Menuju konten utama

"Biaya Pendidikan Kedokteran Seperti Sudah Tidak Ada Remnya"

Biaya kedokteran terus melambung tinggi dan tidak terkendali. Si miskin pun harus mengubur mimpinya jika ingin menjadi dokter. Padahal, Indonesia harus mencetak banyak dokter yang berkualitas di berbagai penjuru negeri. Apa sebenarnya yang terjadi?

Kepala Data PB IDI, Andi Khomeini Takdir Haruni. Doc. Pribadi

tirto.id - Pada Agustus lalu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) membuat petisi yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dan Badan Legislasi DPR-RI. Mahalnya biaya pendidikan kedokteran hingga mencapai Rp 500 juta sudah dalam tahap memprihatinkan. Kuliah kedokteran dianggap hanya untuk kalangan berduit.

Kepala Badan Data dan Informasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Andi Khomeini Takdir Haruni mengatakan, mahalnya pendidikan kedokteran seolah tak bisa lagi dibendung. Regulasi soal biaya tak ada, sehingga muncul tudingan bahwa jurusan kedokteran di universitas dikomersialisasi.

“Karena dokter itu orang yang semestinya dekat dengan rakyat, dekat dengan masyarakat kalangan mana saja. Seharusnya dia tak boleh menjadi kalangan yang elite,” ujar Andi kepada tirto.id, pada Senin (10/10/2016).

Berikut petikan wawancara Arbi Soemandoyo dari tirto.id dengan Andi Khomeini Takdir Haruni tentang mahalnya biaya pendidikan kedokteran:

Apa penyebab tingginya biaya pendidikan kedokteran di Indonesia?

Jadi begini, berdasarkan kapasitas saya di Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) di bagian data dan informasi, banyak teman-teman yang kemarin juga menanyakan (mahalnya biaya pendidikan). Sampai IDI pernah mengusulkan revisi Undang-Undang Pendidikan Kedokteran. Salah satu alasan, karena begitu mahalnya biaya pendidikan kedokteran seperti sudah tidak ada remnya lagi.

Memang pendidikan kedokteran bukan pendidikan murah. Pasti mahal karena bahan yang digunakan, sarana dan prasarana yang digunakan selama pendidikan begitu banyak, begitu beragam. Mulai dari alat-alat medis, banyak yang sekali pakai. Jadi biayanya tinggi karena memang berkaitan dengan manusia. Jadi kita juga tidak ingin kualitas dokter itu rendah.

Sebetulnya biaya tinggi itu bisa diterima. Tapi sebenarnya ada masalah, karena kemudian orang-orang yang tidak punya tidak bisa mengaksesnya. Tidak ada plafon batasannya sampai mana. Berapa mahal sih biaya bakal dipatok? Ini dari perspektif para senior dan pakar pendidikan ya.

Bagaimana kualitas fakultas kedokteran yang sudah ada?

Fakultas kedokteran (FK) ada tiga tipe. Kita punya 83 FK di seluruh Indonesia. Sebanyak 75 FK yang sudah menerima mahasiswa dan delapan yang masih baru. Dari 75 FK yang ada, sebanyak 17 FK akreditasinya A. Sisanya berebut diakreditasi B dan C.

Soal akreditasi ini sebetulnya menjadi petanda bahwa kita gagal meng-upgrade mereka. Banyak FK yang dibuka terkesan buru-buru. Kadang langsung terima ratusan mahasiswa. Padahal kapasitas yang dibolehkan oleh Konsil untuk awal mungkin 50-an.

Di situ kemudian, banyak penerimaan mahasiswa yang biayanya mencapai ratusan juta. Di Jakarta mungkin sudah ada yang Rp500 juta sampai Rp600 juta, meskipun kami tidak melihat bukti pembayaran sahihnya, tetapi itu menjadi rahasia umum.

Apa poin pentingnya?

Jadi sebenarnya, pendidikan kedokteran tidak murah tetapi kita tidak punya batasan.

Artinya pemerintah tidak mengatur batasan biaya pendidikan kedokteran?

Itu belum ada regulasinya. Dan dalam perspektif kami, sebaiknya harus diatur supaya tidak kemudian orang berlomba-lomba menjual kursi kedokteran. Itu tidak boleh. Perspektif dokter-dokter yang senior justru khawatir, kenapa kok angkanya ada yang Rp200 juta bahkan sampai Rp400 juta. Mungkin kalau ditelusuri per fakultas, ada alasan menerapkan kurikulum seperti ini dan kemudian dibebankan ke mahasiswa. Tapi kalau tidak di rem, nantinya banyak anak berbakat dan berpotensi menjadi dokter handal tidak bisa masuk.

Seperti kasus Suharti di Palu?

