Menuju konten utama

Menyoal Strategi Bisnis Bangun-Jual Proyek Tol BUMN

Strategi bangun-jual proyek tol diterapkan di Cina untuk mempercepat proses infrastruktur baru, juga ditiru oleh Indonesia.

Menyoal Strategi Bisnis Bangun-Jual Proyek Tol BUMN
Pekerja menggarap pembangunan Jalan Tol Bekasi Cawang Kampung Melayu (Becakayu), di kawasan Kalimalang, Jakarta, Selasa (26/9/2017). ANTARA FOTO/Bernadeta Victoria

tirto.id - "Kalau sudah selesai ruas (tol) mana saja, saya ingin dijual saja."

Menteri BUMN Rini Soemarno mendorong PT Waskita Karya (Persero) Tbk untuk segera menjual konsesi ruas tol yang sudah beroperasi ke pihak lain. Jalan Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) Jakarta, Seksi 1B dan 1C (Cipinang - Jakasampurna) sepanjang 8,4 km, yang pekan lalu baru diresmikan salah satu yang akan dijual oleh Waskita ke BUMN atau swasta.

Waskita selaku kontraktor sekaligus investor proyek Tol Becakayu pun menyambutnya. Dorongan Rini untuk menjual ruas tol yang telah dibangun oleh BUMN merupakan kelanjutan dari arahan Presiden Jokowi. Jokowi memang punya target tinggi membangun tol di Indonesia hingga 1.800 km sampai 2019.

Baca juga:Ambisi Membelah Jawa dan Sumatera dengan Tol

Namun, persoalannya anggaran negara tidak akan mampu menopang seluruh kebutuhan pembangunan infrastruktur yang ditaksir Rp5.500 triliun dalam masa kepemimpinan Jokowi-JK. Melibatkan BUMN secara maksimal salah satu pilihan yang paling memungkinkan. Beberapa BUMN konstruksi mulai ditransformasi sebagai perusahaan investor tol, tak kecuali Waskita.

Waskita telah memiliki konsesi proyek dan saham di 18 ruas tol dengan total panjang mencapai sekitar 1.000 Km. Total investasi yang digelontorkan Waskita mencapai Rp110 triliun. Semua ruas tol tersebut diklaim bisa dijual oleh perseroan selaku pengembang tol.

Konsep pendekatan pembangunan infrastruktur dengan sistem "bangun-jual" sudah biasa diterapkan di Cina. Negeri Tirai Bambu ini sukses membangun 131.000 km jalan tol, bandingkan dengan Indonesia yang hanya 1.000 km. Capaian Cina ini, kemudian dicoba diadopsi pada proyek Tol Trans Sumatera melalui konsorsium Hutama Karya pada era Menteri BUMN Dahlan Iskan. Cara ini juga mulai diterapkan oleh Waskita Karya.

"Itulah tugas Waskita sebagai developer, bangun jual, bangun jual," kata Direktur Utama Waskita Karya, M Choliq kepada Tirto.

Choliq mengungkapkan bahwa sejauh ini sudah banyak investor yang minat untuk mengambil alih ruas tol milik perseroan. Selain BUMN lain dan swasta dalam negeri, bahkan perusahaan asal Australia dan Malaysia juga telah menyatakan minatnya.

"Kami akan jual kepada siapapun, mana yang investor suka itulah yang kami dahulukan. Karena biasanya kalau mereka yang tertarik tentu harganya baik dan memberikan keuntungan bagi Waskita yang baik," ujarnya.

Waskita menawarkan tiga skema penjualan. Pertama, dengan penawaran satu persatu (one on one). Kedua, penawaran secara berkelompok ruas tol. Ketiga dengan membeli saham perseroan. Semua skema ini bertujuan untuk menghimpun banyak dana segar agar bisa mendanai proyek-proyek infrastruktur. Choliq menargetkan 40 persen dari 18 ruas tol yang dimiliki Waskita sudah bisa dijual hingga semester I-2018.

Baca juga:Pembuktian Jokowi di Tol Trans Jawa

Dari target tersebut perusahaan dapat menghimpun dana sekitar Rp15-20 triliun. Rumus menentukan harga jual ruas tol pun Waskita tidak muluk-muluk. Cukup mengkalkulasi berapa banyak uang yang sudah Waskita keluarkan untuk investasi, kemudian ditambah dengan margin yang dikehendaki perseroan.

"Ya sekitar 20 sampai 40 persen margin saya rasa sudah cukuplah untuk kami sebagai investor ini," katanya.

