tirto.id - Nama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok atau BTP kembali disorot publik. Bukan karena sepak terjang sebagai Komisaris Utama PT Pertamina, jabatan yang dia duduki saat ini sejak keluar dari penjara, tetapi berkaitan dengan kebijakan yang diterbitkan saat menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Awalnya adalah gugatan praperadilan Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) atas perkembangan penyidikan pembelian lahan Cengkareng lima tahun lalu. Dalam gugatan yang bernomor perkara 128/Pid.Pra/2020/PN.Jaksel itu, MAKI menduga kasus pembelian lahan tidak berjalan karena tidak kunjung ada perkembangan.
Dalam poin akhir petitum, MAKI, yang mewakili Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI), menuntut kasus diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)--pihak termohon IV--agar diproses secara hukum.
Agenda sidang terkini digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (3/12/2020) lalu. Bonyamin mengatakan agenda sidang sudah masuk "penyerahan kesimpulan masing-masing pihak."
Perkara ini bermula ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lewat Dinas Perumahan dan Gedung (kini berganti nama menjadi Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman) membeli lahan di Cengkareng Barat senilai Rp668 miliar kepada seseorang bernama Toeti Noezlar Soekarno pada 2015. Lahan tersebut rencananya akan dibangun rumah susun. Pemprov DKI dan pihak kuasa hukum Toeti sepakat membeli lahan Rp14,1 juta per meter pada 7 Oktober 2015.
Dalam laporan hasil pemeriksaan keuangan DKI 2015, dilansir dari Kompas, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan lahan itu bermasalah. BPK mencatat kalau lahan itu masih berstatus tanah sengketa antara Toeti dengan Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan (DKPKP) DKI. Berdasarkan keterangan DKPKP, tanah tersebut tercatat sebagai bagian aset per 31 Desember 2015.
Statusnya tidak kunjung terang meski beberapa kali disebut di pengadilan umum dan pengadilan tata usaha negara. Di pengadilan umum, status tanah sempat muncul dalam perkara dengan terpidana Aceng Sutiaman bin Abdul Rohman yang mengklaim kalau tanah tersebut adalah miliknya. Aceng dipidana penjara 1 tahun 10 bulan karena mengklaim kepemilikan lahan Toeti sesuai putusan perkara Nomor 1486 K/PID/2016.
Namun, tanah tersebut dinyatakan bukan milik Toeti alias bukan kepemilikan sah dalam putusan peninjauan kembali (PK) bernomor 553 K/TUN/2017. Dalam gugatan tersebut, Pemprov DKI bersama tiga pihak yang menjadi penggugat menggugat Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Barat. Dalam gugatan, Pemprov DKI memaparkan kalau tanah tersebut sudah mereka beli pada 1957 dan 1967.
Pada 1957, tanah tersebut dibeli dari Oei Pek Liang dengan total luas tanah 50.550 meter persegi. Kemudian pemerintah melakukan pembebasan kedua dalam rangka perluasan balai benih induk pada 1967 dengan luas tanah 23.425 meter persegi dan pembebasan tanah dari para penggarap pada 1964 seluas 27.410 meter persegi.
Dalam dokumen putusan tersebut diketahui pula kalau Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Barat dinyatakan tidak teliti karena menerbitkan sertifikat hak milik nomor 13293/Cengkareng Barat, sertifikat hak milik 13430/Cengkareng Barat, dan sertifikat hak milik 13069/Cengkareng Barat atas nama Toeti.
Tanah milik Toeti pun diketahui diserobot oleh PT Sabar Ganda. Tanah tersebut, di dalam putusan pengadilan yang ditetapkan 5 Desember 2017, masih berproses secara hukum di Pengadilan Tinggi Jakarta maupun Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam amar putusan peninjauan kembali, MA membatalkan keputusan 93/B/PT.TUN.JKT tanggal 10 Juli 2017 yang menguatkan putusan PTUN Jakarta Nomor 170/G/2016/PTUN.JKT bahwa para pemohon sengketa TUN kala itu, yakni Dewi Susilawati, Doni Iriani, dan Saiful terkait kepemilikan lahan tersebut tetapi menerima permohonan Pemprov DKI.
Masalah sengketa pun tidak berakhir. Toeti bersama lima orang lain lantas mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun gugatan perdata dengan nomor perkara 258/Pdt.G/2016/PN JKT.PST yang diajukan 4 Mei 2016 lalu itu ditolak pada Selasa 6 Juni 2017.
Saefullah sewaktu menjabat Sekretaris Daerah DKI memastikan pemprov akan menagih uang kepada Toeti dengan bantuan penegak hukum. Jika Toeti tak juga mau bayar, "itu urusan penegak hukum nanti," kata Saefullah, Rabu 27 Februari 2019.
Upaya menagih uang pembebasan lahan sebesar Rp668 miliar juga pernah diucapkan mantan Wakil Gubernur DKI Sandiaga Uno pada Desember 2019. Kala itu, menurut Sandi, Pemprov DKI sedang melakukan pemindahan aset berupa tanah ke pos Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (DKPKP).
Berujung Ribut Ahok dengan Bawahannya
Di internal, permasalahan ini memicu debat panjang lantaran Ahok sudah mengeluarkan surat disposisi pembelian lahan. Ahok lantas menyalahkan Kepala Dinas Perumahan dan Gedung kala itu, Ika Lestari Aji, yang tidak mengecek sebelum membeli.
Ahok bahkan menyebut Ika menerima gratifikasi lantaran ada penangguhan pembayaran hingga Rp200 miliar. Ika tentu saja membantah.
Mantan suami Veronica Tan itu lantas mengganti Ika dengan Arifin, Wakil Wali Kota Jakarta Pusat kala itu. Ahok sendiri membawa kasus lahan Cengkareng Barat ke proses hukum. Ia melaporkan ke polisi pada Selasa 28 Juni 2016 dan diperiksa penyidik selama empat jam kala.
Lantas, bagaimana kelanjutan proses hukumnya? Bonyamin mencatat sebenarnya kepolisian sudah memeriksa 17 saksi dan ahli. Penyidik telah melakukan penyitaan. Bahkan kepolisian disebut sudah menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) pada 29 Juni 2016.
Pihak Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung bahkan sudah mengembalikan SPDP kepada kepolisian tanggal 20 Juli 2017 lantaran pihak kepolisian tidak memberikan informasi perkembangan penyidikan pada 7 Desember 2016 dan 12 Januari 2017.
Kini, perkembangan perkara akan dilanjutkan atau tidak, tergantung putusan hakim praperadilan. Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Suharno mengatakan kesimpulan sudah diterima hakim praperadilan Yosi. Ia mengatakan putusan akan dibacakan pada Selasa (8/12/2020) besok.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Bayu Septianto