak dr. Nasser, Ketua Asosiasi Hukum Kesehatan.
Tina, mahasiswi kedokteran dari Kupang, menegaskan ia dan rekan-rekannya dalam Pergerakan Dokter Muda Indonesia bukan ingin menghapuskan ujian kompetensi, melainkan mereka menuntut hak yang seyogyanya mereka dapatkan, yakni ijazah kedokteran.
Pada 6 Januari 2017, 32 orang memutuskan menggugat UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran. Salah satu pasal yang digugat terkait uji kompetensi. Pada April 2018, gugatan tersebut dikabulkan Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi setebal 314 halaman tersebut pada intinya menegaskan bahwa sertifikat profesi dan sertifikat kompetensi adalah dua hal berbeda yang diperoleh pada tahap berbeda sebagai syarat yang harus dipenuhi seorang dokter yang akan melakukan praktik mandiri.
Meski begitu, fakultas masih belum berani memberikan ijazah kepada para retaker. Musababnya, belum ada surat edaran resmi dari Kementerian Ristekdikti. Di sisi lain, Kementerian bersikukuh berpegang pada UU Pendidikan Kedokteran.
Sejak medio Mei 2018, Tirto sudah melakukan konfirmasi kepada pihak Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan. Hingga laporan ini dirilis, Dirjen Intan Ahmad masih enggan memberikan komentar.
"Bapak masih belum berkenan karena masih mengurus pengumuman hasil SNMPTN," jelas Sugeng, ajudan Intan Ahmad, kepada Tirto saat ditemui di kantornya pada akhir Juni kemarin.
Muhammad Ichsan dan koleganya yang tergabung dalam Pergerakan Dokter Muda Indonesia terus berjuang agar Kementerian Ristekdikti segera mengevaluasi kebijakan uji kompetensi tersebut. Mereka berkejaran dengan waktu. Sudah ada yang meninggal, sebagian lain depresi.
Ichsan mengatakan akibat peraturan dari pemerintah itu, terutama pada pasal 36 dalam Undang-Undang Kedokteran Indonesia yang menghasilkan peraturan kementerian, "kampus-kampus semakin menarik dana [semester] kepada para retaker, alih-alih bimbingan kompetensi." Ia bilang bahwa para kolega yang bernasib retaker "susah bikin pengaduan karena kampus melarang kami bicara."
"Kalau enggak nurut," tambah Ichsan, "kami distop bisa ikut ujian kompetensi dan di-drop out bulan Agustus [tahun ini]."
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam