Menuju konten utama

Minim Capaian, DPR Minta Keistimewaan di Tengah Kesulitan Rakyat

Anggota DPR menuntut keistimewaan di tengah banyaknya tenaga kesehatan yang lebih membutuhkan pertolongan.

Minim Capaian, DPR Minta Keistimewaan di Tengah Kesulitan Rakyat
Suasana kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/7/2021). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.

tirto.id - Seorang pejabat partai hidup sederhana. Ia tinggal di kontrakan dan menolak banyak keistimewaan sebagai pejabat negara. Ia bukan berasal dari masa sekarang dan pastinya bukan politikus Partai Amanat Nasional (PAN) yang duduk di DPR sebagai wakil rakyat semacam Saleh Daulay atau Rosaline Irene Rumaseuw. Nama orang itu adalah Haji Agus Salim. Kerabat Salim belajar hal besar dari tokoh Sarekat Islam (SI) itu: "Leiden is lijden"—memimpin adalah menderita.

Hal yang tentunya sangat sulit ditemui pada pejabat negara sekarang.

Pejabat sekarang banyak meminta dan menikmati atau menuntut keistimewaan, bahkan ketika negara sedang krisis. Seperti salah satu yang belakangan diungkapkan Rosaline tentang keinginan “rumah sakit khusus buat pejabat negara.”

Menurut Rosaline, ada begitu banyak pejabat negara, tetapi pemerintah justru “tidak memikirkan masalah kesehatannya.” Tuntutan ini diawali kejadian nahas meninggalnya John Siffy Mirin, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PAN karena tidak mendapatkan perawatan setelah terjangkit virus Covid-19.

Rosalline mengaku bersama Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Ketua Fraksi PAN di DPR Saleh Partaonan Daulay, dan seorang pimpinan Komisi IX DPR RI harus turun tangan "mengemis" ruangan ke Rumah Sakit Medistra untuk mendapatkan ruang perawatan. Akhirnya nyawa John tidak tertolong.

Seminggu kemudian, giliran Saleh angkat bicara membela rekannya. Dalam rapat bersama Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Saleh mengaku “tidak mau lagi misal mendengar ada anggota DPR yang tidak dapat tempat ICU.” Wajib bahwa ada ruang gawat darurat yang selalu siap sedia demi wakil rakyat.

Masalahnya, perilaku dan kinerja anggota DPR tidak memberikan contoh yang baik. Pertama, anggota DPR dari fraksi PAN Guspardi Gaus beberapa waktu lalu baru kembali dari luar negeri--dia menolak melakukan isolasi mandiri dan ikut rapat. Setelahnya dia meminta maaf dan tidak mendapat sanksi denda apalagi pidana.

Di sisi lain, ketika ada penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), banyak warga yang tak patuh harus didenda atau bahkan dikenakan pidana.

Makanya, ketika anggota fraksi PAN meminta keistimewaan lebih buat pejabat dalam penanganan pandemi Covid-19, pastinya rakyat yang harus menanggung bentuk ketidakadilan tersebut.

Fakta di lapangan, rumah sakit sudah mulai kolaps. Suplai kasur tidak lagi cukup untuk merawat korban Covid-19 yang tumbang. Oksigen juga mulai habis. Masyarakat harus bergotong royong untuk bisa membantu sesamanya yang membutuhkan bantuan pernafasan. Tentu saja meminta kemewahan seperti “UGD” atau “rumah sakit khusus” dianggap sebagai hal yang tak sensitif.

“Atas nama PAN, saya meminta maaf untuk tindakan & pernyataan kader saya yang kurang sensitif pada situasi yang ada,” kata Zulkifli melalui akun twitter-nya.

Sejauh ini setidaknya ada 7 anggota DPR yang meninggal dunia karena Covid-19, dua di antaranya berasal dari fraksi PAN. Jika menghitung pejabat negara, setidaknya ada enam lagi pejabat--di antaranya pimpinan daerah--yang meninggal karena pandemi. Jika dijumlahkan menjadi 13 pun, angka itu tidak mencapai sepersepuluh tenaga kesehatan Indonesia yang meninggal karena Covid-19.

Data terakhir pada 16 Juli 2021 menunjukkan setidaknya ada 1.131 tenaga kesehatan meninggal dunia.

Apakah yang terhormat anggota dewan memang lebih layak hidup daripada nakes dan kita, rakyat biasa?

