tirto.id - Jika film animasi Jumbo menyedot banyak pujian, karya animasi berjudul Merah Putih: One for All justru memicu kontroversi. Film ini sudah memantik perbincangan di dunia maya sejak trailer-nya dirilis pada 8 Agustus 2025. Gara-garanya mulai dari kualitas visual yang dinilai tak meyakinkan, adegan-adegan yang kaku, hingga muncul tuduhan ia dibuat dengan memakai aset karakter 3D daring.
Merah Putih: One for All disebut dibuat dengan biaya produksi sekitar Rp6,7 miliar. Ini bikin warganet makin skeptis, dengan biaya senilai itu apakah wajar hasilnya seperti tugas praktik kuliah yang “selesai atau tidak selesai harus dikumpulkan”.
Berbagai asumsi liar pun berseliweran, salah satunya menyebut karya tersebut sebagai “proyek pemerintah”. Asumsi itu barangkali berangkat dari logo Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia yang tersemat di poster filmnya. Jadwal tayang film ini pun berdekatan dengan momen Peringatan Proklamasi 17 Agustus, tepatnya pada 14 Agustus 2025.
Dalam materi promosi film, juga terdapat delapan karakter anak kecil yang ditampilkan dengan latar bendera Merah Putih. Sama halnya dengan trailer-nya yang ramai dikritik, sejumlah warganet di jagat maya pun sampai membuat konten mendesain ulang poster film yang dinilai kurang estetik.
Jika menengok trailer-nya, Merah Putih: One for All mengangkat tema kebangsaan dan mencoba menceritakan petualangan mencari bendera Merah Putih yang hilang di sebuah desa. Delapan anak yang ditugaskan untuk misi itu kemudian harus melalui berbagai tantangan.
Sebagai informasi, film Merah Putih: One for All ini produksi oleh Perfiki Kreasindo. Ia diproduseri oleh Toto Soegriwo dengan dukungan Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail. Posisi sutradari diisi oleh Endiarto dan naskahnya ditulis oleh Bintang Takari.
Di tengah riuhnya komentar publik, Toto Soegriwo mengklarifikasi soal tudingan bahwa filmnya mendapat kucuran dana dari pemerintah. Lewat akun X pribadinya, Toto membantah tudingan itu dan menyebutnya sebagai fitnah yang keji.
— toto soegriwo (@totosoegriwo) August 11, 2025
Toto pun meminta masyarakat untuk tidak ikut menyebarkan informasi yang tidak benar, serta menghentikan segala bentuk hujatan dan fitnah. Klarifikasi Toto ini pun dikeluarkan menyusul pernyataan Wakil Menteri Ekonomi Kreatif RI, Irene Umar.
Sebelumnya, Irene menegaskan bahwa pihaknya hanya menerima audiensi pihak Perfiki Kreasindo. Kemenekraf pun tidak memberikan bantuan dana maupun memfasilitasi promosi untuk film Merah Putih: One for All.
"Saya sendiri menerima audiensi tim produksi film beberapa waktu yang lalu di mana saya menyampaikan beberapa masukan dari saya termasuk yang teknis terkait cerita, karakter looks andfeels, trailer dan lain-lain, ini selalu saya lakukan di setiap audiensi dengan semua pihak," tulis Irene dalam unggahan di laman Instagram pribadinya yang dikonfirmasi di Jakarta, Senin (11/8/2025) sebagaimana dikutip Antara.
Irene juga menjelaskan bahwa audiensi tersebut merupakan momen Irene mendengar aspirasi dari pelaku industri animasi dan memberikan umpan balik berdasarkan pengalamannya sendiri. Dia pun mengapresiasi kehadiran animasi tersebut sebagai tanda masyarakat ingin industri film dan animasi Indonesia semakin maju.
Melalui unggahan laman Instagram @irene_umar, Minggu (10/8/2025), Irene juga mengutarakan apresiasi atas penayangan Merah Putih: One for All menjelang HUT kemerdekaan ke-80 RI. Semua pejuang ekonomi kreatif menurutnya bebas untuk memamerkan karyanya selama memberikan dampak positif kepada masyarakat.
Dapat Slot di Bioskop ketika Banyak Film Mengantre
Sutradara Hanung Bramantyo kemudian turut urun pendapat di tengah polemik film Merah Putih: One for All. Menurutnya, capaian kualitas animasi film tersebut sebenarnya sesuai belaka dengan bujet Rp6,7 miliar yang dipublikasikan.
Hanung menjelaskan bahwa nilai bujet itu termasuk pas-pasan untuk memproduksi film animasi. Sebagai gambaran, dia menunjukkan bahwa bujet produksi film animasi di Indonesia biasanya berkisar antara Rp30-40 miliar. Bujet itu pun belum mamasukkan biaya promosi.
