Menuju konten utama

Mencari Akar Lahirnya "Kustom Kulture"

Kustom Kulture lahir di California Amerika Serikat (AS) di tengah-tengah anak muda galau yang sedang mencari jati diri.

Mencari Akar Lahirnya
Pengunjung mengamati sepeda motor modifikasi yang dipamerkan saat acara Kustom Kulture Festival (KUSTOMfeST) 2017 bertajuk 'No Boundaries' di Jogja Expo Centre, DI Yogyakarta, Minggu (8/10/2017). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

tirto.id - Ed "Big Daddy" Roth menggambar Rat Fink sebagai karakter anti-hero dari Mickey Mouse bikinan Walt Disney. Ketika Mickey digambarkan sebagai karakter yang lucu dan menggemaskan. Rat Fink adalah antitesisnya: perut yang besar, bermulut lebar dengan gigi tajam, mata bulat berwarna mewah, tubuh berwarna hijau—kadang abu-abu dan tidak jarang mengendarai motor atau mobil berbentuk aneh.

Selain Rat Fink, Roth—yang dikenal di komunitasnya sebagai seniman jenius—juga menciptakan banyak karakter abnormal lain dan menjualnya di pameran otomotif dengan mencetak karyanya di kaos. Roth kemudian dikenal sebagai representasi dari semua seni, bahkan hingga mode berpakaian dan gaya rambut orang-orang yang menciptakan mobil dan motor custom di California, Amerika Serikat (AS) dalam periode akhir 1950-an. Gelombang modifikasi kendaraan serta gaya mereka yang berkendara, kemudian dikenal dengan nama Kustom Kulture.

Roth tak terpisahkan dari keberadaan awal Kustom Kulture, bersama orang-orang semacam Von Dutch (Kenny Howard), Lyle Fisk, Dean Jeffries, dan Barris Bersaudara (Sam dan George). Roth dan kawan-kawannya adalah remaja-remaja California yang gemar dengan hot rods, term yang merujuk kepada mobil Amerika buatan tahun 1930-an yang dimodifikasi sedemikian rupa agar lebih cepat dan bertenaga besar.

Biasanya para builder--pembuat kendaraan kustom mengurangi bobot kendaraan dengan mencopot beberapa part body seperti roof, bumper, lampu fender, hingga windshield, mengganti ban standar dengan ban khusus, mengecat body dengan desain artistik seperti jilatan api, hingga “mengoprek” bagian mesin.

Baca juga:Warga Kota dan Anak Muda Lajang di Indonesia Paling Bahagia

Robert Williams, dalam buku Kustom Kulture (1993) menjelaskan kemunculan hot rods tidak terlepas dari apa yang terjadi di California selama Perang Dunia II. Keadaan PD II “memaksa” para ilmuwan dan engineering menciptakan teknologi-teknologi canggih.

Perusahaan seperti Douglas Aircraft misalnya, diminta untuk menyesuaikan produksi dengan kebutuhan perang--salah satu kreasi mereka adalah B-17 Flying Fortress, pesawat pengebom. Dalam industri dadakan itu, banyak anak-anak remaja California terserap sebagai buruh. Mereka memproduksi beragam barang yang bahkan dalam beberapa tahun sebelumnya belum pernah ada. Ketika perang berakhir, mereka jadi orang-orang dengan pengetahuan dan keahlian teknis tinggi yang mampu melakukan banyak hal.

“Dengan memanfaatkan keahlian yang didapat dari pabrik pertahanan, beberapa pekerja kemudian secara ekstensif memulai memodifikasi kendaraan lama mereka untuk membuat sesuatu yang baru dan berbeda. Hasilnya, dengan memanfaatkan kemampuan teknis yang bisa meningkatkan kecepatan, performa, dan handling kendaraan, apa yang mereka lakukan menandai dimulainya tren modifikasi ala hot rods,” kata Williams.

Bagi John DeWitt, dalam buku Cool Cars, High Art: The Rise of Kustom Kulture (2001) Kustom Kulture tidak bisa dimaknai sebagia kustomisasi kendaraan semata, meski memang pada awalnya demikian. Kustom Kulture lebih dari itu. Menurutnya, apa yang membedakan antara Kustom Kulture dengan semua “car culture” lain yang muncul ketika itu adalah gairah untuk “mengubah, merancang ulang, dan akhirnya, ‘menemukan kembali’ mobil standar, mengubahnya menjadi sesuatu yang unik dan ekspresif.”