Layakkah Anggota DPR Diistimewakan?

Anggota dewan memang bagian elite politik. Mereka punya tugas penting membuat kebijakan dan bekerja sama bersama pemerintah untuk mencari formula penanganan pandemi Covid-19.

Yang menjadi catatan penting, apa saja yang sudah mereka lakukan selama pandemi Covid-19 ini. Pada 2021, Koordinatoriat Wartawan DPR menggelar lomba bertajuk “Peran DPR di Tengah Pandemi”. Puan Maharani sebagai Ketua DPR mengapresiasi dan memberi sambutan di acara tersebut.

"Saya turut menyambut baik tema dari lomba ini, yaitu peran DPR di tengah pandemi. Tema ini sangat relevan dan penting diketahui banyak orang karena begitu banyak yang telah dilakukan DPR untuk mendorong dan mengawasi berbagai langkah Indonesia untuk menangani pandemi Covid-19 dan dampaknya," ujar Puan dalam sambutannya secara virtual, Rabu (24/3/2021).

Pemenang pertama dari beritabuana.co menulis “Kontribusi DPR RI di Tengah Pandemi Covid-19.” Isi opini wartawan Andoes Simbolon sepanjang 4 halaman itu bisa dirangkum secara sederhana. DPR berperan mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Pemenang kedua dari law-justice.co dengan judul “Urgensi Legislasi Atasi Pandemi”memaparkan lebih banyak lagi kontribusi DPR. Mulai dari pengesahan Perppu nomor 1 tahun 2020, kemudian UU Pilkada 2020, UU Cipta Kerja omnibus law, hingga UU APBN 2021.

Yang tidak diceritakan oleh dua jurnalis media tersebut adalah, Perppu merupakan inisiatif pemerintah. DPR hanya memberikan melegitimasi. Begitu pula dengan postur APBN yang berubah dan diinisiasi pemerintah.

UU Pilkada dan UU Cipta Kerja tidak bisa dikatakan sebagai satu hal yang positif. Di tengah pandemi, manfaat UU Cipta Kerja tidak terlihat dan dirasakan oleh pengusaha UMKM secara langsung. Banyak rakyat mengeluh karena aktivitas mencari nafkah kini diatur ketat oleh PPKM. UU Pilkada 2020 yang merestui penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi terbukti membuat kerumunan baru yang pada dasarnya berpeluang melanggengkan Covid-19 di Indonesia.

Dalam dua UU terakhir, DPR justru terlihat mengabaikan masukan publik yang menolak pengesahan UU tersebut.

Lebih spesifik terkait pandemi, Komisi VII DPR yang membidangi masalah kesehatan bahkan seringkali melontarkan ucapan dan membuat keputusan yang tidak masuk akal dan bertentangan dengan rekomendasi peneliti.

Soal penggunaan alat tes Covid-19 GeNose, misalnya, ada anggota Komisi VII seperti Adian Napitupulu yang tak setuju dihentikan. Padahal GeNose seringkali menampilkan hasil deteksi yang berbeda dibandingkan metode usap antigen atau PCR.

Kemudian soal dukungan kepada vaksin nusantara oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Di DPR, peneliti vaksin Nusantara melakukan pengambilan darah untuk keperluan peracikan vaksin Nusantara. Padahal saat itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum menyetuji kelanjutan uji klinis vaksin Terawan. Atas dasar nasionalisme, DPR mendukung agar vaksin Nusantara bisa diteruskan uji klinisnya hingga fase III sehingga bisa cepat diproduksi.

Beberapa pihak mendorong DPR untuk mengetatkan pengawasan selama pandemi. Alih-alih mengawasi kebijakan pemerintah, DPR justru menjadi bagian dari pembuatan keputusan kotroversial dan harus jadi sasaran pengawasan masyarakat di tengah pandemi.

Ronan Cormacain Ittai Bar Siman-Tov dalam tulisannya “Legislatures in The Time of Covid-19” (2020) menganggap peran legislasi sangat penting di tengah pandemi, misalnya terkait pengawasan dan transparansi. Tidak semua pembuat aturan di setiap negara bobrok memang; yang penting mereka seharusnya bisa mengawasi agar pelaksanaan aturan yang ada didasarkan sains dan data.

Ini yang belum optimal di Indonesia.

