tirto.id - Suharsi Valentine, siswi alumni SMA Negeri 1 Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pada Juni lalu, menjadi pemberitaan. Lulus Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) ternyata tak menjamin dia mengenyam pendidikan di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Tadulako (Untad) Palu.
Suharsi tak mampu membayar biaya masuk di FK Untad. Maklum saja, agar resmi berstatus sebagai mahasiswi FK Untad, Suharsi harus membayar biaya program studi pendidikan kedokteran sebesar Rp275 juta. Rinciannya, Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebesar Rp8,5 juta, Sumbangan Pendidikan Mutu Akademik (SPMA) jalur SNMPTN sebesar Rp40 juta dan biaya jalur SNMPTN sebesar Rp226,5 juta.
Suharsi mendapat simpati dari berbagai kalangan. Melalui laman situs donasi kitabisa.com, dilakukan penggalangan dana oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Tandolako. Sayangnya, hingga batas akhir, sumbangan untuk Suharsi hanya terkumpul 1 persen dari total dana Rp275 juta, yakni Rp3,3 juta.
Mahalnya Swasta dan Negeri
Apa yang dialami Suharsih juga dialami banyak anak Indonesia lainnya. Banyak anak-anak yang mumpuni secara akademik dari keluarga miskin akhirnya mengubur dalam-dalam mimpinya karena tak punya biaya. Biaya pendidikan untuk menjadi seorang dokter tidak murah, bahkan bisa mencapai angka ratusan juta rupiah. Baik swasta maupun negeri, semua membutuhkan biaya yang tidak kecil.
Universitas Indonesia misalnya, uang pangkal masuk Fakultas Kedokteran (FK) dan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) untuk tahun ajaran 2016 sebesar Rp25 juta. Sementara besaran biaya per semester yang harus dibayarkan Rp7,5 juta.
Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, biaya pendidikan FK dan FKG sebesar Rp 21juta per semester. Sejak tahun ajaran 2013, Unsoed telah menerapkan sistem pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT). Unsoed juga masuk dalam universitas favorit jurusan kedokteran nomor dua selain Universitas Indonesia. Pada tahun 2012, Unsoed meluluskan sebanyak 87 persen dokter, hanya terpaut 3 persen dari FK UI.
Sementara Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, biaya pendidikan di FK bagi mahasiswa jalur SMPTN dibagi menjadi enam kategori, yakni Uang Kuliah Tunggal I Rp500 ribu, UKT II Rp1 juta, UKT III Rp7,5 juta, UKT IV Rp15 juta, UKT V Rp20 juta, sedangkan UKT VI diperuntukan buat peserta bidik misi Rp2,4 juta.
Sementara untuk jurusan FKG, uang kuliah tunggal yang harus dibayarkan sebagai berikut: UKT I Rp500 ribu, UKT II Rp1 juta, UKT III Rp6 juta, UKT IV Rp12,5 juta, UKT V Rp17,5 juta dan UKT VI untuk perserta bidik misi Rp2,4 juta.
Di universitas swasta, biayanya lebih mahal lagi. Misalnya Universitas Trisakti Jakarta. Untuk FK berkisar Rp548,5 juta sampai Rp598 juta, sedangkan FKG sekitar Rp448,5 sampai Rp513,5 juta. Biaya FK dan FKG ini paling mahal dibandingkan jurusan lainnya.
Contoh lainnya Universitas YARSI (Yayasan Rumah Sakit Islam Indonesia) . Seorang calon mahasiswa kedokteran harus mengeluarkan uang Rp450 juta. Itu belum termasuk iuran per semester Rp14 juta. Mahalnya biaya di Universitas YARSI bukan tanpa sebab. Akreditasi menjadi salah satu alasan mahalnya biaya pendidikan kedokteran di kampus tersebut.
Jika di Universitas Trisakti dan YARSI biaya kuliah kedokteran mencapai setengah miliar rupiah, di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, untuk tahun ajaran 2016/2017, angkanya hanya setengahnya. Biaya kuliah di FK Atma Jaya dibagi dalam tiga kelompok, kelompok A dengan SPP Rp215 juta, kelompok B dengan SPP Rp236 juta dan kelompok C dengan SPP Rp252 juta. Biaya tersebut belum termasuk uang kuliah paket dan uang kuliah per semester sebesar Rp21 juta. Ujung-ujungnya, biaya kuliah pun sama menghabiskan hampir setengah miliar rupiah.
Revisi UU Pendidikan Kedokteran
Mahalnya biaya pendidikan kedokteran memang bukan tanpa alasan. Salah satu penyebab, tak lain aturan di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (UUPK), yakni pada pasal pembiayaan pendidikan. Pada UUPK tersirat mahalnya biaya pendidikan, sebab tidak ada batasan besaran biaya pendidikan.
Oleh sebab itu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada Agustus lalu membuat petisi kepada Presiden Joko Widodo dan Badan Legislasi DPR. IDI meminta Presiden Jokowi melakukan amandemen UUPK yang dituding menjadi sumber mahalnya kuliah kedokteran.