DeWitt menekankan, Kustom Kulture jauh melampaui sekadar menempel kendaraan keluaran pabrik dengan beragam aksesori aftermarket yang dibuat massal.

Kustom Kulture bahkan lebih luas ketimbang persoalan bagaimana memodifikasi kendaraan. Ini adalah persoalan identitas dan aktualisasi diri. Dalam buku yang sama, DeWitt mengatakan bahwa Kustom Kulture adalah ekspresi sempurna dari identitas baru anak-anak muda yang tumbuh pasca Perang Dunia II, bahkan memberikan jalan bagi mereka yang ingin keluar dari “zona nyaman” kemapanan orang-orang dewasa. Kustom Kulture juga tentang cara berpakaian, bagaimana rambut ditata, hingga musik apa yang didengarkan.

Infografik Kustom Kulture

Gina Misiroglu dalam American Countercultures (2009) mengatakan bahwa Kustom Kulture dapat didefinisikan secara sederhana sebagai Do It Yourself (DIY), salah satu cara di antara banyak cara lain yang mendorong anak-anak muda Amerika di era pascaperang untuk berpikir di luar arus utama dan mengekspresikan diri mereka secara kreatif. Dalam konteks demikian, bisa dipahami mengapa tikus gila Rat Fink dan karya sejenis muncul dan bisa begitu populer. Bisa dipahami pula mengapa Kustom Kulture bisa identik dengan subkultur yang berbeda-beda, sebab ia tidak pernah jadi sesuatu yang kaku, malah sebaliknya: sangat fleksibel.

Ketika pertama kali muncul pada 1950-an, Kustom Kulture identik dengan greaser, subkultur anak-anak muda kelas pekerja, sebagian besar laki-laki, berkulit putih, dan punya minat yang tinggi pada hot rods dan sepeda motor (Jennifer Grayer Moore, Street Style in America: An Exploration, 2017). Karakteristik fisik yang paling penting dari greasers adalah gaya rambut yang menggunakan pomade atau jelly.

Pada 1960-an, Kustom Kulture jadi lebih identik dengan pembalap drag dan segala atribut yang melekat pada mereka. Sementara pada 1970-an ia identik dengan lowrider, mereka yang mengendarai mobil-mobil ceper yang dilengkapi dengan sistem hidrolik sehingga memungkinkan kendaraan naik turun sesuai keinginan, serta dicat dengan kelir warna warni.

Gaya anak muda di California dan Amerika pada waktu itu perlahan menyebar ke penjuru dunia, termasuk Indonesia. Hingga kini pilihan gaya hidup dalam konteks sebuah kendaraan.

Baca juga:Bahaya Depresi di Kalangan Anak Muda

Gito Rollies dan Yogyakarta

Aktuil, majalah musik terkemuka asal Bandung, pada salah satu edisi di awal 1970-an, menampilkan Gito Rollies—ketika masih muda dan berbahaya—berpose di atas moto Yamaha XS650 dengan modifikasi ala chopper--dengan ciri khas stang pendek dan shock depan panjang sehingga ketika dikendarai bikers harus mengangkat tangannya tinggi-tinggi untuk memegang stang. Bersama satu cover lagi yang menampilkan perempuan dengan Volkswagen (VW) Kodok, majalah ini jadi bukti bahwa Kustom Kulture sudah masuk ke Indonesia sejak lama. Pada 1970-an juga berbarengan dengan periode industri otomotif mulai berkembang di Indonesia.

Wira Bakti, pengelola bengkel custom Saint & Sinners Motorclothes (SSMC) yang terletak di Kemang, Jakarta Selatan, dalam artikel panjangnya di laman Lawless Jakarta, mengatakan bahwa Kustom Kulture di Indonesia adalah salah satu yang paling maju di wilayah Asia Tenggara.

“Perkembangannya dari masa ke masa cukup sehat untuk ukuran negara yang berlokasi ribuan kilometer dari negara asal muasal budaya modifikasi motor,” tulis Wira. Kustom Kulture masuk ketika toko buku mulai memasok buku-buku impor, meski dalam jumlah yang sangat terbatas.

Kustom Kulture mulai berkembang pesat di Indonesia pada akhir 1980-an sampai awal 1990-an. Ini ditandai dengan semakin banyaknya komunitas otomotif yang, seperti pada awal mulanya di California, AS menyelaraskan kendaraan dan atribut pengendaranya. Dalam periode itu, misalnya, muncul komunitas semacam Bikers Brotherhood MC di Bandung pada 1988, dan MMC Outsiders Nationz, juga lahir di Bandung pada 1988. Ada pula Blind Eagle yang lahir pada 1993 di Jakarta, serta Pemudis asal Surabaya, yang lahir pada 1982.

Meski semua punya ciri khas masing-masing, apa yang jadi benang merah antara klub ini dan Kustom Kulture adalah semangatnya yang ingin berbeda dengan kebanyakan, yang ingin berada di luar nilai-nilai yang dianut masyarakat. Kata “Outsiders” pada MMC, misalnya, adalah lambang “satu persen” karena 99 persennya adalah masyarakat kebanyakan dan segala nilai yang dianut mereka. “Dipahami saat itu anggota MMC tidak suka aturan yang mengikat dan anti kemapanan” tulis salah satu blog yang membahas kelahiran MMC.

Salah satu tokoh klub ini adalah Isfandiari MD—anak bungsu Mahbub Djunaidi, tokoh penting Nahdlatul Ulama (NU) dan anggota DPR pasca Pemilu 1955. Isfandiari, lulusan Universitas Padjadjaran yang juga merupakan wartawan otomotif senior, pernah merekam perjalanan MMC dan Kustom Kulture secara umum melalui buku Outsiders: Kisah Para Penunggang Motor (2014).

Buku ini berkisah soal sejarah klub, perseteruannya dengan klub lain, pengalaman turing, hingga suasana geng motor di Bandung awal 1990-an. "Saya bersyukur bisa membaca buku ini. Saya bisa mendapatkan pengetahuan tentang kehidupan komunitas pecinta dan penunggang motor dengan segala tradisi, bahasa, dan budayanya yang unik," kata KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), mengomentari isi buku tersebut.

Baca juga:Kustomfest 2016 Yogyakarta Akan Menjadi Reuni Para Legenda

Selain oleh klub-klub motor, inisiatif Kustom Kulture juga tampil dengan wajah yang lebih “kapitalistik” dengan hadirnya berbagai acara yang mengusung tema tersebut. Dalam acara semacam ini, semangat Kustom Kulture pada mulanya, tidak hanya akan dijumpai komunitas-komunitas yang memamerkan dan mengadu hasil kreasi mereka dalam medium kendaraan, tapi juga mereka yang hidup dan menghidupi Kustom Kulture dalam bentuk lain, semisal seniman tato atau pebisnis apparel.

Dua kegiatan Kustom Kulture dengan skala nasional yang ada saat ini adalah Indonesia Kustom Kulture Festival (Kustomfest) dan Suryanation Motorland. Sementara untuk level lokal, ada Mods vs Rockers dan Jakarta Custom Culture yang dihelat Minggu (22/10) kemarin di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat. Kustomfest pertama kali diselenggarakan pada 2011, sejak itu secara reguler dihelat di Yogyakarta yang dibuka langsung oleh Sri Sultan HB X. Sementara Suryanation, tahun ini digelar di delapan kota, dengan puncaknya akan berlangsung di Surabaya pada 11-12 November 2017.

Menurut Direktur Kustomfest, Lulut Wahyudi, Kustom Kulture di Indonesia akan terus menggeliat dari “pinggiran” ke “tengah”, dari yang tadinya muncul sebagai budaya alternatif menjadi arus utama, dari antimainstream menjadi mainstream. Satu indikasinya, kata Lulut, iklan-iklan di TV tidak lagi sungkan menampilkan motor atau mobil custom, alih-alih kendaraan premium yang sempat jadi pilihan utama. Gejala in ia simpulkan sebagai “mendadak custom.

“Kustom sekarang ini berperan sebagai bahasa baru pop culture Indonesia yang tidak kalah dengan metode lainnya,” kata Lulut.

Baca juga artikel terkait MOBIL atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Otomotif
Reporter: Rio Apinino
Penulis: Rio Apinino
Editor: Suhendra