tirto.id - Arteria Dahlan telah menunjukkan kepada publik bahwa anggota DPR bisa terkenal bukan hanya karena tidur di ruang rapat atau melakukan korupsi, tapi lantaran nekat. Tanpa kenekatan, tidak mungkin Arteria berani menyematkan kata "bangsat"kepada sebuah kementerian yang terhormat dan menyebut mantan menteri Orde Baru yang disegani sebagai orang "sesat".
Jauh sebelum menjadi anggota DPR, kala masih belajar di bangku perkuliahan, Arteria tergolong mahasiswa yang rajin dan tangkas. Pada 1993 dan 1994 ia mengambil kuliah di dua jurusan berbeda, teknik elektro dan ilmu hukum. Teknik elektro untuk gelar diploma di Universitas Trisakti, sedangkan ilmu hukum ia ambil untuk tingkat strata satu di Universitas Indonesia.
Lima warsa kemudian Arteria magang di kantor hukum Hadiputranto & Partners (HHP) selama satu tahun. HHP merupakan firma hukum yang punya relasi dengan Baker & McKenzie, firma hukum terkemuka yang berpusat di Amerika dengan penghasilan 2,2 miliar dolar AS pada 2018.
Arteria lalu bekerja sebagai pengacara di kantor Hutabarat, Halim, dan Rekan sepanjang 2000-2002. Hubungan Arteria dengan politik mungkin erat dengan perjalanan kariernya pada 2002-2009: dia bekerja, dan kemudian menjadi rekanan, di Bastaman & Co, sebuah kantor pengacara milik Syarif Bastaman, politikus PDIP.
Sepuluh tahun sejak pertama kali mendapat pekerjaan di dunia kepengacaraan, Arteria membangun kantor hukumnya sendiri bernama Arteria Dahlan Lawyers. Dalam setahun, dia dipercaya menjadi pengacara partai berlambang banteng moncong putih pada sengketa pilkada. Reputasinya makin moncer kala dia ditunjuk sebagai Ketua Badan Bantuan Hukum & Advokasi Pusat PDIP pada 2010. Seiring kemonceran reputasinya, Arteria melanjutkan pendidikan hukum di program strata dua Universitas Indonesia dari 2012 hingga 2014.
Dalam tayangan Mata Najwa pada 9 Oktober 2019, Arteria begitu murka kepada pakar hukum tata negara Universitas Gajah Mada (UGM) Feri Amsari. “Anda ngomong seolah-olah anda pinter, salah terus ini,” kata Arteria. “Hei, belajar dulu ya kamu ya, jangan sok pintar.”
Setelah omongan itu, barangkali terbersit di benak Feri dan beberapa orang: belajar sejauh mana sehingga bisa duduk satu meja dan berdebat dengan Arteria Dahlan secara kontekstual tanpa ad hominem?
Masalahnya, omongan Emil Salim, mantan menteri di era Soeharto, juga selalu dimentahkan secara emosional. Dalam acara yang sama, Arteria menyebut Emil Salim sebagai orang yang "sesat".
Perkara ini diawali tudingan Emil bahwa KPK setiap tahunnya selalu mengirimkan laporan pertanggungjawaban ke DPR. Menurut Arteria, hal itu tidak ada. Di kemudian hari, KPK menegaskan bahwa laporan itu ada.
Kata-kata tajam Arteria dalam acara Mata Najwa itu sebenarnya banyak tertuju pada Feri dibanding Emil. Selain meremehkan kecerdasan, Arteria menganggap Feri berbicara tidak pada kapasitasnya. Misalnya saat Feri mengatakan penerbitan Perppu KPK oleh Jokowi penting untuk mengetahui apakah Jokowi berpihak pada rakyat banyak atau tidak.
“Saya katakan ini [Feri] bukan ahli,” kata Arteria lagi. “Ini ahli tata negara atau agitator?”
Kesempatan Menjadi “Yang Terhormat”
Pada 2015 karier politik Arteria dimulai sebagai anggota DPR. Dia mendapat posisi anggota DPR bukan melalui proses pemilihan umum, tapi penunjukan dari PDIP secara langsung lewat proses pergantian antar waktu (PAW).
Arteria menggantikan Djarot Saiful Hidayat yang waktu itu maju sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Awalnya, Arteria berada di Komisi II yang membidangi masalah kependudukan dan pemilu. Setelah itu, dia berpindah ke Komisi VIII yang membidangi agama, sosial, dan pemberdayaan perempuan. Di Komisi II dan VIII, Arteria seperti anak baru yang sedang dipelonco. Ia tidak banyak ulah.
Ketika dipindah ke Komisi III yang membidangi hukum dan keamanan pada 2017, keberanian Arteria mulai keluar. Dia memaki Kementerian Agama, yang merupakan mantan mitra kerjanya saat di Komisi VIII, saat rapat membahas penipuan biro perjalanan umroh. Menurut Arteria, Kemenag terkesan menyalahkan masyarakat yang tertipu, alih-alih menertibkan oknum perjalanan.
"Ini Kementerian Agama bangsat, Pak, semuanya, Pak!" kata Arteria seperti dilansir Detik.
Arteria lantas diminta pertanggungjawabannya oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Sampai sekarang, MKD tidak pernah mengatakan kepada publik bahwa Arteria telah melanggar kode etik. Arteria juga tidak mau berdamai dengan Kementerian Agama.
Bukan hanya Kemenag, Arteria juga punya masalah komunikasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sewaktu menjabat sebagai panitia khusus hak angket KPK, dalam sebuah rapat dengan lembaga antirasuah tersebut, Arteria protes karena tidak dipanggil dengan sebutan "yang terhormat".