Kepala Badan Data dan Informasi PB IDI, Andi Khomeini Takdir Haruni mengatakan, masyarakat mulai mengeluhkan pendidikan kedokteran yang semakin mahal. Wajar jika kuliah kedokteran kemudian sering dibilang hanya diperuntukan bagi kalangan orang-orang berduit. “Kuliah di FK memiliki image makin mahal,” katanya kepada tirto.id, pada Senin (10/10) .
Diapun mengatakan, wajar jika masyarakat makin merasa berjarak dengan profesi dokter. Padahal menurutnya, profesi dokter seharusnya bisa dekat dengan berbagai kalangan. “Yang masyarakat alami sekarang seperti itu, pendidikan kedokteran hanya untuk kaum elite,” ujarnya.
Sebenarnya, polemik mahalnya biaya pendidikan kedokteran dan masalah lulusan kedokteran pernah mencuat pada 2010. Saat itu, Komisi IX DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan pihak terkait untuk membahas masalah pendidikan kedokteran.
Rapat diikuti Dirjen Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kementerian Pendidikan Nasional, Kepala Badan PPSDM Kementerian Kesehatan, Ketua Umum Kolegium Kedokteran Indonesia, Ketua Konsil Kedokteran Indonesia, Dekan Fakultas Kedokteran UI dan Majelis Pertimbangan Kedokteran Swasta Seluruh Indonesia.
Pada RDP itu, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) menyinggung soal mahalnya biaya pendidikan kedokteran. KKI menyarankan pemerintah dan kolegium kedokteran serta institusi terkait dengan pendidikan kedokteran, dapat mengupayakan penurunan biaya pendidikan pada fakultas kedokteran. KKI juga mendorong Dirjen Dikti dan institusi kedokteran agar membuka kesempatan bagi para siswa dan siswi yang mampu secara akademik, namun memiliki keterbatasan biaya menempuh pendidikan kedokteran.
“Membuka seluas-luasnya bagi putra-putri daerah yang mempunyai minat dan kemampuan, namun mempunyai keterbatasan ekonomi untuk dapat mengikuti program –program pendidikan di Fakultas Kedokteran,” begitu kutipan pendapat Konsil Kedokteran.
Menurut data yang dimiliki KKI, per 9 Mei 2016, jumlah dokter di Indonesia mencapai 110.720 orang. Artinya, satu dokter melayani 2.270 penduduk. Pemerintah sendiri telah menetapkan beban kerja ideal dokter, yakni satu dokter untuk melayani 2.500 penduduk. Rasio tersebut dihitung berdasarkan jumlah penduduk dengan asumsi sebanyak 20 persen sakit, luas wilayah, beban kerja dan waktu layanan
Sementara Kemristek dan Dikti menargetkan rasio dokter Indonesia naik menjadi satu dokter untuk 1.100 warga. Maklum, sesuai data WHO, pada tahun 2010, rasio dokter di Malaysia mencapai satu dokter untuk 835 penduduk, sementara Singapura (2013), satu dokter untuk 513 penduduk.
Nah, jika Indonesia berniat mengejar ketinggalan di banding negara-negara tetangga, tentunya biaya pendidikan menjadi seorang dokter haruslah bisa dijangkau oleh banyak keluarga di negeri ini. Peluang harus dibuka seluas-luasnya, tidak hanya kepada si kaya, tetapi juga si miskin.
========
Tanggapan:
Seorang pembaca menanggapi artikel ini melalui email resmi redaksi Tirto. Artikel ini tayang pada 2016, tetapi kembali dibaca lagi sesudah redaksi Tirto merilis laporan terbaru pada 2 Juli 2018 mengenai karut marut sistem pendidikan kedokteran Indonesia, terutama problem yang menimpa para retaker.
Dalam tanggapan tersebut, pembaca bernama Khafidlotun Muslikhah menyoroti alinea dalam artikel ini: "Universitas Indonesia misalnya, uang pangkal masuk Fakultas Kedokteran (FK) dan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) untuk tahun ajaran 2016 sebesar Rp25 juta. Sementara besaran biaya per semester yang harus dibayarkan Rp7,5 juta." (Paragraf 5).
Ia mengoreksi alinea itu dengan menyatakan: Berdasarkan SK rektor, untuk semua mahasiswa UI, termasuk fakultas kedokteran reguler, menerapkan apa yang disebut "skema pembiayan Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan," yang tidak harus saklek membayar seperti yang dituliskan di artikel tersebut.
Lalu, ia mencantumkan tautan mengenai biaya kuliah di UI pada 2018.
"Jadi, biaya kuliah di UI tidak semahal yang (ditulis) dalam artikel, melainkan bisa disesuaikan dengan kondisi ekonomi mahasiswa yang diterima," tulis si pembaca.
Jawaban redaksi:
Ada salah pembacaan dari tanggapan tersebut. Laporan itu, seperti yang kami sebut di atas, tayang pada 12 Oktober 2016. Sementara pembaca menyodorkan data biaya kuliah tahun 2018.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti