tirto.id - Malam itu, 12 Mei 1998, tepat hari ini dua puluh tahun lalu, koresponden luar negeri The Times (London) Richard Lloyd Parry baru saja bangun tidur dan hendak menulis reportase. Seharian ia meliput demonstrasi mahasiswa Universitas Trisakti yang berjalan cukup tertib. Ia kaget membaca beberapa berita yang berseliweran di internet soal demonstrasi siang itu.
Saat pulang ke hotel menjelang petang, semua baik-baik saja. Mahasiswa dan polisi sama-sama balik kanan. Tetapi, berita yang ia baca menyebut dalam beberapa jam terakhir polisi melepas tembakan ke arah mahasiswa di kampus Trisakti. Koleganya dari Reuters yang ia hubungi membenarkan berita itu.
Tak ambil sela, Parry bergegas menuju Rumah Sakit Sumber Waras di mana para korban penembakan dirawat. Rumah sakit yang berjarak hanya beberapa ratus meter dari kampus Trisakti itu dipenuhi mahasiswa. Suasana begitu muram. Beberapa mahasiswa berkerumun, membicarakan sesuatu dengan suara pelan. Beberapa mahasiswa tampak terluka akibat bentrok dengan polisi. Lainnya terlihat menangisi sesuatu.
“Reporter berkerumun di sekeliling seorang perempuan, saat dia membacakan daftar empat nama, seluruhnya pria, mahasiswa Trisakti yang tertembak mati dua jam yang lalu: Hendriawan, Hafidin Royan, Hery Hartanto, Elang Mulya Lesmana,” tulis Parry dalam bukunya, Zaman Edan: Indonesia di Ambang Kekacauan (2008: 196-197).
Di sebuah ruang khusus, ia menyaksikan jasad keempat mahasiswa itu. Ia sempat mengabadikan foto Hery dan Hendrawan sebelum diminta keluar ruangan. Di koridor rumah sakit Parry bertemu seorang diplomat luar negeri yang ia kenal dan kemudian mereka terlibat pembicaraan.
Si diplomat menunjukkan dua selongsong peluru kepada Parry. Satu peluru karet berujung tumpul yang biasa digunakan aparat membubarkan demonstrasi. Satu lagi peluru tampak berbeda, mulut selongsongnya agak bergerigi.
Dalam bukunya, Parry mencatat kata-kata si diplomat kepadanya, “Yang satu kosong—yang satu peluru tajam. Ini bukti. Mereka menembakkan peluru tajam” (hlm. 198).
Kronologi Peristiwa
Demonstrasi dan aksi keprihatinan mahasiswa telah merebak di Jakarta dan beberapa kota di Indonesia sejak Maret 1998. Tak jarang pula aksi-aksi mahasiswa itu berujung ricuh. Sepanjang April eskalasinya kian naik diikuti beberapa kasus penculikan aktivis.
Namun, sampai saat itu nama Universitas Trisakti adalah minor. Hampir tak ada berita di media-media besar ibu kota yang memperhatikan aksi mahasiswa Trisakti. Bisa jadi mahasiswa Trisakti ikut pula dalam demonstrasi gabungan, tapi sejauh ini mereka tak dikenal.
Ini agaknya soal stereotipe juga. Trisakti adalah universitas swasta yang lekat dengan citra mahal, kampusnya anak orang berpunya. Tak ada yang mengasosiasikannya sebagai kampus aktivis laiknya UI, UGM, atau ITB.
“Hampir tak ada yang memandang mereka sebagai hero dan martir. Universitas Trisakti adalah tempat bagi para model yang suka bergaya. Tapi, tak ada yang lebih gaya di Indonesia pada masa itu selain protes,” tulis Parry (hlm. 190).
Trisakti luput dari pemberitaan media, tetapi bukan berarti mahasiswanya tak bergerak. Soekisno Hadikoemoro dalam Tragedi Trisakti 12 Mei 1998 (1999) mencatat, setidaknya dua kali mahasiswa Trisakti menggelar unjuk rasa, yaitu pada 23 Maret dan 18 April. Keduanya berupa mimbar bebas di dalam lingkungan kampus.
Dengan dukungan ikatan alumninya, mahasiswa Trisakti juga menggelar aksi sosial. Sebagai tindak lanjut dari mimbar bebas itu, Senat Mahasiswa Universitas Trisakti (SMUT) menggelar aksi sosial berupa pembagian sembako dan pemeriksaan kesehatan.
Mimbar bebas kedua yang diinisiasi SMUT adalah sebuah percobaan untuk sebuah aksi turun ke jalan. Usai mimbar bebas, SMUT mencoba mengorganisasi massanya untuk keluar kampus. Tak jauh, mereka hanya keluar dari kampus melalui gerbang di Jalan Kiyai Tapa lalu memutar dan masuk kembali ke kampus melalui gerbang di Jalan S. Parman (hlm. 69-71).
Itulah semua persiapan menuju demonstrasi besar mahasiswa Trisakti pada 12 Mei. Mereka bergerak dengan membawa dukungan dari pimpinan universitas dan para guru besar. Bahkan di hari itu, Rektor Universitas Trisakti Profesor Dr. Moedanton Moertedjo dan Ketua Umum Yayasan Trisakti Ir. Trisulo ikut menyampaikan orasi (hlm. 72).