Di Palu biayanya sekitar Rp200 jutaan. Apalagi di Jakarta. Kalau orang tuanya Pegawai Negeri Sipil (PNS), bisa dibayangkan berapa gaji ayah dan ibunya? Sudah habis hanya untuk satu anak.

Maka wajar jika ada yang menuding pendidikan kedokteran hanya untuk orang-orang berduit?

Itu image yang kemudian terbentuk di masyarakat. Meskipun memang sebagian universitas masih membuka jalur (buat mahasiswa miskin). Atau mungkin FK negeri, sebagian kursinya masih diperuntukan untuk dijangkau oleh masyarakat.

Apakah mahalnya biaya pendidikan kedokteran dipengaruhi otonomi Perguruan Tinggi Negeri?

Ada sumbangan gedung dan segala macam ya. Itu sebetulnya lebih kepada dapur masing-masing perguruan tinggi negeri. Saya tidak berhak mengomentari.

Yang jelas dari dokter-dokter senior dan orang-orang yang konsen terhadap pendidikan kedokteran, menganggap kita sekarang terlalu jauh dari jalur. Sebab dokter itu orang yang semestinya dekat dengan rakyat, dekat dengan masyarakat kalangan mana saja. Sebenarnya harus mencegah dia menjadi kalangan yang elite karena datang dari kalangan elite.

Bayangkan kalau kurikulumnya sudah ratusan juta dari awal, bahkan miliaran sampai kelar. Itu tentu jarang yang bisa mengaksesnya. Jadi jomplang kan? Nanti dia bekerja di mana setelah selesai? Kemudian ketika dia harus berhadapan dengan masyarakat, kan bisa jadi jomplang. Kita juga supaya kondisi seperti itu tidak semakin jauh.

Artinya IDI melihat ada komersialisasi Fakultas Kedokteran?

Mungkin lebih tepatnya itu akibat. Mungkin saat ini belum ya. Baru gejala-gejala awal dan kita tidak ingin menjadi lebih parah.

Apakah IDI juga melihat mahalnya biaya pendidikan kedokteran tidak sebanding dengan gaji dokter?

Sudah. Itu juga menjadi salah satu pertimbangan kita. Bayangkan, mereka kuliah Rp500 juta, katakanlah mahasiswa yang efisien dari awal kuliah sampai selesai. Lalu pada saat mereka selesai, ada kewajiban mengabdi di daerah terpencil dan dibayar Rp1,2 juta. Itu buruh sekalipun tidak akan bisa hidup. Itu rendah.

Saya sampai hari ini masih mendengar laporan teman di daerah-daerah, (gaji) habis dan tidak ada yang bisa ditabung. Padahal mereka sebenarnya sudah bayar mahal banget untuk kuliah. Lalu ketika selesai, mereka dianggapnya mengabdi. Oke pengabdian, lalu makan apa? Masa mereka terjun ke daerah pun masih minta sama orang tua? Itu tidak logis dan tidak waras. Kondisi seperti ini harus dibenahi. Sekarang sudah sampai di angka Rp3 juta atau Rp4 juta. Tapi biaya hidup juga meningkat. Jadi sebetulnya masih sekedar impas.

Apakah IDI melihat mahalnya biaya pendidikan berdampak pada mahalnya biaya kesehatan?

Itu berimbang ya. Setelah anak-anak kedokteran yang baru kelar bertugas di daerah, ada yang tetap bertahan dengan idealismenya meskipun hidupnya pas-pasan. Masih ada dan masih banyak. Tetapi mereka yang sudah merasa jengah dipermainkan seperti itu, akan kembali ke kota dan mereka akan praktik mandiri. Di praktek mandiri ini, tentu mereka akan berpikir misalnya utang budi ke orang tua atau yang membiayai.

Pada saat praktik mandiri itulah, mereka kemudian kerja sampai malam karena ingin membahagiakan orang yang membiayainya. Itu wajar sih. Tetapi di sisi lain, masyarakat jadi terbebani kan? Cuma sekarang sudah ada bantuan dari BPJS dan sudah ada perbaikan.

Bagaimana respons pemerintah atas dorongan IDI?

Sepanjang yang saya baca, pemerintah sejak beberapa tahun lalu, ada kepedulian soal biaya pendidikan kedokteran. Ada beasiswa dan segala macam, tetapi belum semua. Tujuan sebenarnya adalah menekan biaya pendidikan dokter yang mendasar. Ini harus dibereskan. Sebab kalau tidak, kita bisa berbuat zalim dengan anak-anak (dokter-dokter muda). Sebenarnya sudah ada upaya dari pemerintah dan itu perlu didorong lagi.

Baca juga artikel terkait BIAYA KULIAH KEDOKTERAN atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Mild report
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti