tirto.id - Meski merupakan tenaga kesehatan profesional, dokter justru memiliki potensi jauh lebih tinggi mengalami depresi dibandingkan orang kebanyakan. Menurut sebuah analisis baru, risiko tinggi tersebut hadir bahkan sebelum mereka menjadi dokter, yakni jauh ke belakang ketika mereka masih menjadi mahasiswa kedokteran.
Dalam penelitian baru yang diterbitkan dalam Journal of American Medical Association, para peneliti menganalisis hampir 200 studi dari 129.000 mahasiswa kedokteran di 47 negara. Mereka menemukan bahwa 27% dari mahasiswa kedokteran mengalami depresi atau gejala serupa. Sementara itu, 11% mahasiswa dilaporkan memiliki pikiran untuk bunuh diri selama di sekolah kedokteran.
"Mahasiswa kedokteran memiliki dua sampai lima kali lebih kemungkinan untuk mengalami depresi dibandingkan dengan populasi umum. Prevalensi depresi mereka berkisar antara 9% - 56%," demikian hasil penelitian seperti yang dilansir dari TIME.
Meskipun angka-angka itu mengkhawatirkan, ada sejumlah mahasiswa kedokteran yang mencari perawatan melalui penyedia layanan kesehatan. "Hanya 16% dari mahasiswa kedokteran yang dinyatakan positif [depresi] benar-benar mau menemui seseorang," kata penulis studi Dr Douglas Mata, residen patologi di Brigham and Women's Hospital. "Ini semacam paradoks, mengingat bahwa mereka-lah yang seharusnya mengenali tanda-tanda [depresi] lebih baik dari siapa pun."
Tahun lalu, Mata dan timnya menemukan tingkat depresi yang sama tingginya yakni 29%, di antara para dokter residen, dokter baru yang berlatih di rumah sakit untuk pendidikan kedokteran pascasarjana mereka setelah sekolah medis.
Dan menurut data terbaru, mahasiswa kedokteran tersebut mengalami depresi pada masa-masa awal tahun pendidikan, saat mereka berada di kelas, dan tahun-tahun terakhir pendidikan mereka yakni ketika berlatih di rumah sakit.
Sekolah medis memang terlihat cukup menantang kompetitif, membutuhkan waktu belajar dan berlatih selama berjam-jam bahkan tak jarang sampai membuat mahasiswa tetap terjaga. Faktor-faktor lain rupanya ikut berkontribusi terhadap rasio depresi tinggi yang dimili dokter, di antaranya stigma terhadap upaya mereka mencari perawatan kesehatan mental dan waktu yang menjadi kendala untuk melakukannya.
Akan tetapi, tentu saja, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk membandingkan mahasiswa kedokteran dengan mahasiswa lain di lembaga pendidikan yang juga menekan, seperti sekolah hukum atau sekolah bisnis. Sebabnya, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa mereka juga cenderung memiliki tingkat depresi tinggi. "Mungkin ada sesuatu tentang stres pada mahasiswa yang meningkatkan risikonya sehingga tidak sepenuhnya spesifik untuk kedokteran," kata Mata.
Sayangnya, meskipun, masalahnya adalah lebih dari sekedar skala nasional. "Kita cenderung berpikir AS memiliki sistem pelatihan dokter yang lebih tak kenal ampun dibandingkan beberapa negara lain. Namun kami benar-benar tidak melihat perbedaan besar antara AS dan semua negara-negara lain bila dikelompokkan secara keseluruhan," kata Mata. "Ini adalah masalah seluruh dunia."
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari