tirto.id - Kemenristek dan Dikti, pada akhir Maret lalu, telah mengizinkan pembukaan delapan Fakultas Kedoteran (FK) baru di lima wilayah, yaitu Surabaya, Makassar, Ternate, Malang dan Semarang. Di Surabaya, FK ada di Universitas Surabaya, Universitas Ciputra Surabaya, dan Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Adapun dua lainnya ada di Makassar, yaitu Universitas Bosowa dan Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar. Sementara tiga FK lainnya di Universitas Khairun Ternate, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan Universitas Wahid Hasyim Semarang.
Dari delapan FK baru itu, lima di antaranya tak direkomendasikan Tim Evaluasi Pengusulan Program Studi Kedokteran yang dibentuk Kemenristek dan Dikti, bahkan satu FK tak diperiksa.
Berdasarkan data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), terdapat 75 FK di seluruh Indonesia. Setelah ada pemberian izin bagi delapan FK baru tadi, maka jumlahnya mencapai 83 FK. Adapun akreditasi A sebanyak 17 FK, akreditasi B sebanyak 29 FK dan akreditasi C sebanyak 37 FK. Artinya, pendidikan kedokteran di Indonesia masih didominasi universitas dengan akreditasi C sebanyak 45 persen.
Pembina Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Indah Suksmaningsih mempertanyakan pembukaan FK baru tersebut. Pasalnya, FK yang sudah ada saja belum semuanya memiliki sarana dan prasarana, sumber daya manusia dan akreditas kelulusan kompetensi yang rendah. "Harusnya pemerintah mengevaluasi hasil rekomendasi tim KKI seperti FK yang tidak memiliki tempat praktik. Yang seperti ini perlu dievaluasi, bukan terus memberikan izin," kata Indah kepada tirto.id, Senin (10/10/2016).
Penolakan atau peninjauan kembali pembukaan FK tidak hanya datang dari YLKI, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), tetapi juga Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia. Dalam laman change.org yang telah ditandatangani 4.928 orang, Sekretaris Jenderal Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia Yoga Mirza Pratama mengatakan, keran pembukaan FK baru harus ditutup.
Menurutnya, hasil akreditasi dan kelulusan Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) masih kurang memuaskan melihat angka kelulusan beberapa Fakultas Kedokteran yang masih di bawah 50 persen. Banyaknya pendirian FK tanpa sistem seleksi yang ketat, justru menghasilkan fakultas kedokteran dengan mutu yang kurang baik, namun menarik dana yang tidak sedikit dari mahasiswa.
Selain itu, lemahnya pengawasan, pembinaan dan pengelolaan dari Kemenristek dan Dikti menyebabkan kurang progresifnya peningkatan mutu dari FK yang sudah ada. Hal ini terlihat dari peningkatan akreditasi yang tidak signifikan dari FK-FK yang sudah berdiri. Padahal, tugas utama Kemenristekdikti adalah senantiasa mengembangkan mutu pendidikan, tidak hanya menambah kuantitas tanpa diiringi pengembangan mutu.
Pendidikan Kedokteran adalah pendidikan yang sangat krusial demi kesehatan Indonesia yang lebih baik. Keselamatan pasien harus menjadi fokus utama dari pencetakan dokter-dokter. Dengan pengembangan mutu pendidikan kedokteran yang baik, maka keselamatan pasien pun akan terjamin.
"Penjaminan mutu merupakan dasar utama bagi proses pendidikan program kedokteran, sehingga harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah dan pemangku kepentingan terkait. Proses penjaminan mutu harus dimulai dari hulu (pembukaan fakultas kedokteran) sampai ke hilir (Lulusan fakultas kedokteran) dengan konsisten," kata Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Ilham Oetama Marsis dalam keterangan resminya.
Menurut Ilham, penjaminan mutu sangat diperlukan agar masyarakat tidak dirugikan dalam memilih fakultas kedokteran yang baik dan sesuai standar yang berlaku, serta lulusan FK sebagai dokter yang profesional dan kompeten. Fakultas Kedokteran yang ada masih memerlukan pembinaan dari pemerintah dan pemangku kepentingan karena masih bervariasinya akreditasi dan angka kelulusan UKMPPD yang cukup lebar.
Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Bambang Supriyatno mengatakan, hasil evaluasi pelaksanaan standar pendidikan kedokteran pada beberapa FK di daerah dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan banyak sekali proses belajar mengajar yang tidak berjalan lancar. Hal ini diakibatkan tenaga pengajar atau dosen, serta fasilitas pendidikan yang sangat minim.
Dengan demikian, hasil akhir sudah dapat diramalkan bahwa kualitas dokter yang dihasilkan perlu dipertanyakan. Fakta ini terindikasi dari tingkat kelulusan uji kompetensi profesi dokter secara naisonal yang kisarannya 20 persen – 97 persen. Dari delapan FK baru, sebagian besar tidak memenuhi persyaratan bila ditinjau dari kesiapan dan jumlah tenaga pengajar, sarana dan prasarana, fasilitas pendidikan atau dukungan pendanaan.
Ikatan Dokter Indonesia mencatat, dari 75 universitas di Indonesia yang menyediakan jurusan pendidikan kedokteran, hanya 17 kampus yang menyandang akreditasi A, sedangkan 28 kampus menyandang akreditasi B. Sisanya masih memiliki akreditasi C.
Peningkatan mutu pendidikan bukan hanya tanggung jawab universitas, tetapi juga pemerintah dalam hal ini Kemenristek dan Dikti. Tanggung jawab tersebut bisa berupa dukungan bagi peningkatan sumber daya manusia, dukungan dana dan bantuan peralatan praktik. Memang universitas negeri memiliki anggaran tetap bantuan kementerian, sementara universitas swasta tidak ada. Jika pun ada, tidak besar.
"Akreditas C kendalanya tidak ada dukungan dari pemerintah. Padahal untuk meningkatkan menjadi akreditas B, diperlukan SDM dan peralatan. Rata-rata seperti itu," kata Wakil Rektor III Universitas Batam Dahlan Gunawan saat dihubungi tirto.id, Minggu (9/10/2016).
Oleh karena itu, perlu pembinaan fakultas kedokteran akreditas C oleh Kemenristek dan Dikti. Harapannya dalam dua tahun ke depan, FK akreditasi C atau angka kelulusan rendah menjadi akreditasi B atau C gemuk dengan angka kelulusan yang lebih baik.
Imbauan Kepada Orang Tua
Profesi dokter memang merupakan pekerjaan yang mulia dan begitu dibanggakan oleh para orang tua. Namun, dalam memilih FK, pihak KKI mengimbau orang tua untuk jeli melihat beberapa hal. Pertama akreditasi dan kedua angka kelulusan UKMPPD.
Jangan lupa bahwa sekarang sudah ada Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) yang merupakan titik terakhir dari proses pendidikan kedokteran. Kalau proses itu tidak baik, tentu hasil akhirnya juga tidak baik. Jika memilih FK "abal-abal", maka berisiko tidak akan lulus menjadi dokter.
Bayangkan, jika angka kelulusan sebuah FK hanya 30 persen, maka 70 persen dari mahasiwanya tidak lulus UKMPPD. "Jadi orang tua harus melihat ini. Jangan asal anak saya daftar di kedokteran tetapi tidak melihat akreditasi atau angka kelulusan. Juga dosennya bagaimana, sarana dan prasarana fakultas. Jangan berprinsip yang penting 5-6 tahun lulus menjadi dokter. Tidak bisa begitu karena lulusan dokter harus bisa menangani pasien. Keselamatan pasien itu faktor utama," kata Bambang kepada tirto.id, Jumat (7/10/2016).
Memang di satu sisi Indonesia masih memerlukan banyak dokter untuk mengimbangi rasio jumlah penduduk. "Namun tidak berarti kita harus membangun sebanyak-banyaknya FK tanpa memperhatikan kualitas," kata Bambang.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti