tirto.id - Pemerintah mengakui ada kekeliruan dalam Undang-Undang Cipta Kerja sehari setelah peraturan tersebut ditandatangani Presiden Joko Widodo. Bagi pengamat/praktisi hukum, itu makin membuka jalan kemenangan para penggugat di Mahkamah Konstitusi (MK).
Salah satu kekeliruan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 ada di pasal 6, yang berbunyi: “Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf a.” Masalahnya tak ada pasal 5 ayat (1) huruf a. Hanya ada pasal 5, yang berbunyi: “Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.”
Pemerintah menyebut ini hanya perkara “kekeliruan teknis.” “Kita menemukan kekeliruan teknis penulisan dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Kesalahan itu luput dari amatan tim bentukan Kementerian Sekretariat Negara dan Badan Legislasi DPR setelah nyaris sebulan peraturan itu disahkan dalam rapat paripurna DPR, 5 Oktober.
Menurutnya, kesalahan tersebut “bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja.” Oleh karena itu hanya akan sekadar diperbaiki di kesekretariatan.
Kans Menguat
Sejak masa penyusunan, peraturan ini telah ditentang banyak kalangan karena dianggap merugikan masyarakat dan lingkungan. Perlawanan dilakukan baik secara litigasi maupun nonlitigasi. Salah satu jalur litigasi yang ditempuh adalah mengajukan judicial review ke MK. Sejauh ini ada beberapa pihak yang telah mengajukan itu, salah satunya Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Sebelumnya sejumlah pihak menilai kans masyarakat memenangkan gugatan rendah. Salah satu alasan karena sejak berdiri, MK tak pernah sekalipun mengabulkan gugatan uji formiil.
Namun berkat perkembangan terbaru, kemungkinan menang membesar, kata Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Susi Dwi Harijanti. “Kalau pemerintah mengakui ada kesalahan, maka kalau ada uji formil dan materiil seharusnya [MK] mengabulkan permohonan itu,” kata Susi kepada reporter Tirto, Selasa (3/11/2020).
Meskipun tak ada aturan tentang perbaikan UU yang telah diundangkan, Cipta Kerja tak dapat lagi diubah redaksionalnya karena peraturan ini sudah resmi berlaku dan mengikat. Kalaupun diperbaiki, itu “harus mengikuti tahap dari pembentukan UU, mengajukan revisi.”
Pendapat berbeda disampaikan pemerintah dan Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas. Supratman mengatakan pemerintah hanya perlu berkoordinasi dengan DPR RI untuk mengubah pasal-pasal yang keliru. “Antara DPR dan pemerintah saja, karena tidak mengubah ruh UU,” katanya.
Namun menurut mantan Hakim MK I Dewa Gede Palguna, “apa pun alasannya, kesalahan demikian tidak dapat diterima.”
“Hal itu bertentangan prinsip kesaksamaan dan kehati-hatian yang harus dipegang teguh dalam praktik pembentukan hukum,” kata Palguna saat saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (4/11/2020). “Tak perlu menjadi hakim konstitusi untuk menilai kelalaian semacam itu adalah keteledoran yang tidak dapat diterima secara politik maupun secara akademik.”
Ditarik lebih jauh, ia menilai proses penyusunan UU Cipta Kerja dari awal hingga disahkan memang tak sesuai dengan prosedur formil. Salah satu cacat formil yang dimaksud, juga telah dinyatakan oleh banyak pihak, adalah minimnya partisipasi publik. Bahkan untuk sekadar mempublikasikan draf saja tidak akuntabel.
Sebelum disahkan Jokowi, ada berbagai versi Cipta Kerja yang jumlah halamannya berbeda-beda. Belum lagi saat dibahas dan disahkan dalam rapat paripurna, tidak ada anggota dewan yang menerima salinan peraturannya.
Palguna menyebut ada banyak langkah lain yang dapat ditempuh untuk membuktikan kekurangan dalam penyusunan UU tersebut. Namun itu tidak memiliki dampak legal apa pun kecuali yang mengatakan demikian adalah MK. Jika MK berpendapat bahwa pembentukan UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945, “maka seluruh UU tersebut akan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.”
Sementara Menteri Sekretaris Negara periode 2004-2007 Yusril Ihza Mahendra bilang jika menggunakan landasan pemikiran yang kaku, memang dengan mudah dapat disimpulkan prosedur perubahan ini tidak sejalan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Tapi tentu saja pemerintah dan DPR punya argumentasi sendiri yang bagaimanapun patut disimak.
“Harus hati-hati dan benar-benar argumentatif karena jika prosedur pembentukan [disimpulkan] bertentangan dengan ketentuan dalam UU 12/2011, MK bisa membatalkan UU Cipta Kerja ini secara keseluruhan tanpa mempersoalkan lagi apakah materi yang diatur oleh undang-undang ini bertentangan atau tidak dengan norma-norma UUD 1945,” kata Yusril kepada reporter Tirto, Rabu.
Atas dasar pembuktian apakah peraturan ini telah dibuat sesuai prosedur atau belum, menurutnya para penguji UU Cipta Kerja memang pantas untuk didukung.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino