Menuju konten utama

Ambisi "Membelah" Jawa dan Sumatera dengan Jalan Tol

Pembangunan ruas tol di Sumatera dan Jawa paling dominan hingga 2019.

Ambisi
Suasana pembangunan jalan Tol Trans sumatera (jtts) ruas Bakauheni-Terbanggi Besar di kawasan Lampung Selatan, Lampung, Sabtu (23/4). Antara foto/Tommy Saputra.

tirto.id - Petitih Cina yang masyhur berujar "untuk menghapus kemiskinan, bangunlah jalan."

Cina memang terkenal dengan pembangunan infrastruktur yang masif termasuk jalan tol. Cara ini dicoba ditiru oleh Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Jokowi. "Masa kita berpuluh tahun hanya 780 km, padahal yang namanya Cina itu satu tahun bisa 4 ribu sampai 5 ribu km per tahun. Mereka nggak tahu udah berapa ratus ribu km," kata Jokowi.

Saat kali pertama berkuasa, Jokowi sempat menargetkan membangun 1.000 km jalan tol dalam waktu lima tahun. Tahun ini, saat target belum kesampaian, Jokowi kembali menambah target tol yang terbangun di bawah pemerintahannya hingga 1.854,5 km. Pembangunan panjang tersebar di beberapa pulau antara lain Pulau Sumatera sebanyak 496 km, Pulau Jawa 914 km, selebihnya di Kalimantan dan Sulawesi.

Dalam target proyek strategis nasional, proyek tol mengambil porsi 20 persen, posisi kedua setelah proyek bendungan yang mencapai 26 persen. Proyek tol yang menjadi perhatian pemerintah yaitu Tol Trans Jawa dan Tol Trans Sumatera.

Baca juga: Mengebut Infrastruktur, Panen Suara di 2019

Namun membangun tol tak semudah membalik telapak tangan. Persoalan pembebasan lahan, kebutuhan dana yang besar hingga terkait kelaikan bisnis. Buktinya, proyek tol Trans Jawa, yang sudah digagas sejak 20 tahun, kini baru terealisasi 35 persen atau 227 km dari target tuntas 2019 hingga 649 km.

Sebanyak 10 ruas jalan di Tol Trans Jawa yang tengah dikerjakan, ditargetkan rampung secara bertahap hingga 2019. Dari 10 ruas itu, total panjang jalan tol mencapai 563,88 km dengan nilai investasi Rp51,83 triliun. Sementara itu, ruas jalan di Tol Trans Sumatera juga terus dikebut. Rencananya, sebanyak 9 ruas akan dibangun. Namun, hingga saat ini, baru 6 ruas yang sudah dikerjakan. Sedangkan tiga ruas sisanya masih mengurus pembebasan lahan.

Pemerintah optimistis setidaknya 645 km jalan tol Trans Sumatera dapat beroperasi secara bertahap hingga 2019 dari total sekitar 2.600 km, rinciannya 73,7 km pada 2017, lalu 438,3 km pada 2018, dan 133 km pada 2019. Dua seksi jalan tol Trans Sumatera, yakni ruas Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi seksi II-V1 dan ruas Palembang-Indralaya seksi I-III akan beroperasi.

Proyek ini dikerjakan oleh BUMN sebagai penugasan dari pemerintah karena swasta tak ada yang mau masuk ke ruas-ruas di Trans Sumatera. Sejumlah ruas jalan tol ternyata belum layak investasi. Biasanya, itu dilihat dari internal rate of return (IRR). IRR adalah metode menghitung tingkat pengembalian dari investasi. Jika IRR lebih besar ketimbang biaya modal (cost of capital), biasanya rencana investasi dapat diterima karena menguntungkan dan sebaliknya.

Baca juga: Pembuktian Jokowi di Jalan Tol Trans Jawa

Analis Recapital Sekuritas Kiswoyo Adi Joe menilai investasi jalan tol sebenarnya cukup menjanjikan. Namun, hal itu tergantung dari kecil besarnya traffic lalu lintas kendaraan yang menggunakan jasa tol tersebut.

“Jelas kalau di Jawa, apalagi di DKI Jakarta, traffic lalu lintas di tol itu sangat padat, sehingga pendapatannya pun cukup besar. Di luar itu, pendapatannya mungkin rendah. Tapi bisa jadi, beban maintenance-nya juga lebih kecil,” katanya kepada Tirto.

Sekadar contoh perbandingan pendapatan dari ruas tol Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi) dengan Belawan-Medan-Tanjung Morawa (BMT), di mana masing-masing ruas tol itu dikelola oleh PT Jasa Marga Tbk. (JSMR). Tol Jagorawi sepanjang 46 km dengan tarif golongan I sebesar Rp6.500, JSMR berhasil meraup pendapatan Rp341,77 miliar pada semester I-2017. Pada waktu yang sama, ruas Tol BMT di Medan sepanjang 34 km dengan tarif golongan I Rp7.000, hanya meraup pendapatan Rp54,79 miliar. Jelas, ada perbedaan yang mencolok dari sisi volume kendaraan yang lalu lalang di antara kedua tol. Persoalan volume lalu lintas ini akan menjadi tantangan bagi investor maupun pengelola tol di Sumatera.

Jumlah populasi kendaraan dan penduduk memang menentukan bisnis tol di Sumatera. Jumlah roda empat antara Pulau Jawa dengan Sumatera juga jomplang. Berdasarkan data Korlantas Polri per 1 Maret 2017, jumlah mobil pribadi di Jawa mencapai sekitar 8,85 juta kendaraan, hampir 5 kali lipat ketimbang di Sumatera sebanyak 1,91 juta unit. Jumlah bus di Jawa juga hampir 4 kali lipat lebih banyak ketimbang di Sumatera.

Selain itu, pertumbuhan kendaraan di Jawa juga diperkirakan masih lebih kencang ketimbang di Sumatera. Hal itu karena sumbangan Jawa terhadap pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 58 persen lebih besar ketimbang Sumatera yang hanya menyumbang 20 persen.

infografik jalan tol

Tantangan BUMN Membelah Sumatera

Lantas bagaimana dengan konsorsium BUMN terutama PT Hutama Karya (HK) sebagai yang dapat tugas dari pemerintah untuk membangun dan mengelola ruas jalan tol di Trans Sumatera. Apakah proyek ini bakal menjadi ladang bisnis bagi perseroan, atau sebaliknya?

HK nantinya akan menambah jumlah ruas tol yang dikelola, yakni sebanyak 7 ruas jalan tol di Trans Sumatera dengan total panjang mencapai 709,3 km. Kebutuhan investasi ditaksir mencapai Rp83,31 triliun, dan biaya konstruksi sebesar Rp54,52 triliun. Namun, hingga saat ini, baru 4 ruas yang sudah masuk tahap konstruksi, yakni Bakauheni-Terbanggi Besar dengan progres 46,49 persen, Palembang-Indralaya 66,5 persen, Pekanbaru-Kandis-Dumai 2,86 persen, dan Medan-Binjai 71,32 persen.

Konsorsium BUMN khususnya HK mau tak mau harus menggelontorkan triliunan rupiah untuk penugasan yang butuh sumber pendanaan. Berbagai upaya telah dilakukan antara lain penerbitan obligasi, dana tunai infrastruktur (viability gap fund/VGF), dan penyertaan modal negara (PMN).

“Modalnya sendiri butuh Rp50 triliun. Yang ada sekarang baru PMN Rp5,6 triliun, bond HK Rp6,5 trilun, VGF untuk 130 km sebesar Rp13 triliun,” tutur I Gusti Ngurah Putra, Direktur Utama HK dikutip dari Kompas.

Selain Tol Trans Sumatera yang belum rampung, HK memang telah mengelola satu ruas JORR-S dari Pondok Pinang-Jagorawi. Hingga akhir 2016, HK meraup pendapatan Rp542,31 miliar dari ruas tol itu. Selain itu, HK juga telah mendapatkan hak pengelolaan Tol Akses Tanjung Priok di Jakarta Utara. Ruas tol ini mulai beroperasi pada April 2017. Proyek yang diinisiasi pemerintah ini mulai dibangun sejak 2008 dan sempat terkendala pembebasan lahan.

Baca juga: Lingkaran Setan Jalan Tol Lingkar

Pundi-pundi pendapatan dari penyediaan jasa jalan tol terhadap total pendapatan HK diyakini bakal kian bertambah apabila pembangunan tujuh ruas Tol Trans Sumatera itu berhasil dirampungkan. Namun, tujuh ruas jalan yang dibangun oleh HK di Trans Sumatera berpotensi tidak menghasilkan pendapatan yang besar seperti pada JORR-S.

Sekretaris Perusahaan HK Adjib Al Hakim mengatakan tidak bicara banyak soal dampak penugasan pembangunan jalan tol di Sumatera, terhadap kinerja keuangan HK nantinya.

“Ini kan masih berjalan. Kami juga cari skema pendanaan yang tepat untuk membiayai jalan tol. Sebelumnya kan sudah ada obligasi, PMN, dan ada juga dana talangan. Inilah terobosan-terobosan yang dilakukan stakeholder,” katanya kepada Tirto.

Saat ini HK juga belum bisa memproyeksikan nilai pendapatan yang diraup apabila seluruh tol yang sedang dikerjakan sudah dikelola perseroan. Adjib Al Hakim cukup realistis dan tidak yakin pendapatan yang dihasilkan nantinya akan seperti ruas tol JORR-S. Namun, kehadiran jalan tol Trans Sumatera ini dapat membuat geliat perdagangan dan investasi meningkat. Dampak lanjutannya bisa menurunkan biaya logistik dengan signifikan.

Perkara Tol Trans Sumatera ini yang belum laik secara bisnis dan cukup laik secara ekonomi sudah jauh-jauh hari disadari pemerintah. Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 30/2017 tentang Perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah No. 15/2005 tentang Jalan Tol. Salah satu aturannya, jalan tol yang telah selesai masa konsesinya, dapat tetap difungsikan sebagai jalan tol, melalui mekanisme pelelangan atau penugasan dari pemerintah.

Konsorsium BUMN termasuk HK tentunya memiliki kesempatan untuk mendapatkan masa konsesi tol jauh lebih lama dari ruas tol lainnya di Jawa. Namun demikian, titik impas (break even point/BEP) dari investasi yang dikucurkan perseroan juga sudah pasti lebih lama.

Persoalan yang dihadapi BUMN semacam ini tentu akan menjadi masalah serius di kemudian hari bagi pemerintah dalam mengamankan kinerja keuangan BUMN yang mendapat tugas menangani ruas-ruas tol "kurus" termasuk di Sumatera.

Baca juga artikel terkait TOL atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra