tirto.id - Cimetière du Père-Lachaise merupakan komplek permakaman terbesar di Paris, Prancis. Terletak di kawasan arondisemen 20, permakaman ini dibangun sejak tahun 1804 oleh seorang rohaniwan Katolik Prancis bernama Père François de la Chaise.
Berbagai tokoh terkenal dalam bidang seni, sastra, sains, dan politik dikebumikan di permakaman ini, di antaranya Jim Morrison, Frederic Chopin, Oscar Wilde, Molière, dan Edith Piaf.
Setiap tahun lebih dari 3 juta pengunjung datang untuk berziarah dan wisata ke tempat ini. Ada pula para ‘les pèrelachaisiens’ atau masyarakat yang rutin datang untuk berjalan-jalan menghirup udara segar layaknya berada di taman pada umumnya.
Komplek yang memiliki luas sekitar 44 hektare dan lebih dari 70.000 makam ini cukup terawat dan asri. Setiap nisan memiliki keunikan bentuk dengan dihiasi ornamen dan patung yang merepresentasikan sosok atau perasaan terhadap tokoh-tokoh yang dimakamkan. Keunikan inilah yang menjadi daya tarik banyak pengunjung.
Peruntungan untuk Kehidupan Seksual
Seiring waktu, banyak mitos dan kisah misterius yang berkembang di permakaman ini. Salah satu mitos yang beredar datang dari makam Victor Noir yang kini menjadi simbol kesuburan. Banyak orang sengaja mendatangi makam ini untuk mencoba peruntungan dalam kehidupan seksual.
Di atas makam terdapat sebuah patung perunggu berukuran 1:1 yang menampilkan figur Victor Noir menggunakan jas dalam posisi terakhirnya setelah ditembak mati. Sebuah topi stovepipe terjatuh di samping kaki kanannya.
Patung berwarna hijau patina yang khas. Beberapa bagian permukaannya tampak terkikis akibat sentuhan dari para pengunjung yang hendak mempraktikkan mitos bahwa dengan menggosok tubuh patung, terutama di area genital, akan membantu meningkatkan kesuburan atau keperkasaan.
Mitos ini berkembang dalam variasi lain seperti mencium bibir patung dan meletakkan bunga di bagian tangan patung. Maka tak heran pada area bibir patung pun permukaan warnanya turut memudar.
Karena banyaknya pengunjung yang datang untuk menyentuh patung Victor Noir, pada 2004 pengelola Père-Lachaise, atas keputusan Kepala Departemen Pemakaman Kota Paris, sempat mendirikan pagar di sekeliling makam demi menjaga kualitas patung.
Para pengunjung protes dan pagar tersebut segera dibongkar sehingga mereka dapat kembali mendekat dan menyentuh patung.
Jurnalis yang Ditembak Mati Pangeran
Victor Noir lahir di Vosges, Prancis, dengan nama Yvan Salmon dari keluarga Yahudi yang berpindah agama ke Katolik. “Victor Noir” merupakan nama pena yang diambil dari nama gadis ibunya.
Ia lahir pada tahun 1848 dan tumbuh sebagai anak laki-laki biasa bersama keluarganya yang sederhana di daerah Attigny, di Vosges. Ayahnya seorang tukang giling yang kemudian bekerja sebagai pembuat jam. Ia memiliki seorang kakak laki-laki bernama Louis Salmon yang pernah bertempur di Perang Krimea melawan Rusia.
Setelah perang, kakaknya berkarier sebagai jurnalis di La Patrie dan Le Peuple. Victor Noir pun mengikuti jejak kakaknya menjadi jurnalis dan pindah ke Paris untuk mengawali kariernya.
Pada akhir tahun 1869, terjadi perselisihan antara koran radikal La Revanche yang mengutuk Napoleon I dengan koran loyalis L’Avenir de la Corse yang menerbitkan surat tanggapan yang ditulis oleh Pangeran Pierre Bonaparte, keponakan Napoleon dan sepupu dari Kaisar Napoleon III.
Pemimpin koran tempat Victor Noir bekerja, Henri Rochefort, memberikan dukungan penuh kepada La Revanche dalam melawan Kekaisaran. Pangeran Pierre-Bonaparte menulis surat ancaman kepada Rochefort agar ia segera menghadapnya di sebuah rumah di Jalan Auteuil, Paris. Rochefort mengirim Victor Noir dan Ulric de Fonvielle.
Pangeran merasakan kebencian yang hebat dari Noir dan Fonville ketika mereka bertemu. Kekesalannya termuntahkan dalam enam tembakan dari revolvernya kepada dua jurnalis tersebut. Fonville selamat, namun Noir tertembak tepat di bagian dada dan langsung tak sadarkan diri ketika berlari ke arah beranda.
Victor Noir dimakamkan pada 12 Januari 1870 di Neuilly-sur-Seine. Pemakamannya dihadiri lebih dari 100.000 orang yang menentang kekuasaan. Kematian Victor Noir mengawali gerakan anti-Napoleon berskala besar di Prancis, dan menumbuhkan perlawanan yang mengakibatkan jatuhnya kekaisaran delapan bulan kemudian serta terbentuknya Republik Ketiga Prancis.
Konotasi Patung Telentang
Untuk menghargai kematian Victor Noir sebagai Republikan muda yang menjadi korban tak berdosa Kekaisaran Kedua dan memantik gerakan besar, makamnya dipindahkan dari Neuilly ke Paris, bersanding dengan para tokoh penting lainnya yang dimakamkan di Père-Laichaise.
Pematung terkemuka Prancis, Jules Dalou, merancang dan membuat patung untuk makam barunya. Sang pematung hendak menampilkan sosok Victor Noir yang terbujur kaku secara realis dengan pakaian yang lengkap pada saat kematiannya.
Dalam La tombe de Victor Noir au cimetière du Père-Lachaise (2010), Marina Emelyanova-Griva mengkaji tendensi gestur patung Victor Noir yang kini dikonotasikan terhadap seksualitas. Dalam pembuatan patung tersebut, Dalou menggambarkan kematian Victor Noir senyata mungkin dan tanpa niat menyoroti bagian genital maupun memberikan tendensi seksual.
Pembuatan patung dengan gestur telentang pada nisan penutup makam merupakan pola yang umum dilakukan sejak abad ke-11. Pengaruh arus romantisisme dan semangat neo-gotik membangkitkan kembali pembuatan patung telentang di Paris. Salah satunya adalah patung Godefroy Cavaignac karya François Rude di Permakaman Montmatre.
Jika dilihat dari sisi sejarah Victor Noir, pembuatan patungnya sama sekali tidak berhubungan dengan kultus seksual yang saat ini terjadi. Melainkan semata-mata sebagai penghargaan dalam konotasi politik. Maka terdapat pergeseran paradigma di tengah masyarakat dalam mengapresiasi karya tersebut.
Belum ada yang menemukan muasal yang pasti mengenai kapan pertama kali terbentuknya konotasi seksual terhadap patung makam Victor Noir. Temuan tertua secara visual tergambarkan dalam sebuah karya pelukis Jerman, Christian Schad, yang dibuat pada tahun 1929.
Karya tanpa judul berupa gambar karikatur dengan media tinta di atas kertas tersebut memvisualisasikan seorang wanita tengah mengangkangi sebuah patung telentang yang memiliki ciri seperti patung Victor Noir.
Tidak ada penjelasan pasti mengenai intensitas wanita dalam karya tersebut. Namun berdasarkan penuturan Gérard Laplatine dalam Ethnologie des faits religieux en Europe (1993), dari karya Schad dapat disimpulkan bahwa ada respons dari masyarakat terhadap patung dengan gestur telentang.
Ada subjek dan intensitas tertentu yang dilakukan, kemudian dikembangkan oleh masyarakat yang datang ke makam tersebut, alih-alih hanya melihat patung sebagai objek yang terpisah dari pengunjung.
Meski hipotesis ini tidak dapat dibuktikan secara utuh, karena mungkin saja itu hanya imajinasi Schad, namun praktik yang digambarkan memiliki suasana serupa di kehidupan nyata puluhan tahun setelah karya tersebut dibuat.
Masih dalam kajian La tombe de Victor Noir au cimetière du Père-Lachaise (2010), Marina Emelyanova-Griva mengurutkan informasi pertama yang ditemukan dalam literatur populer tentang kultus kesuburan makam Victor Noir berasal dari tahun 1966, yang mengawali catatan pemujaan di makam tersebut.
Sejak akhir tahun tahun 1970-an, berbagai teks dan buku berbicara mengenai permakaman Père-Lachaise dengan menggambarkan ritus yang menyertainya. Sering kali penjelasannya mengabaikan sejarah sebenarnya atas kematian sang jurnalis.
Informasi mengenai ritus pada periode tersebut memperbesar lingkaran pengunjung yang datang ke makam Victor Noir. Mereka memotret dirinya sendiri dengan gestur yang khas (tangan pada area genital patung), menyentuhnya sambil mengucapkan permohonan.
Kultus di sekitar makam Victor Noir yang berlangsung hingga kini, semakin menyempit kepada konotasi seksual. Fenomena ini menjadi bentuk tradisi baru bagi yang memercayai mitosnya untuk mengklaim legitimasi, dengan menciptakan kembali hubungan imajiner dengan kisah yang memiliki daya besar di masa lalu.
Penulis: Audya Amalia
Editor: Irfan Teguh Pribadi