Peneliti dari Westmister Foundation for Democracy (WFD), Nic Cheeseman dan Rebecca Gordon dalam penelitian berjudul "Legislative Leadership in The Time of COVID-19" (2021) mencoba mengukur sebaik apa kontribusi parlemen di masa pandemi ini.

Dari skor terbaik, yakni 3, Indonesia hanya berhasil memperoleh setengahnya: 1,5. Salah satu indikator yang digunakan adalah mempertanyakan fungsi pengawasan anggota DPR kepada pemerintah. Di tengah situasi Indonesia yang minim oposisi--jika bukan tidak ada--pengawasan kepada pemerintah seringkali justru tidak berjalan.

“Legislator punya peran mencegah pemerintah mengadopsi kebijakan kontra-produktif dan mendorong pemerintah melakukan respon yang cepat. Tapi ini hanya bisa terjadi jika negara punya legislator yang mau bekerja dan memang punya fungsi pengawasan yang kuat, yang tidak terjadi di sebagian kecil negara,” catat Cheeseman dan Gordon.

Infografik BNPB Covid19 2020 Vs 2021

Infografik BNPB Covid19 2020 Vs 2021. tirto.id/Rangga

Diuntungkan Sebagai Elite

Terkenal, punya keistimewaan, dan banyak uang. Kira-kira itulah motif orang ingin jadi anggota DPR versi Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) UI Aditya Perdana seperti dilansir Kompas. Tanpa menuntut rumah sakit khusus, hidup mereka, tak terkecuali pada pandemi tentu lebih beruntung daripada rakyat biasa.

Contoh jelasnya bisa dilihat dengan kemunculan vaksin berbayar: ketika individu dan perusahaan bisa memperoleh vaksin tanpa antri dengan segepok duit. DPR sebagai kumpulan orang-orang berduit bisa dengan mudah menjangkaunya.

Dengan munculnya gelombang protes dari masyarakat, wacana vaksin mandiri ini akhirnya secara resmi dibatalkan oleh pemerintah.

Olivia Goldhill dan Nicholas St. Fleur melalui "There Absolutely Will be a Black Market': How The Rich and Privileged Can Skip The Line for Covid-19 Vaccines" (2020) mencatat politikus dan orang-orang kaya lain mudah mendapat perlakuan khusus selama pandemi, termasuk pengetesan gratis dan terapi yang belum diakui komunitas medis.

Berdasar wawancara Goldhill dan Fleur bersama STAT ke para ahli, vaksin tidak akan berbeda. Banyak cara yang bisa dilakukan agar orang-orang kaya, termasuk politisi bisa menyamarkan diksi “pekerja esensial” dan kondisi “risiko tinggi” untuk membuat mereka istimewa.

Ada juga kemungkinan vaksin ini akan muncul di pasar gelap yang bisa dibeli dengan harga tertentu. Situasi tersebut tentunya menguntungkan pebisnis belaka.

Seperti dalam "Elites Can Take Care of Themselves — Comment on COVID-19: The Rude Awakening for The Political Elite in Low-Income and Middle-Income Countries" (2020), Irene Torres, Daniel F Lopez-Cevallos, Fernando Sacoto memandang elite politik tetap punya keistimewaan dalam bertahan hidup.

Covid-19 tidak merugikan mereka. Kendati penanganan di dalam negeri payah, misalnya, mereka tetap bisa memilih perawatan di luar negeri. Kalaupun harus berdiam di dalam negeri, di rumah pun mereka bisa mengakses perawatan kelas satu dengan cepat--satu keistimewaan yang tentu tak dimiliki masyarakat menengah ke bawah.

“Bahkan di tengah-tengah pandemi, mereka bisa mengamankan sumber daya kesehatan yang tak tersedia bagi setiap orang. Misalnya, melalui perusahaan asuransi kesehatan atau perawatan swasta prabayar yang menawarkan berbagai layanan dari layanan dasar hingga bintang lima, tergantung pada kemampuan ekonomi pelanggan,” catat Torres, Lopez-Cevallos, dan Sacoto.

Justru, salah satu usulan yang mungkin bisa membuat DPR menjadi sangat berguna dan mengurangi keistimewaan mereka di tengah pandemi adalah pemotongan gaji 50 persen, belum dilaksanakan hingga sekarang. Kini sebagian dari mereka malah belum puas dan ingin diberi lebih banyak keistimewaan di tengah warga dan nakes yang berjuang setengah mati hanya untuk bertahan hidup.

Baca juga artikel terkait DPR atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Windu Jusuf