"Saya menunggu dari lima Saudara-saudari komisioner, tidak pernah terucap 'anggota Dewan yang terhormat'. Kami, Pak Jokowi sendiri kalau ketemu, walaupun Arteria masih bangsat, dia katakan 'yang terhormat'. Pak Kapolri mengatakan 'yang mulia'," kata Arteria di gedung DPR, Senayan pada September 2017 seperti dikutip Detik.
Kala itu Arteria sebenarnya tidak punya otoritas penuh untuk bicara soal kehormatan anggota DPR. Posisi Arteria bukan anggota MKD.
Namun logika itu tak berlaku lagi saat ini. Pada Pilpres 2019 dia terpilih menjadi anggota DPR dan kemudian mendapat posisi sebagai anggota MKD. Jika dulu Arteria banyak menyerang orang-orang yang mengkritik kinerja DPR, sekarang para anggota DPR lah yang seharusnya bersiap-siap menerima serangan Arteria.
Kewenangan MKD, seperti yang tercatat dalam situs resmi DPR (PDF), antara lain: 1. Melakukan pemantauan kepada anggota DPR agar tidak melakukan pelanggaran atas kewajiban sesuai yang dimaksud dalam undang-undang; 2. Memantau perilaku dan kehadiran Anggota dalam rapat DPR; 3. Memberikan rekomendasi kepada pihak terkait untuk mencegah terjadinya pelanggaran Kode Etik dan menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPR.
DPR periode lalu banyak dikecam karena kinerjanya yang amburadul. Pada 2017, misalnya, seperti dilaporkan Indopos, rata-rata kehadiran sidang anggota DPR hanyalah 41 persen. Dengan demikian, saat ini Arteria punya peluang besar untuk mewujudkan perkataannya bahwa anggota DPR layak mendapat sebutan "yang terhormat."
Menunggu Nyali Arteria Lawan Partai
Nyali besar seperti yang dimiliki Arteria sebenarnya sangat diperlukan untuk menjalani tugas sebagai anggota MKD. Dalam Masyarakat Indonesia dan Tanggung Jawab Moralitas (2018), Khabib Luthfi menyatakan bahwa perbaikan aspek etika dan moralitas anggota DPR sangat bergantung kepada MKD.
Sebagai anggota dewan, DPR mempunyai hak imunitas yang membuatnya istimewa dibanding warga negara biasa. Ketika mendapat aduan pidana, misalnya, kepolisian harus mengadakan penyelidikan dengan koordinasi bersama MKD. Terkadang, MKD harus memutus dahulu apakah anggota itu bersalah atau tidak, baru bisa diproses pidana.
Kasus dugaan ujaran kebencian yang dilakukan anggota DPR Viktor Laiskodat adalah salah satu buktinya. Pada 2017 Viktor, yang menurut kepolisian bisa saja melanggar unsur pidana, tidak juga diproses oleh kepolisian. Saat itu dia menjalani pemeriksaan di MKD dan tidak dapat diproses pidana. Alasannya, dugaan kejahatan Viktor dilakukan ketika menjalankan misi sebagai anggota DPR.
“Berbicara secara bebas tanpa aturan, melakukan tindakan-tindakan di luar batas keanggotaan hingga kebal hukum menjadi ancaman yang menyangkut etika profesi dan kode etik yang telah disepakati bersama,” tulis Khabib.
Namun MKD yang menjadi harapan juga sering kali melempem. Khatib melihat anggota MKD kerap membela koleganya alih-alih menegakkan kode etik anggota dewan.
“Bagaimana mampu berjalan dengan baik apabila MKD saja tak mampu berjalan sesuai dengan semestinya dalam mengawasi dan mengatur etika para pejabat negara yang duduk di kursi parlemen, jika masih menempatkan solidaritas partainya,” lanjut Khabib.
Tantangan-tantangan macam itulah yang akan dihadapi Arteria. Jika kita percaya
omongan politikus bisa sebanding dengan perilakunya, barangkali beberapa pernyataan Arteria belakangan ini bisa kita pegang sebagai dasar keyakinan bahwa ia layak menjadi anggota MKD.
Setelah Arteria mengolok-olok Emil Salim, halaman biografinya di Wikipedia disunting oleh sebagian orang tak dikenal. Suntingan itu, meski kasar dan mungkin ada benarnya, tak membuat Arteria murka. Padahal di sana dia digambarkan sebagai “seorang tukang bacot, pengacara, dan politisi yang gila hormat.”
Mendapat cercaan macam itu, Arteria, sebagaimana dikutip Detik, hanya membalas: "Saya mewakafkan diri saya untuk tidak populer, tapi saya bekerja penuh dengan keyakinan yang saya yakini untuk melakukan pendidikan politik kepada rakyat. Ini bagian dari pendidikan politik. Memang tidak populer tapi saya harus menyatakan kebenaran."
Tahun lalu, ketika hendak dilaporkan ke MKD karena makian 'bangsat'-nya kepada Kemenag, ia bahkan mengomentarinya seolah-olah dengan penuh kelegawaan.
“Ya kalau di MKD kan bagi saya itu kan hak orang, saya tidak bisa melarang. Bagi saya suatu kehormatan mendapatkan (laporan) apapun risikonya sepanjang saya yakini, saya dalam konteks membela kepentingan rakyat. [...] justru saya bangga untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan saya ini di ranah hukum mana pun,” katanya seperti dilansir Kumparan.
Sejak zaman para senator Athena hingga anggota DPR Senayan, sejarah membuktikan bahwa segala omongan politikus tak bisa kita telan mentah-mentah. Begitu pula dengan semua pernyataan Arteria itu.
Editor: Ivan Aulia Ahsan