Kemenkes bersama Kemenristekdikti sudah sepakat untuk mengendalikan lulusan dokter pada Fakultas Kedokteran yang ada saat ini dengan cara memberlakukan sistem kuota.
Ujian masuk Tokyo Medical University dicurangi agar jumlah mahasiswi perempuan bisa ditekan sesedikit mungkin. Diskriminasi sistematis (dan kultural) berlanjut hingga ke tempat kerja.
Calon mahasiswa berprestasi dari kalangan tidak mampu jangan khawatir melihat besarnya biaya pendidikan kedokteran. Dengan berlakunya UKT, mahasiswa tidak mampu di perguruan tinggi negeri tidak perlu membayar uang semester.
Penelitian terbaru menemukan bahwa mahasiswa kedokteran memiliki risiko tinggi terkena depresi. Pasalnya, menurut studi tersebut, sekolah medis memang dikenal cukup menekan dan kompetitif.
Biaya kedokteran terus melambung tinggi dan tidak terkendali. Si miskin pun harus mengubur mimpinya jika ingin menjadi dokter. Padahal, Indonesia harus mencetak banyak dokter yang berkualitas di berbagai penjuru negeri. Apa sebenarnya yang terjadi?