“Dan dikerjakan dalam jangka waktu 4-5 tahun. Budget 6M hanya sampai tingkat Previs (kumpulan storyboard berwarna yang digerakkan sebagai panduan Animator). Kalo itu yang ditayangkan, sudah pasti penonton akan resisten. Ibarat membangun rumah, belom dipelur semen dan lantainya masih cor2an kasar,” ujar Hanung di akun Threads-nya.

Yang menurut Hanung lebih mengherankan daripada persoalan bujet itu adalah Merah Putih: One for All bisa mendapat slot di layar lebar saat ratusan judul film Indonesia lainnya mengantre untuk mendapatkan jadwal tayang.
"Kok bisa dapat tanggal tayang di tengah 200 judul film Indonesia yang antre?" kata Hanung di story akun Instagramnya @hanungbramantyo, Minggu (10/8/2025).
Hal itu merisaukan karena persaingan mendapat jatah layar di bioskop sebenarnya sangat sengit. Dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM, Budi Irawanto, menjelaskan bahwa persaingan jadwal tayang di bioskop ini turut dipengaruhi oleh rekam jejak rumah produksi suatu film. Singkatnya, pemilik bioskop akan memberi “privilise” pada produser atau sutradara yang filmnya sempat laris.
“Jadi, itu pasti akan dapet privilege nih gitu. Mungkin kayak Jumbo nih Visinema [Pictures], itu kalau bikin [film] lagi, Visinema pasti akan dapat prioritaslah untuk diputar [di bioskop],” ujar Budi lewat telepon, Senin (11/8/2025).
Oleh karena itu, rumah produksi yang terbilang baru biasanya akan lebih susah berkompetisi. Budi juga bilang bahwa rumah produksi baru yang punya satu-dua judul film lazimnya mesti antre hingga satu tahun lamanya untuk mendapat jadwal tayang.
“Pihak bioskop akan melihat ini siapa nih, filmnya selama ini sudah ada enggak yang box office atau berapa sih penonton sebelumnya. Itu pengaruh banget, apalagi pemain baru belum punya track record itu sangat susah banget,” lanjut laki-laki yang juga Ketua Bidang Penjurian Panitia Pelaksana Festival Film Indonesia (FFI) 2024 - 2026 tersebut.
Menurut Budi, persaingan memperoleh layar ini tak lepas dari nihilnya distributor film di Indonesia. Alih-alih, di Indonesia hingga kini hanya ada exhibitor, yaitu pemilik bioskop dan produser yang membiayai produksi suatu film dan mengelola manajemen produksi film.
“Nah, peran distributor atau mediator di sini ini yang kita enggak ada. Karena, yang deal dengan bioskop itu harusnya bukan produser directly dengan pihak bioskop. Nah, problem kita struktur di perbioskopan kita itu kan pemainnya ini sedikit sehingga posisi dari exhibitor pemilik bioskop dalam hal bargaining untuk pemutaran itu dia jauh lebih kuat dibandingkan dengan yang produser,” ujar Budi.
Alhasil, para produser di Indonesia mau tak mau harus berkompetisi antara satu sama lain. Terlebih, jumlah layar bioskop di Indonesia bisa dikategorikan masih terbatas.
Jumbo Menciptakan Standar
Kritik keras warganet terhadap Merah Putih: One for All bisa jadi juga terbangun karena ada film Jumbo yang telah hadir dengan pencapaian kualitas cerita dan animasi tinggi. Jumbo pun berhasil meraih rekor fantastis: 10 juta penonton.
Oleh karena itu, Jumbo cukup aman untuk dikatakan telah menjadi standar bagi film animasi Indonesia.
Jadi, terlepas dari berbagai tudingan yang diarahkan ke para pembuat film Merah Putih: One for All, Budi menganggap kualitas film ini pun memang jauh dari standar masyarakat. Terlebih, penonton sudah disuguhkan standar Jumbo dan terekspos film-film berkualitas produksi studio ternama, seperti Ghibli, Disney, dan Pixar.
“Dengan kita baru saja ada gema atau hype Jumbo gitu ya, yang memang secara production value, ya cerita, kemudian ini sangat oke secara visual dan segala macem,” kata Budi.

Itu mengapa akhirnya banyak orang menganggap Merah Putih: One for All tak meyakinkan dan dihujat. Budi sendiri berpendapat bahwa secara teknis visual animasi itu masih kurang. Misalnya, gerakan karakter-karakternya yang tidak natural dan kaku.
Proses produksi film animasi sejatinya tidak mudah. Meski tak menggunakan aktor manusia, film animasi justru punya PR untuk membangun karakter. Dengan begitu, karya animasi sebenarnya bisa mewadahi imajinasi tak terbatas dari pembuat film.
Budi bilang, kendati pembuatan film animasi anak-anak banyak tantangan, ketika film itu berhasil di pasar, secara bisnis ia justru sangat menguntungkan. Sebab, seseorang cenderung akan menonton bersama keluarga ketika menyaksikan film anak-anak.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id


