Sebelum rencana penjualan Tol Becakayu, Kementerian BUMN juga tengah merencanakan untuk menjual jalan Tol Bali Mandara yang merupakan konsorsium BUMN. Selain Waskita, pemegang saham di tol sepanjang 12 km ini dipegang oleh PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, dan PT Adhi Karya (Persero) Tbk

Tujuan dijualnya tol di atas laut ini untuk mendanai proyek jalan Tol Trans Sumatera, termasuk ruas tol Medan-Binjai 16,7 km yang baru akan rampung 100 persen pada 2018 mendatang sudah disiapkan untuk segera dikaji kemungkinan untuk dijual. Ruas tol ini sedang dikerjakan oleh PT Hutama Karya (Persero).

Sistem "bangun-jual" jadi cara baru BUMN dalam mencari sumber pendanaan agar tak memberatkan APBN. Selain sistem bangun-jual, Kementerian BUMN telah meminta PT PLN (Persero) dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk untuk menerapkan sekuritisasi aset sebagai opsi baru untuk mendapatkan dana segar.

Infografik dijual biar balik modal

Strategi mendapatkan sumber dana baru dengan skema "pengembang" membangun lalu menjual tak semuanya ditanggapi positif. Kalangan parlemen memberikan catatan soal kebijakan ini. Ini karena sistem "bangun-jual" proyek infrastruktur dikaitkan dengan anggapan menjual aset BUMN. Proyek-proyek infrastruktur BUMN tol umumnya berasal dari pinjaman bank untuk investasi seperti skema pembangunan Tol Becakayu.

Namun, bagi Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azam Azman Natawijana berpendapat bahwa tujuan pembangunan jalan raya atau jalan tol demi kepentingan rakyat. Ia khawatir apabila infrastruktur tersebut diswastanisasi maka sasaran dalam pasal-pasal di UUD tentang kesejahteraan rakyat menyangkut sarana dan prasarana perekonomian tidak bisa tercapai.

“Jangan sampai membuat defisit APBN dan menjual aset negara untuk memenuhi hasrat ambisinya,” kata Azam kepada Tirto.

Menurut Azam, aset BUMN merupakan aset dan bagian dari kekayaan negara, sebagaimana tertuang dalam putusan MK No 48/PPU-XI/2013. Putusan tersebut menolak pengajuan judicial review Kementerian BUMN atas Pasal 2 huruf g UU No 17 tahun 2003 tentang keuangan negara.

“Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah,” bunyi Pasal 2 huruf g UU 17/2003 tersebut.

Artinya bila berpegang pada UU tersebut bahwa setiap langkah pemerintah melakukan penjualan dan/atau privatisasi BUMN harus mendapat persetujuan dari DPR.

Sementara itu, Direktur Utama Waskita Karya, M Choliq saat diminta tanggapannya soal sikap DPR, ia merespons dengan penegasan bahwa Waskita hanya berperan sebagai pengembang sebuah proyek tol saja.

"Waskita perannya sebagai developer. Jadi bangun-jual, terus menerus," kata Choliq.

Baca juga:Ambisi Menyambungkan Jawa dengan Tol

Skema menjual konsesi ruas tol hanya salah satu strategi pemerintah. Namun, selain itu untuk BUMN yang sudah punya aset tetap bisa memaksimalkan sumber pendanaan dengan skema lain yaitu sekuritisasi aset.

Sekuritisasi aset artinya menghitung prospek arus kas di masa depan pada suatu aset yang produktif. Dimana keuntungan dari suatu aset dalam beberapa tahun ke depan ditarik ke masa sekarang.

"Contoh, PLN punya pembangkit, potensi ke depannya itu kan tagihan-tagihan dari hasil penjualan listrik. Kita hitung dalam lima tahun ke depan bisa menghasilkan berapa. Nah, hak atas tagihan-tagihan selama lima tahun itu yang kita sekuritisasi menjadi sebuah efek atau surat berharga yang kemudian bisa dijual ke pasar modal," jelas Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN, Aloysius Kiik Ro.

Ia menegaskan, sekuritisasi aset merupakan produk pasar modal yang aman karena jaminannya adalah tagihan di masa depan. Risiko produk investasi ini sangat minimal dan terukur. “Misalnya aset milik Jasa Marga, siapa yang meragukan potensi pendapatan dari ruas tol Jagorawi?" katanya.

Strategi "bangun-jual" proyek tol BUMN masih menunggu pembuktian ke depan, apakah tujuan mendapatkan margin dan kelanjutan pembangunan proyek baru dari menjual konsesi tol bisa menarik investor. Apalagi tol-tol yang dimiliki BUMN umumnya proyek tol yang sebelumnya mangkrak dan tak semuanya merupakan "jalur gemuk".

Baca juga artikel terkait TOL atau tulisan lainnya dari Dano Akbar M Daeng

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dano Akbar M Daeng
Penulis: Dano Akbar M Daeng
Editor: Suhendra