tirto.id - "Yang sampean akan tulis adalah masa depan," kata Lulut Wahyudi kepada reporter Tirto.
Lulut Wahyudi adalah Direktur Kustom Culture Festival, disingkat KustomFest. Kecintaan terhadap dunia kustom dan modifikasi yang telah digeluti selama 15 tahun terakhir jadi alasan mengapa ia mau repot-repot merancang acara tahunan itu. Kini KustomFest telah masuk tahun ke-7, dan jadi kontes kustom terbesar di seantero Indonesia.
Sepanjang pengalamannya mencicipi asam garam dunia kustom, Lulut punya satu kesimpulan: bahwa pemerintah dan legislatif tidak pernah berpihak padanya dan dunia kustom secara umum. Ia percaya dunia kustom dapat memberikan kontribusi besar bagi ekonomi Indonesia, tapi pemerintah menghiraukan.
Beberapa kali pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perindustrian (Kemenperin), mengadakan survei untuk melihat seberapa besar peluang bisnis kustom. Namun, peluangnya tidak pernah beranjak lebih jauh. Menurut Lulut, Kemenperin ragu dengan kapasitas bisnis kustom karena satu alasan: mereka tidak punya pabrik.
Kebanyakan pelaku kustom memang berskala kecil. Kreativitas mereka dituangkan di bengkel-bengkel yang tidak bisa dibilang besar. Pengerjaannya pun masih mengandalkan alat-alat sederhana. Namun kalau hanya itu patokannya, menurut Lulut, pemerintah salah besar.
"Itu 'kan konyol," kata Lulut. "Kalau semua harus mass product, habis sudah," lanjutnya. Ia kemudian menjelaskan bahwa banyak komponen kendaraan kecil seperti baut, yang harusnya bisa dibuat sendiri di sini, masih diimpor dari negara Asia lain seperti Thailand dan China.
Menurutnya atas alasan yang sama, bahwa bisnis kustom tidak punya prospek yang baik, maka regulasi yang dibuat pun menjadi tidak jelas. Contoh kecil soal knalpot, yang sudah diatur dalam Undang-undang 22 Tahun 2009 soal Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Banyak builder, istilah yang merujuk pada pembuat kendaraan kustom, yang bingung harus melakukan uji desibel ke mana agar produknya diakui.
"Biar sesuai spesifikasi saya harus ngetes knalpot di mana?" katanya.
Bila tidak ada perubahan, Lulut pesimistis bisnis otomotif di Indonesia bisa berkembang. Padahal, katanya, sejarah membuktikan bahwa ada merek terkemuka yang lahir justru dari kustom.
Menurut Lulut, cikal bakal merek sepeda motor paling laris di Indonesia yang menguasai lebih dari 60 persen pangsa pasar, Honda, adalah kustom. Soichiro Honda, pendiri Honda Motor, membuat motor dari sepeda yang ditempeli mesin pembakaran dalam. Ini adalah ciri khas seorang builder, katanya.
"Jadi jangan apatis dulu," ujar Lulut.
Regulasi Tidak Mendukung
Buruknya regulasi di Indonesia terkait motor modifikasi/kustom tercermin dari pasal-pasal yang terdapat pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (UU LLAJ) dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2012 tentang Kendaraan.
Dalam PP 55/2012 dijelaskan bahwa modifikator/builder tidak boleh melakukan perubahan pada kendaraan sebelum mendapatkan izin dari Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) yang ada di Indonesia. Jadi misalkan seseorang ingin mengutak-atik CB100 menjadi cafe racer, secara legal-formal sebetulnya itu baru bisa diperbolehkan jika sudah ada izin Astra Honda Motor (AHM) selaku ATPM motor Honda di Indonesia.
Dunia kustom yang dinamis, katanya, akan sulit berkembang jika aturan ini diberlakukan dengan konsisten.
"Mana mau ATPM mengizinkan. Saya ini juri Honda Modif Contest (HMC) tiga tahun, mereka tidak mau kasih izin, mereka punya standar sendiri," terangnya.
Pada UU LLAJ, standar agar sepeda motor legal diatur dari mulai knalpot hingga kesesuaian daya mesin penggerak terhadap berat kendaraan.
Motor chopper baru milik Presiden Jokowi sudah pasti tidak sesuai dengan ini karena motor buatan Elders Garage itu hanya dilengkapi satu spion, tanpa lampu rem belakang, dan plat nomor. Knalpotnya juga sudah berjenis racing. Elders mengaku belum melakukan uji kebisingan knalpot. Motor itu juga sudah berubah signifikan dari model dasarnya: Royal Enfield Bullet 350 cc.
Berdasarkan UU LLAJ, bila kendaraan berubah bentuk, maka harus dilakukan ada uji tipe. Namun kembali lagi, Lulut menganggap Indonesia belum memiliki standardisasi yang jelas soal itu.
Belum Diakomodir
Apa yang dikatakan Lulut terkonfirmasi dari pernyataan Sekretaris Jenderal Kemenperin, Haris Munandar. Ia mengatakan sejauh ini tidak ada rencana untuk menjadikan kustom sebagai industri. Alasannya persis seperti yang dikatakan Lulut: bahwa pelaku usaha kustom tidak bisa membuat massal produknya.
"Selama ini kalau pesan part kustom itu sesuai pesanan, 'kan?" katanya kepada Tirto, Senin (22/1).
Industri diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Dengan dikategorikan sebagai industri dan tunduk pada aturan ini, maka pelakunya akan punya hak dan kewajiban yang lebih jelas, misalnya difasilitasi oleh pemerintah agar bisa terus berkembang.
Selain alasan ketidakmampuan memproduksi massal, Haris mengatakan persoalan tren juga turut jadi pertimbangan. "Nanti gimana kalau nggak laku lagi?" katanya.
Alasan lainnya adalah bahwa produk yang dihasilkan cenderung rawan masalah. Modifikator/builder di satu sisi tidak bisa membuat produk sesuai standar karena memang belum ada aturan yang pasti soal itu, dan di sisi lain bisa saja dipidana karena melakukan modifikasi tanpa seizin ATPM.
"Jadi memang kalau ini [bisnis kustom] sudah punya konsumen mungkin bisa. Tapi rasanya sekarang ini masih hanya hobi," katanya. "Sekarang ini rasanya belum, deh [untuk jadi industri]," tutup Haris.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino